Solo, Biarkan Aku Kembali


Derit pintu kaca menandai kedatangan saya di sebuah kafe. Hujan di luar membuat saya memilih untuk menyeruput kopi di dalam ruangan yang berkonsep industrialis tersebut. Sambil menunggu pesanan Caramel Macchiato tiba, saya mulai kembali membuka buku yang sedang saya baca belakangan. AMBA: novel karya Laksmi Pamuntjak.

Tumben sekali, waktu itu pengeras suara di kafe tersebut tak memutar lagu. Melihat pramusaji yang tampak kewalahan, saya bisa maklum. Barangkali habis ini I Remember-nya Mocca, Hujan di Mimpi-nya Banda Neira, Tidurlah-nya Payung Teduh, atau Kisah Dari Selatan Jakarta milik WSTCC bakal diputar. Saya membayangkan lagu-lagu indie tersebut sepertinya dianggap paling cocok untuk diputar saat hujan di malam hari.

Alih-alih begitu, justru lagu Korea yang diputar bersamaan dengan pesanan saya yang datang. Suara riuh sebagian pengunjung perempuan yang saya tengarai milenial penikmat KPOP pun langsung menyeruak seantero ruangan. Mereka begitu antusias mengikuti, lebih-lebih kala itu idola mereka. Sudah barang tentu, tak banyak lagu yang saya tahu. Beruntung saya terbiasa fokus baca di tengah gemuruh keramaian. Dengan santai saya menikmati halaman demi halaman bacaan tersebut, tanpa perlu menyumpal telinga.

Fokus baca saya pun mulai runtuh, kala mata terhenti pada satu kata. Seolah menyilakan indera pendengaran menyimak lagu tersebut, otak saya justru mulai mencerna lagu yang sepintas terdengar familier. Apalagi kini hampir semua pengunjung tampak mengenali lagu itu. Meski dengan suara lirih dan terbata, mereka tampak tepat melafalkan penggalan lirik lagu tersebut sesuai ritme musiknya. Tak kunjung ingat judul apalagi artisnya, membuat saya akhirnya gegas membuka Shazam. Dengan tepat, aplikasi pendeteksi lagu itu memunculkan jawabannya: Solo – Jennie (BLACKPINK).

Jennie BLACKPINK dengan Lagu SOLO

Rasanya lagu tersebut sangat adiktif, hingga merasuk ke benak orang yang bukan penggemar KPOP sekalipun. Saya jadi teringat, jika beberapa waktu terakhir orang-orang di kantor nyaris spontan menyanyikan lagu tersebut walau sepenggal-sepenggal. Bahkan, penjual nasi goreng depan rumah yang hampir tak tahu KPOP itu apa, turut menyanyikan bagian chorus-nya. Perlahan tapi pasti, kafe-kafe pun turut teracuni hingga memutar lagu tersebut tanpa pandang bulu suasana hati dan situasi.

I’m going solo lo lo lo lo lo

Kalimat tersebut rasanya terus menggema di telinga, kendati lagu telah berganti. Menariknya, sayup-sayup kata Solo justru mengajak saya bermemorabilia dengan Surakarta, Solo versi Indonesia beberapa waktu sebelumnya.

Menyambut Pagi di Pasar Gede

Tukang becak berlalu-lalang di depan Pasar Gedhe

Kereta yang melaju dari Malang akhirnya melambat dan berhenti tepat waktu di Stasiun Balapan Solo. Terlihat dari jendela beberapa penumpang yang menghambur keluar dengan tergesa. Ada yang semringah lantaran seperti kembali berjumpa dengan orang yang lama tak dilihatnya. Adapula yang gegas keluar sekadar menemukan toilet yang ‘layak’ disinggahi.

Sementara pelana kembali menyuarakan instruksi, saya justru berjalan keluar dengan langkah tak pasti, sebelum akhirnya kereta melanjutkan perjalanan kembali. Boleh dibilang kedatangan saya ke Solo kali ini spontan tanpa persiapan. Pesan tiket malam, sore esoknya langsung berangkat.

Saking tak terencananya, sebagian orang yang saya jumpai di kereta dan sempat mengobrol sejenak sampai bertanya, “Ada apa di Solo?”

Jika bukan karena kebaikan hati Halim, barangkali saya sudah jadi jembel di stasiun malam itu. Halim menyilakan saya bermalam di rumahnya yang tak jauh dari Pasar Gede. Di pasar yang usianya hampir seabad itu pula kenangan akan Solo mulai terbuat. Bangun di pagi hari, Halim langsung mengajak saya menyusuri sisi legendaris lain dari Pasar Gede selain fasad bangunan dan langgam arsitekturnya. Apa lagi kalau bukan kulinernya.

Dari nasi liwet lintas generasi, dawet telasih yang usianya sama tuanya dengan Pasar Gede, hingga jajanan zadul yang masih lestari dan hanya bisa ditemukan di dalam pasar yang dibangun sejak era kompeni ini, hadir menyambut pagi. Dengan ragam aroma yang tercium bergantian, sarapan pagi di Kota Solo saya tutup dengan sepincuk Cabuk Rambak, Brambang Asem, dan Lenjongan.

Beranjak dari Pasar Gede, saya berpamitan dengan Halim untuk check-in lebih dulu ke hotel di Solo, sebelum melanjutkan pelesiran ke beragam destinasi jamak di Solo. Benteng Vastenburg jadi jujukan kedua saya. Ada banyak sekali perbaikan yang tampak dari benteng yang dibangun Belanda pada medio abad ke-18 Itu. Yang jelas kondisinya lebih terawat, nihil vandalisme dan laik dijadikan spot berfoto dibandingkan sejak kali terakhir saya mengunjunginya.

Matahari yang kian meninggi, membuat saya lekas berpindah. Saya cukup menikmati kelana kali ini. Menyusuri trotoar berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, membuat saya merasa sepadan dengan turis asing yang lalu lalang. Perasaan saya semakin riang, karena Halim akhirnya bisa kembali menyusul, setelah membereskan urusan pribadinya. Ia pun menggiring saya ke keraton. Tepatnya, lebih dari satu keraton.

Langgam Klasik Keraton Surakarta

“Kalau ada acara, keraton-keraton ini akan dibuka, pengunjung bisa melihat ke dalam juga,” ungkap Halim di sela kunjungan kami di Keraton Kasunanan Surakarta. Kompleks yang kentara dengan langgam arsitektur Jawa berbalut warna serba biru muda itu pun tampak ramai dikunjungi wisatawan yang hilir mudik dari berbagai kota. “Setidaknya kita bisa masuk dan melihat langsung Panggung Songgo Buwono,” sambungnya sambil menunjuk menara setinggi 30 meter berbentuk segi delapan.

Diingat-ingat beberapa kali berkunjung ke sana, saya memang belum berkesempatan barang sekalipun melihat dari dekat menara yang berada di utara pelataran Keraton Surakarta itu. Namun, gagal masuk ke dalam Keraton Surakarta, kejutan justru menyambut kami saat tiba di Keraton Mangkunegaran.

Puluhan atau mungkin ratusan payung ditata sedemikian rupa, hingga membentang lurus ke pelataran keraton. Payung dengan beragam ukuran dan hiasan itu sontak menyedot pengunjung yang ingin berswafoto. Dari kejauhan pertunjukan tampak digelar di pendapa Keraton Mangkunegaran. Dari lokasi yang sama, gending tembang Jawa beralun suara gamelan seolah memikat saya untuk mendekat. Lentik jemari para penari pada akhirnya membuat saya memilih duduk menikmati pertunjukan secara hikmat.

Masih di Mangkunegaran, saya kemudian tersenyum sendiri saat mengingat bagian ibu-ibu yang menawar salah satu produk pameran di Keraton Mangkunegaran. Sebuah kain bermotif indah buatan tangan yang ditawar dengan harga grosiran bak batik di Pasar Klewer oleh salah seorang pengunjung. Ingatan jenaka tersebut lantas berangsur menjadi memori kekaguman pada Laweyan.

Terpikat Seribu Pintu di Laweyan

Masyhur sebagai Kampung Batik bersama Kauman, Laweyan rupanya tak sekadar surga bagi penikmat batik berkualitas asal Solo. Lewat susur sore yang menyulut penasaran, Halim justru menunjukkan sisa-sisa pintu bersejarah di pemukiman lawas yang telah dibangun sejak 1912 ini. Tak kurang dari 70 plakat butik batik saya jumpai di sepanjang jalan yang membentang di Laweyan. Sesekali kami berpapasan dengan turis asing yang tampak tercekat dengan rumah-rumah lawas di sana.

Jalan makin sepi, jalan beraspal yang kami lalui, kini berubah menjadi jalan setapak. Tanpa banyak penjelasan, Halim mulai menyilakan saya mengamati satu per satu pintu pada beberapa rumah yang tampak tak berpenghuni. Warna yang beragam, hingga desain pintu berjalusi yang mulai ditinggalkan di era sekarang, membuat saya akhirnya paham.

Laweyan berbeda dengan ‘kampung warna’ yang mendadak tenar karena warnanya yang menyolok mata. Cat yang mulai memudar, seakan menegaskan jika Laweyan adalah warisan sejarah. Sisa warna pada setiap pintu jalusi, bahkan hampir jauh dari kesan norak. Paduan warnanya justru begitu presisi seolah pengecatnya adalah pelaku seni. Sungguh, saya terkagum-kagum sendiri dengan pintu-pintu ciamik di Laweyan.

Tak lama setelah itu, Halim mengajak saya berkunjung ke salah satu rumah lawas warga. Sekilas tak ada yang istimewa dari rumah tersebut, selain pintu gerbang warna merah darah yang dilengkapi butulan. Rupanya, rumah tersebut salah satu hunian kuno yang masih mempertahankan bungkernya. Pemilik bahkan menyilakan kami merasakan pengalaman, bagaimana bernapas langsung dalam lubang persembunyian bawah tanah itu.

Terlalu lama berkontemplasi, membuat minuman yang saya pesan sampai dingin. Beberapa seruput kopi dan rintik hujan yang belum juga berhenti, memantik kembali memori. Sambil menyandarkan badan, pikiran seolah terhanyut lagi ke sisa kenangan di Solo. Memori saya lantas mengembara ke bagian ‘jumpa’ dengan Susi Pudjiastuti juga Gesang.

Berjumpa Susi dan Gesang

Sepanjang perjalanan balik, Halim mengajak saya melewati jalan Gatot Subroto Solo. Saya tak pernah menyangka, jika di koridor inilah mural yang viral di Solo belakangan berlokasi. Sontak saya langsung terkesiap saat melihat mural Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia ke-6, Susi Pudjiastuti dalam wujud Wonder Women. Momen itu pun kian melengkapi perburuan mural saya di Solo, usai tak sengaja menemukan mural Gesang di sekitar Pasar Triwindu. Sayang, kami tak sempat membesuk ke makam pun rumah maestro Bengawan Solo tersebut.

Syahdan, sorak sorai pengunjung kafe seketika membuyarkan tafakur. Lamat-lamat saya mulai bisa menebak kenapa suara yang menghentak tersebut melepas serentak. Barangkali playlist yang diatur sudah habis, sampai membuat lagu pertama terputar kembali. Sama seperti sedia kala, satu per satu orang melafalkan penggalan chorus-nya baik sengaja maupun spontan. Tiba pada bagian coda, saya tersenyum sendiri.

Bagaimana bisa sebuah lagu berbahasa Korea, justru membawa saya berkontemplasi ke Surakarta?

Paling tidak, kenangan tersebut jadi alasan tersendiri untuk bilang: Solo, biarkan aku kembali.

Apalagi, liburan ke Solo boleh dibilang amat terjangkau. Bukan saja destinasi wisata dan kulinernya, Solo juga banyak menghadirkan penginapan murah, seperti jaringan OYO Hotel Indonesia. Jaringan hotel terbesar tersebut memang menyediakan 1000 lebih hotel yang tersebar di 100 kota di Indonesia, termasuk Solo #PastiAdaOYO. Jadi, tak ada alasan untuk bosan balik liburan ke Solo, kan?

Iklan

10 Kuliner Legendaris Solo yang Masih Eksis, Biar Lawas Tetap Bikin Puas


10 Kuliner Legendaris Solo yang Masih Eksis, Biar Lawas Tetap Bikin Puas
Kuliner Legendaris Solo: Timlo yang masih eksis sampai sekarang © Iwan Tantomi

Solo atau Surakarta agaknya selalu spesial buat saya. Biar kecil, kota ini memiliki daya tarik istimewa bagi setiap pengunjungnya. Salah satunya adalah makanan lawas. Ada banyak sekali kuliner legendaris yang masih eksis di Solo.

Baca juga: Baru Pertama ke Solo? Tempat-Tempat Keren Ini Jangan Sampai Kamu Lewatkan!

Nggak sedikit yang berusia di atas 50 tahun. Namun, yang bikin saya kagum, penyajiannya masih nggak berubah dari tahun ke tahun. Bahkan demi mempertahankan rasa, penjualnya sengaja mewariskan resep secara turun temurun hanya dalam lingkup keluarga. Berikut 10 legendaris Solo yang berhasil saya coba, bisa jadi kamu perlu mencobanya pula saat jalan-jalan ke Surakarta. Ingat baik-baik, ya.

1. Kuliner Legendaris Solo: Brambang Asem

Kuliner Legendaris Solo: Brambang Asem
Kuliner Legendaris Solo: Brambang Asem © Iwan Tantomi

Kesegaran daun ubi jalar dan kangkung bercampur dengan rasa pedas-manis-asam bumbu sambal brambang, sejenak tak ada yang menyangka jika kuliner tradisional dan langka ini sudah berusia 20 tahun lamanya di Pasar Gedhe.

Brambang Asem jadi kudapan favorit yang nikmat disantap antara jam sarapan dan makan siang. Kenikmatan sambal brambang, yang diramu dari cabai rawit, gula jawa, asam jawa, daun jeruk, terasi dan bawang merah (brambang), kian terasa saat menyantap Brambang Asem dengan tempe gembus yang dibuat dari ampas tahu.

Dengan harga sepincuk daun pisang tak lebih dari Rp5ribu, burulah Brambang Asem ini di Pasar Gedhe saat pagi hari, sebelum lanjut menjelajahi Surakarta.

2. Kuliner Legendaris Solo: Lenjongan

Kuliner Legendaris Solo Lenjongan
Kuliner Legendaris Solo: Lenjongan © Iwan Tantomi

Parutan kelapa yang lembut berpadu dengan manisnya gula aren, terasa nikmat di lidah saat menyantap satu per satu isi lenjongan. Jajanan zadul, yang seporsi berisikan tiwul, ketang ireng, ketan hitam, gethuk, sawut, cenil dan klepon ini disajikan dalam bungkus kecil daun pisang. Bahan-bahannya yang masih alami, membuat lenjongan selalu setia dinikmati.

Masuklah ke dalam Pasar Gedhe, lenjongan legendaris yang nyaris berusia 30 tahun, masih eksis dijual di sana. Cobalah satu per satu jajannya, apalagi jika sudah lama tak pernah mencobanya. Kamu bakal dibikin kaget dengan kelezatan di balik kesederhanaannya, terlebih setelah tahu harganya tak lebih dari Rp5 ribu di Solo.

3. Kuliner Legendaris Solo: Dawet Telasih

Kuliner Legendaris Solo Dawet Telasih
Kuliner Legendaris Solo: Dawet Telasih © Iwan Tantomi

Pasar Gedhe itu ibarat surga di Solo. Berbagai makanan legendaris seakan terlestarikan dengan baik di dalam sana, tak terkecuali dawet telasih. Disajikan dalam mangkuk kecil, dawet yang berusia sekitar tiga dekade ini begitu ramai diantre di Pasar Gedhe.

Selain karena rasanya yang tak berubah, dan dijual secara turun-temurun hanya di satu tempat, kelembutan rasa dawet, ketan hitam, juga bisa telasih yang berpadu dengan kesegaran kuah santan seolah langsung meluncur ke tenggorokan saat kali pertamadi telan.

Es Dawet Telasih Bu Dermi menjadi satu-satunya sajian es dawet telasih legendaris hingga tiga generasi di Pasar Gedhe yang patut dicoba.

4. Kuliner Legendaris Solo: Tengkleng Kambing

Kuliner Legendaris Solo: Tengkleng Kambing
Kuliner Legendaris Solo: Tengkleng Kambing © Iwan Tantomi

Tak lengkap rasanya wisata kuliner di Solo, sebelum mencoba kelezatan tengkleng kambing. Rasa bumbunya yang kaya akan rempah-rempah, membuat siapapun bakal tak cukup kalau hanya mencoba sepincuk saja. Apalagi kalau sudah disajikan dengan nasi panas.

Dengan cabai rawit rebus yang bisa langsung digigit, suapan daging tengkleng yang lembut bakal membuat berulang kali menelan ludah jika hanya sekadar melihatnya. Salah satu tengkleng legendaris yang patut di coba adalah Warung Tengkleng Bu Edi dekat Pasar Klewer, Solo.

5. Kuliner Legendaris Solo: Timlo

Kuliner Legendaris Solo: Timlo
Kuliner Legendaris Solo: Timlo © Iwan Tantomi

Kuah kaldu beningnya yang gurih, menjadikan timlo cocok dinikmati sebagai sajian sarapan berkuah. Dengan nasi panas, ragam jeroan ayam, sosis solo, suwiran ayam, telur hingga pindang, begitu sedap dilahap.

Semakin mantap, jika ditambahkan sambal cabai segar yang disediakan. Tak jauh dari Pasar Gedhe, datanglah ke Timlo Sastro. Kuliner khas Solo nan legendaris ini tak pernah berubah rasanya sejak 1952 di warung tersebut.

6. Kuliner Legendaris Solo: Bakmi Thoprak

Kuliner Legendaris Solo: Bakmi Thoprak
Kuliner Legendaris Solo: Bakmi Thoprak © Iwan Tantomi

Pastikan perut benar-benar kosong sebelum menyantap bakmi thoprak. Porsinya yang besar bakal membuat perutmu kenyang dengan bihun, mie kuning, irisan daging sapi, cakwe, tahu, tempe, kubis, taoge, kacang goreng, juga yang tak terlewat sosis solo.

Rasa kaldu pada kuah beningnya tidak sekuat timlo, sehingga tak akan membuat eneg meski porsinya jumbo. Rasa bakmi thoprak ini pun semakin segar dan menggugah selera setelah ditambahkan perasan jeruk nipis dan potongan cabai rawit.

Bakmi Thoprak Yu Nani jadi salah satu bakmi thoprak legendaris yang patut dicoba saat main ke Solo.

7. Kuliner Legendaris Solo: Cabuk Rambak

Kuliner Legendaris Solo: Cabuk Rambak
Kuliner Legendaris Solo: Cabuk Rambak © Iwan Tantomi

Namanya tampak unik, tetapi saat menikmati irisan ketupat bercampur sambal wijen, kamu bakal terkesiap dengan kelezatannya. Cabuk rambak memang memiliki keunikan pada bumbunya. Walau sekilas mirip seperti saus kacang, nyatanya sambal wijen ini diramu dari wijen, kemiri dan kelapa parut yang disangrai lebih dulu.

Tambahan karak atau kerupuk beras yang renyah kian menyempurnakan rasa dari kudapan khas Solo ini. Meski makanan zadul dan langka, tetapi cabuk rambak masih bisa ditemukan secara mudah di Pasar Gedhe.

8. Kuliner Legendaris Solo: Sego Liwet

Kuliner Legendaris Solo: Sego Liwet
Kuliner Legendaris Solo: Sego Liwet © Iwan Tantomi

Sego atau nasi liwet ini begitu sederhana penyajiannya dengan pincuk kecil daun pisang. Namun, saat mulai memakannya pada suapan pertama, kamu akan menjumpai rasa gurih dari nasi yang bercampur dengan suwiran ayam kampung rebus, sayur labu, juga telur pindang.

Tambahan areh yang begitu khas, membuat rasa nasi liwet begitu pas di lidah. Tak sulit menemukan sego liwet di Solo. Namun, kalau ingin yang mantap, cobalah nasi liwet Bu Sri yang ada di pojokan luar Pasar Gedhe.

Resep legendaris yang diwariskan secara turun temurun, membuat sego liwet ini begitu tersohor walau dijual di meja dan kursi plastik sederhana.

9. Kuliner Legendaris Solo: Tahu Kupat

Kuliner Legendaris Solo: Tahu Kupat © Iwan Tantomi
Kuliner Legendaris Solo: Tahu Kupat © Iwan Tantomi

Sajiannya yang tak terlalu berat, membuat tahu kupat solo, nikmat disantap sebagai sajian makan siang atau sore hari. Manis gurih bumbu kacang ditambah kelembutan tahu goreng dan kupat, membaur jadi satu rasa sedap saat dilumat bersamaan.

Kehadiran mie kuning kian memperkaya citarasa dari tahu kupat ini. Lebih-lebih jika ditambahkan ulekan rawit, rasa pedas tahu kupat kian mantap dengan gurih kerupuk sebagai pelengkapnya.

10. Kuliner Legendaris Solo: Gempol Pleret

Kuliner Legendaris Solo: Gempol Pleret © Iwan Tantomi

Gempol pleret nikmat disantap dalam kondisi dingin. Teksturnya yang unik saat dikunyah, membaur dengan rasa manis santan bercampur dengan gula jawa.

Tambahan dawet dan cendol membuat, rasa gempol pleret semakin kaya. Menariknya, tak semua orang bisa membuat gempol pleret, inilah kenapa saat ke Solo kamu perlu mencoba jajanan khas dan langka ini. Citarasanya yang tak biasa, bakal meninggalkan kesan tersendiri kala liburan ke Solo.

Dari 10 kuliner legendaris Solo tersebut adakah yang pernah kamu coba? Atau, kamu punya rekomendasi lainnya? Jangan ragu membagikan ragam kuliner legendaris Solo lainnya di kolom komentar ya. Selamat berlibur dan mencicipi langsung lezatnya kuliner legendaris Solo!

Ragam Kuliner Legendaris di Kota ‘Kenangan’ Solo


Ning stasiun balapan

Kuto Solo sing dadi kenangan

Kowe karo aku

Naliko ngeterke lungamu

Rasanya Didi Kempot tak pernah asal menulis lirik dalam setiap lagu-lagunya yang fenomenal. Solo memang memiliki daya tarik tersendiri. Sebagai salah satu ‘Destinasi Branding’ Indonesia Solo tak hanya ‘menjual’ budaya, tetapi kuliner tradisional yang begitu melegenda. Pantas jika Didi Kempot pun mentitahkan Solo sebagai sebagai Kota Kenangan dalam penggalan lirik lagu Stasiun Balapan: Kuto Solo Sing Dadi Kenangan.

Keunggulan kuliner otentik inilah yang bikin Solo patut dikunjungi oleh setiap wisatawan di Joglosemar. Jika Semarang punya lumpia, dan Yogyakarta memiliki gudeg, maka Solo memiliki beragam kuliner menggiurkan yang nyaris keseluruhannya masih disajikan secara tradisional. Tak sedikit yang berusia di atas 50 tahun. Dengan alas daun pisang, kamu bisa merasakan rasa gurih, asam, manis, asin, pedas, dari sajian pokok hingga camilan lezat berikut ini saat berkunjung ke Solo.

Brambang Asem

Kesegaran daun ubi jalar dan kangkung bercampur dengan rasa pedas-manis-asam bumbu sambal brambang, sejenak tak ada yang menyangka jika kuliner tradisional dan langka ini sudah berusia 20 tahun lamanya di Pasar Gedhe. Brambang Asem jadi kudapan favorit yang nikmat disantap antara jam sarapan dan makan siang. Kenikmatan sambal brambang, yang diramu dari cabai rawit, gula jawa, asam jawa, daun jeruk, terasi dan bawang merah (brambang), kian terasa saat menyantap Brambang Asem dengan tempe gembus yang dibuat dari ampas tahu. Dengan harga sepincuk daun pisang tak lebih dari Rp5ribu, burulah Brambang Asem ini di Pasar Gedhe saat pagi hari, sebelum lanjut menjelajahi Surakarta.

Lenjongan

Parutan kelapa yang lembut berpadu dengan manisnya gula aren, terasa nikmat di lidah saat menyantap satu per satu isi lenjongan. Jajanan zadul, yang seporsi berisikan tiwul, ketang ireng, ketan hitam, gethuk, sawut, cenil dan klepon ini disajikan dalam bungkus kecil daun pisang. Bahan-bahannya yang masih alami, membuat lenjongan selalu setia dinikmati. Masuklah ke dalam Pasar Gedhe, lenjongan legendaris yang nyaris berusia 30 tahun, masih eksis dijual di sana. Cobalah satu per satu jajannya, apalagi jika sudah lama tak pernah mencobanya. Kamu bakal dibikin kaget dengan kelezatan di balik kesederhanaannya, terlebih setelah tahu harganya tak lebih dari Rp5 ribu di Solo.

Dawet Telasih

Pasar Gedhe itu ibarat surga di Solo.Berbagai makanan legendaris seakan terlestarikan dengan baik di dalam sana, tak terkecuali dawet telasih. Disajikan dalam mangkuk kecil, dawet yang berusia sekitar tiga dekade ini begitu ramai diantre di Pasar Gedhe. Selain karena rasanya yang tak berubah, dan dijual secara turun-temurun hanya di satu tempat, kelembutan rasa dawet, ketan hitam, juga bisa telasih yang berpadu dengan kesegaran kuah santan seolah langsung meluncur ke tenggorokan saat kali pertamadi telan. Es Dawet Telasih Bu Dermi menjadi satu-satunya sajian es dawet telasih legendaris hingga tiga generasi di Pasar Gedhe yang patut dicoba.

Tengkleng Kambing

Tak lengkap rasanya wisata kuliner di Solo, sebelum mencoba kelezatan tengkleng kambing. Rasa bumbunya yang kaya akan rempah-rempah, membuat siapapun bakal tak cukup kalau hanya mencoba sepincuk saja. Apalagi kalau sudah disajikan dengan nasi panas. Dengan cabai rawit rebus yang bisa langsung digigit, suapan daging tengkleng yang lembut bakal membuat berulang kali menelan ludah jika hanya sekadar melihatnya. Salah satu tengkleng legendaris yang patut di coba adalah Warung Tengkleng Bu Edi dekat Pasar Klewer, Solo.

Timlo

Kuah kaldu beningnya yang gurih, menjadikan timlo cocok dinikmati sebagai sajian sarapan berkuah. Dengan nasi panas, ragam jeroan ayam, sosis solo, suwiran ayam, telur hingga pindang, begitu sedap dilahap. Semakin mantap, jika ditambahkan sambal cabai segar yang disediakan. Tak jauh dari Pasar Gedhe, datanglah ke Timlo Sastro. Kuliner khas Solo nan legendaris ini tak pernah berubah rasanya sejak 1952 di warung tersebut.

Bakmi Thoprak

Pastikan perut benar-benar kosong sebelum menyantap bakmi thoprak. Porsinya yang besar bakal membuat perutmu kenyang dengan bihun, mie kuning, irisan daging sapi, cakwe, tahu, tempe, kubis, taoge, kacang goreng, juga yang tak terlewat sosis solo. Rasa kaldu pada kuah beningnya tidak sekuat timlo, sehingga tak akan membuat eneg meski porsinya jumbo. Rasa bakmi thoprak ini pun semakin segar dan menggugah selera setelah ditambahkan perasan jeruk nipis dan potongan cabai rawit. Bakmi Thoprak Yu Nani jadi salah satu bakmi thoprak legendaris yang patut dicoba saat main ke Solo.

Cabuk Rambak

Namanya tampak unik, tetapi saat menikmati irisan ketupat bercampur sambal wijen, kamu bakal terkesiap dengan kelezatannya. Cabuk rambak memang memiliki keunikan pada bumbunya. Walau sekilas mirip seperti saus kacang, nyatanya sambal wijen ini diramu dari wijen, kemiri dan kelapa parut yang disangrai lebih dulu. Tambahan karak atau kerupuk beras yang renyah kian menyempurnakan rasa dari kudapan khas Solo ini. Meski makanan zadul dan langka, tetapi cabuk rambak masih bisa ditemukan secara mudah di Pasar Gedhe.

Sego Liwet

Sego atau nasi liwet ini begitu sederhana penyajiannya dengan pincuk kecil daun pisang. Namun, saat mulai memakannya pada suapan pertama, kamu akan menjumpai rasa gurih dari nasi yang bercampur dengan suwiran ayam kampung rebus, sayur labu, juga telur pindang. Tambahan areh yang begitu khas, membuat rasa nasi liwet begitu pas di lidah. Tak sulit menemukan sego liwet di Solo. Namun, kalau ingin yang mantap, cobalah nasi liwet Bu Sri yang ada di pojokan luar Pasar Gedhe. Resep legendaris yang diwariskan secara turun temurun, membuat sego liwet ini begitu tersohor walau dijual di meja dan kursi plastik sederhana.

Tahu Kupat

Sajiannya yang tak terlalu berat, membuat tahu kupat solo, nikmat disantap sebagai sajian makan siang atau sore hari. Manis gurih bumbu kacang ditambah kelembutan tahu goreng dan kupat, membaur jadi satu rasa sedap saat dilumat bersamaan. Kehadiran mie kuning kian memperkaya citarasa dari tahu kupat ini. Lebih-lebih jika ditambahkan ulekan rawit, rasa pedas tahu kupat kian mantap dengan gurih kerupuk sebagai pelengkapnya.

Gempol Pleret

Gempol pleret nikmat disantap dalam kondisi dingin. Teksturnya yang unik saat dikunyah, membaur dengan rasa manis santan bercampur dengan gula jawa. Tambahan dawet dan cendol membuat, rasa gempol pleret semakin kaya. Menariknya, tak semua orang bisa membuat gempol pleret, inilah kenapa saat ke Solo kamu perlu mencoba jajanan khas dan langka ini. Citarasanya yang tak biasa, bakal meninggalkan kesan tersendiri kala liburan ke Solo.

Ragam kekayaan kuliner tersebut pada akhirnya, memberikan khazanah baru bagi wisatawan, jika Solo sebagai bagian dari Destinasi Branding Joglosemar, tak hanya menarik secara atraksi wisata, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa. Lebih dari itu, Solo juga layak dijadikan jujukan destinasi kuliner legendaris yang masih terjaga keaslian rasadan bentuknya. Tak heran siapapun yang berwisata kuliner di Solo, akan jatuh cinta pada pandangan pertama, hingga berniat ingin balik lagi di kemudian hari. Dari Stasiun Balapan, selamat menjelajahi kuliner di Kota Kenangan.