Solo, Biarkan Aku Kembali


Derit pintu kaca menandai kedatangan saya di sebuah kafe. Hujan di luar membuat saya memilih untuk menyeruput kopi di dalam ruangan yang berkonsep industrialis tersebut. Sambil menunggu pesanan Caramel Macchiato tiba, saya mulai kembali membuka buku yang sedang saya baca belakangan. AMBA: novel karya Laksmi Pamuntjak.

Tumben sekali, waktu itu pengeras suara di kafe tersebut tak memutar lagu. Melihat pramusaji yang tampak kewalahan, saya bisa maklum. Barangkali habis ini I Remember-nya Mocca, Hujan di Mimpi-nya Banda Neira, Tidurlah-nya Payung Teduh, atau Kisah Dari Selatan Jakarta milik WSTCC bakal diputar. Saya membayangkan lagu-lagu indie tersebut sepertinya dianggap paling cocok untuk diputar saat hujan di malam hari.

Alih-alih begitu, justru lagu Korea yang diputar bersamaan dengan pesanan saya yang datang. Suara riuh sebagian pengunjung perempuan yang saya tengarai milenial penikmat KPOP pun langsung menyeruak seantero ruangan. Mereka begitu antusias mengikuti, lebih-lebih kala itu idola mereka. Sudah barang tentu, tak banyak lagu yang saya tahu. Beruntung saya terbiasa fokus baca di tengah gemuruh keramaian. Dengan santai saya menikmati halaman demi halaman bacaan tersebut, tanpa perlu menyumpal telinga.

Fokus baca saya pun mulai runtuh, kala mata terhenti pada satu kata. Seolah menyilakan indera pendengaran menyimak lagu tersebut, otak saya justru mulai mencerna lagu yang sepintas terdengar familier. Apalagi kini hampir semua pengunjung tampak mengenali lagu itu. Meski dengan suara lirih dan terbata, mereka tampak tepat melafalkan penggalan lirik lagu tersebut sesuai ritme musiknya. Tak kunjung ingat judul apalagi artisnya, membuat saya akhirnya gegas membuka Shazam. Dengan tepat, aplikasi pendeteksi lagu itu memunculkan jawabannya: Solo – Jennie (BLACKPINK).

Jennie BLACKPINK dengan Lagu SOLO

Rasanya lagu tersebut sangat adiktif, hingga merasuk ke benak orang yang bukan penggemar KPOP sekalipun. Saya jadi teringat, jika beberapa waktu terakhir orang-orang di kantor nyaris spontan menyanyikan lagu tersebut walau sepenggal-sepenggal. Bahkan, penjual nasi goreng depan rumah yang hampir tak tahu KPOP itu apa, turut menyanyikan bagian chorus-nya. Perlahan tapi pasti, kafe-kafe pun turut teracuni hingga memutar lagu tersebut tanpa pandang bulu suasana hati dan situasi.

I’m going solo lo lo lo lo lo

Kalimat tersebut rasanya terus menggema di telinga, kendati lagu telah berganti. Menariknya, sayup-sayup kata Solo justru mengajak saya bermemorabilia dengan Surakarta, Solo versi Indonesia beberapa waktu sebelumnya.

Menyambut Pagi di Pasar Gede

Tukang becak berlalu-lalang di depan Pasar Gedhe

Kereta yang melaju dari Malang akhirnya melambat dan berhenti tepat waktu di Stasiun Balapan Solo. Terlihat dari jendela beberapa penumpang yang menghambur keluar dengan tergesa. Ada yang semringah lantaran seperti kembali berjumpa dengan orang yang lama tak dilihatnya. Adapula yang gegas keluar sekadar menemukan toilet yang ‘layak’ disinggahi.

Sementara pelana kembali menyuarakan instruksi, saya justru berjalan keluar dengan langkah tak pasti, sebelum akhirnya kereta melanjutkan perjalanan kembali. Boleh dibilang kedatangan saya ke Solo kali ini spontan tanpa persiapan. Pesan tiket malam, sore esoknya langsung berangkat.

Saking tak terencananya, sebagian orang yang saya jumpai di kereta dan sempat mengobrol sejenak sampai bertanya, “Ada apa di Solo?”

Jika bukan karena kebaikan hati Halim, barangkali saya sudah jadi jembel di stasiun malam itu. Halim menyilakan saya bermalam di rumahnya yang tak jauh dari Pasar Gede. Di pasar yang usianya hampir seabad itu pula kenangan akan Solo mulai terbuat. Bangun di pagi hari, Halim langsung mengajak saya menyusuri sisi legendaris lain dari Pasar Gede selain fasad bangunan dan langgam arsitekturnya. Apa lagi kalau bukan kulinernya.

Dari nasi liwet lintas generasi, dawet telasih yang usianya sama tuanya dengan Pasar Gede, hingga jajanan zadul yang masih lestari dan hanya bisa ditemukan di dalam pasar yang dibangun sejak era kompeni ini, hadir menyambut pagi. Dengan ragam aroma yang tercium bergantian, sarapan pagi di Kota Solo saya tutup dengan sepincuk Cabuk Rambak, Brambang Asem, dan Lenjongan.

Beranjak dari Pasar Gede, saya berpamitan dengan Halim untuk check-in lebih dulu ke hotel di Solo, sebelum melanjutkan pelesiran ke beragam destinasi jamak di Solo. Benteng Vastenburg jadi jujukan kedua saya. Ada banyak sekali perbaikan yang tampak dari benteng yang dibangun Belanda pada medio abad ke-18 Itu. Yang jelas kondisinya lebih terawat, nihil vandalisme dan laik dijadikan spot berfoto dibandingkan sejak kali terakhir saya mengunjunginya.

Matahari yang kian meninggi, membuat saya lekas berpindah. Saya cukup menikmati kelana kali ini. Menyusuri trotoar berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, membuat saya merasa sepadan dengan turis asing yang lalu lalang. Perasaan saya semakin riang, karena Halim akhirnya bisa kembali menyusul, setelah membereskan urusan pribadinya. Ia pun menggiring saya ke keraton. Tepatnya, lebih dari satu keraton.

Langgam Klasik Keraton Surakarta

“Kalau ada acara, keraton-keraton ini akan dibuka, pengunjung bisa melihat ke dalam juga,” ungkap Halim di sela kunjungan kami di Keraton Kasunanan Surakarta. Kompleks yang kentara dengan langgam arsitektur Jawa berbalut warna serba biru muda itu pun tampak ramai dikunjungi wisatawan yang hilir mudik dari berbagai kota. “Setidaknya kita bisa masuk dan melihat langsung Panggung Songgo Buwono,” sambungnya sambil menunjuk menara setinggi 30 meter berbentuk segi delapan.

Diingat-ingat beberapa kali berkunjung ke sana, saya memang belum berkesempatan barang sekalipun melihat dari dekat menara yang berada di utara pelataran Keraton Surakarta itu. Namun, gagal masuk ke dalam Keraton Surakarta, kejutan justru menyambut kami saat tiba di Keraton Mangkunegaran.

Puluhan atau mungkin ratusan payung ditata sedemikian rupa, hingga membentang lurus ke pelataran keraton. Payung dengan beragam ukuran dan hiasan itu sontak menyedot pengunjung yang ingin berswafoto. Dari kejauhan pertunjukan tampak digelar di pendapa Keraton Mangkunegaran. Dari lokasi yang sama, gending tembang Jawa beralun suara gamelan seolah memikat saya untuk mendekat. Lentik jemari para penari pada akhirnya membuat saya memilih duduk menikmati pertunjukan secara hikmat.

Masih di Mangkunegaran, saya kemudian tersenyum sendiri saat mengingat bagian ibu-ibu yang menawar salah satu produk pameran di Keraton Mangkunegaran. Sebuah kain bermotif indah buatan tangan yang ditawar dengan harga grosiran bak batik di Pasar Klewer oleh salah seorang pengunjung. Ingatan jenaka tersebut lantas berangsur menjadi memori kekaguman pada Laweyan.

Terpikat Seribu Pintu di Laweyan

Masyhur sebagai Kampung Batik bersama Kauman, Laweyan rupanya tak sekadar surga bagi penikmat batik berkualitas asal Solo. Lewat susur sore yang menyulut penasaran, Halim justru menunjukkan sisa-sisa pintu bersejarah di pemukiman lawas yang telah dibangun sejak 1912 ini. Tak kurang dari 70 plakat butik batik saya jumpai di sepanjang jalan yang membentang di Laweyan. Sesekali kami berpapasan dengan turis asing yang tampak tercekat dengan rumah-rumah lawas di sana.

Jalan makin sepi, jalan beraspal yang kami lalui, kini berubah menjadi jalan setapak. Tanpa banyak penjelasan, Halim mulai menyilakan saya mengamati satu per satu pintu pada beberapa rumah yang tampak tak berpenghuni. Warna yang beragam, hingga desain pintu berjalusi yang mulai ditinggalkan di era sekarang, membuat saya akhirnya paham.

Laweyan berbeda dengan ‘kampung warna’ yang mendadak tenar karena warnanya yang menyolok mata. Cat yang mulai memudar, seakan menegaskan jika Laweyan adalah warisan sejarah. Sisa warna pada setiap pintu jalusi, bahkan hampir jauh dari kesan norak. Paduan warnanya justru begitu presisi seolah pengecatnya adalah pelaku seni. Sungguh, saya terkagum-kagum sendiri dengan pintu-pintu ciamik di Laweyan.

Tak lama setelah itu, Halim mengajak saya berkunjung ke salah satu rumah lawas warga. Sekilas tak ada yang istimewa dari rumah tersebut, selain pintu gerbang warna merah darah yang dilengkapi butulan. Rupanya, rumah tersebut salah satu hunian kuno yang masih mempertahankan bungkernya. Pemilik bahkan menyilakan kami merasakan pengalaman, bagaimana bernapas langsung dalam lubang persembunyian bawah tanah itu.

Terlalu lama berkontemplasi, membuat minuman yang saya pesan sampai dingin. Beberapa seruput kopi dan rintik hujan yang belum juga berhenti, memantik kembali memori. Sambil menyandarkan badan, pikiran seolah terhanyut lagi ke sisa kenangan di Solo. Memori saya lantas mengembara ke bagian ‘jumpa’ dengan Susi Pudjiastuti juga Gesang.

Berjumpa Susi dan Gesang

Sepanjang perjalanan balik, Halim mengajak saya melewati jalan Gatot Subroto Solo. Saya tak pernah menyangka, jika di koridor inilah mural yang viral di Solo belakangan berlokasi. Sontak saya langsung terkesiap saat melihat mural Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia ke-6, Susi Pudjiastuti dalam wujud Wonder Women. Momen itu pun kian melengkapi perburuan mural saya di Solo, usai tak sengaja menemukan mural Gesang di sekitar Pasar Triwindu. Sayang, kami tak sempat membesuk ke makam pun rumah maestro Bengawan Solo tersebut.

Syahdan, sorak sorai pengunjung kafe seketika membuyarkan tafakur. Lamat-lamat saya mulai bisa menebak kenapa suara yang menghentak tersebut melepas serentak. Barangkali playlist yang diatur sudah habis, sampai membuat lagu pertama terputar kembali. Sama seperti sedia kala, satu per satu orang melafalkan penggalan chorus-nya baik sengaja maupun spontan. Tiba pada bagian coda, saya tersenyum sendiri.

Bagaimana bisa sebuah lagu berbahasa Korea, justru membawa saya berkontemplasi ke Surakarta?

Paling tidak, kenangan tersebut jadi alasan tersendiri untuk bilang: Solo, biarkan aku kembali.

Apalagi, liburan ke Solo boleh dibilang amat terjangkau. Bukan saja destinasi wisata dan kulinernya, Solo juga banyak menghadirkan penginapan murah, seperti jaringan OYO Hotel Indonesia. Jaringan hotel terbesar tersebut memang menyediakan 1000 lebih hotel yang tersebar di 100 kota di Indonesia, termasuk Solo #PastiAdaOYO. Jadi, tak ada alasan untuk bosan balik liburan ke Solo, kan?

Drama Charger di Bangkok


Tuktuk di kawasan pecinan Bangkok, Thailand

It’s like not legit traveling without getting a drama, but damn tonight’s drama is not cool!

Gerutu tersebut terus berulang, seakan merutuk kebodohan diri yang tiada habis-habisnya. Padahal sejak awal, saya begitu tenang melenggang keluar rumah menuju bandara.

Tak ada sedikit pun gelisah, seolah semua sudah disiapkan secara sempurna. Apalagi sejak awal tiba di Suvarnabhumi saya melangkah dengan yakin dan santai, lantaran ini juga bukan ke Thailand untuk pertama kali.

Sebelum melenggang keliling beragam lokasi, saya ke hotel dulu menaruk barang sekalian check in karena tiba di Bangkok siang hari. Melihat simbol baterai pada ponsel yang berwarna merah, saya putuskan untuk mengisi daya terlebih dulu.

Dengan tenang, charger tinggal saya colokkan tanpa lagi kaget, “loh kok bentuknya beda?” Terlalu ceroboh kalau sudah beberapa kali berkunjung, tetapi tak mengantisipasi hal-hal kecil semacam ini.

Begitu juga saat mengecek kamera yang ternyata dayanya tinggal separuh, tenang saya ambil adaptor untuk menyambungkan charger. Dengan persiapan yang memadai saya pun optimis bisa menjalani pelesiran mandiri kali ini.

Siang berlalu, beberapa tempat berhasil saya kunjungi sesuai itinerary sejak hari pertama. Dari nostalgia ke Wat Pho, Grand Palace, dan Wat Arun hingga kulineran di beberapa pasar tradisional, semua berjalan lancar. Hingga sore di hari kedua, kartu memori pada kamera yang penuh akhirnya memaksa saya mengeluarkan laptop untuk memindah foto.

Andai bukan karena ada urusan pekerjaan, niscaya saya enggan bopong laptop ke luar negeri. Meski baterai pada laptop masih penuh saat saya hidupkan, entah kenapa saya tiba-tiba tertarik merogoh charger dalam tas.

Satu per satu item kabel saya keluarkan. Perasaan pun mulai tidak tenang. Semua barang dalam tas kini mulai saya tumpahkan di atas kasur hotel. Panik pun mulai menggelayut, sampai tas saya jungkir berulang kali demi memastikan kabel yang saya bawa bukan saja charger tustel dan ponsel.

Buru-buru saya langsung mematikan laptop, setelah tahu charger laptop tak ketemu. Sebab, kebutuhan utama menggunakan laptop justru Sabtu dan Minggu. Tujuan membawa laptop pun, agar semua agenda dan urusan di Thailand bisa saya bereskan sembari liburan.

Sayang drama tersebut seketika membuat saya cemas bukan kepalang. Dengan laptop yang sanggup bertahan 9 jam, rasanya saya hanya bisa menggunakannya untuk sehari. Cukup merepotkan jika harus mencari warnet dadakan di luar negeri, terlebih banyak file penting sudah saya siapkan di laptop. Bakal terasa percuma jika laptop saya akhirnya tak bisa digunakan sesuai rencana.

Beruntungnya, setelah berupaya berkoordinasi dengan tim di Indonesia, pekerjaan saya pun dapat di-back-up. Meski saya bisa melanjutkan liburan sesuai jadwal, tetapi setumpuk pekerjaan harus siap saya libas sepulang dari Thailand.


Moral value: jangan gampang yakin dan tenang sebelum benar-benar memastikan persiapan jalan-jalan secara maksimal. Terutama dengan perintilan kecil dan berwarna serupa seperti charger.

Sehari di Taman Safari


Deru mobil yang melaju pagi itu mewujudkan rencana tak spontan semalam sebelumnya. Perbincangan ringan dengan topik ala kadarnya rupanya bermuara pada pertanyaan satu orang. “Besok libur, enggak ada rencana main ke mana gitu?” Tutur Yudith.

Lanjutkan membaca Sehari di Taman Safari

Bukan Outing yang Gitu-Gitu Aja


Rasanya saya masih tak percaya bisa duduk dalam mini bus yang melaju sedang pagi itu. Tak hanya diam menikmati jalan, tetapi ikut nimbrung menimpali setiap obrolan. Padahal, beberapa waktu sebelumnya saya sempat ragu hendak ikut atau merelakan uang yang telanjur keluar untuk iuran.

Lanjutkan membaca Bukan Outing yang Gitu-Gitu Aja

Braga Punya Cerita


“Ka Bandung mah belum lengkap kalau belum ka Braga(k),” ungkap Lilis, pemandu gelis yang mendampingi kami berkeliling Bandung menggunakan Bus Bandros.

Lanjutkan membaca Braga Punya Cerita