Lalapan Murah dan Enak dengan Porsi Jumbo di Malang, Warung Gaul Depan Plaza Elektronik Blimbing Pilihan Pas Obati Lapar di Malam Hari
Lalapan murah, enak dengan porsi nasi yang banyak di Malang sepertinya masih jadi idola. Bukan saja di kalangan mahasiswa, tetapi juga di kalangan anak-anak muda, atau orang-orang yang gemar kulineran di malam hari.
Kriteria ini pun bisa kamu temukan di Warung Gaul depan Plaza Elektronik Blimbing Kota Malang yang hanya buka di malam hari.
Warung Gaul Berupa Warung Tenda Merah Samping Jalan A Yani Blimbing Malang
Warung Gaul ini berupa warung tenda merah yang berdiri samping jalan A Yani Blimbing Kota Malang.
Bentuknya kecil dan sangat sederhana, tetapi kamu bisa makan sambil selonjoran di depan teras Plaza Elektronik Blimbing Kota Malamg setelah tutup di malam hari.
Makanan Favorit Warung Gaul adalah Pete Goreng dan Lele Goreng Sambal Terasi
Lalapan Murah dan Enak dengan Porsi Jumbo di Malang, Warung Gaul Depan Plaza Elektronik Blimbing Pilihan Pas Obati Lapar di Malam Hari
Warung Gaul hanya menjual lalapan alias lauk pauk yang digoreng dan dimakan dengan sambal terasi pedas. Atau, di Jakarta makanan semacam ini biasa disebut Pecel Lele, Ayam, dst, dan disajikan dengan sayuran segar, seperti kubis/kol, irisan timun dan kemangi—yang kemudian disebut sebagai lalapan, dan di Malang nama Lalapan justru menjadi nama sajian utamanya.
Ada banyak lauk yang dijual di Warung Gaul ini. Dari ayam, jerohan, tahu, tempe, mujaer dan lele. Potongan dan ukuran lauknya juga relatif jumbo, dibandingkan beberapa warung lainnya.
Paling favorit adalah lele gorengnya. Makin mantap jika dimakan dengan pete goreng. Sementara untuk sambalnya adalah sambal terasi, yang bisa kamu rikues sesuai tingkat kepedasan. Namun, sambal standarnya tak begitu pedas, jadi masih bisa dinikmati.
Porsi Nasinya Jumbo alias Banyak Banget
Lalapan Murah dan Enak dengan Porsi Jumbo di Malang, Warung Gaul Depan Plaza Elektronik Blimbing Pilihan Pas Obati Lapar di Malam Hari
Selain lauk yang beragam, yang bikin favorit dari Warung Gaul adalah porsi nasinya yang banyak banget alias jumbo. Benar-benar cocok buat kamu yang belum makan seharian atau sangat lapar.
Pernah tanya, apa tak rugi jika menyajikan nasi banyak banget. Jawaban ibunya pun cukup bikin salut.
Rata-rata yang beli di Warung Gaul adalah orang-orang yang habis pulang kerja malam, atau anak-anak muda yang ngekos, merantau dan tak punya banyak uang. Mereka pasti lapar, apalagi ada yang bilang hanya makan sehari sekali, itupun menunggu warung ini buka dulu. Itulah kenapa akhirnya nasinya saya kasih banyak. Saya senang melihat pelanggan saya kenyang dan bahagia setelah makan di sini.
Ibu Penjual Warung Gaul Depan Plaza Elektronik Blimbing Kota Malang
Harganya Cocok Buat Kantong Anak Kosan
Meski porsi nasinya banyak banget dan ukuran lauknya relatif besar, nyatanya harga seporsi makanan di Warung Gaul relatif murah dan cocok dengan kantong anak kosan.
Seporsi nasi, lele goreng plus tempe, teh manis dan sepiring pete goreng sekitar 17k saja. Keramahan penjualnya membuat saya tak ragu berlangganan dan beli banyak lauk saat makan di Warung Gaul.
Warung Gaul Buka Malam Hari, Tutup Hari Minggu dan Bisa GoFood
Lalapan Murah dan Enak dengan Porsi Jumbo di Malang, Warung Gaul Depan Plaza Elektronik Blimbing Pilihan Pas Obati Lapar di Malam Hari
Warung Gaul buka setiap hari di malam hari, sekitar jam 7 malam hingga habis. Paling nyaman makan di atas jam 9 malam, karena Plaza Elektronik Blimbing sudah tutup jadi bisa sambil selonjoran di atas tikar yang digelar di depannya.
Warung Gaul hanya tutup hari minggu dan bisa order online via GoFood semisal tak sempat datang langsung ke sana. Kalau makan di tempat hanya menerima pembayaran tunai, jadi jangan lupa bawa uang tunai, dengan pecahan kecil kalau bisa.
Gimana tertarik mencoba pete goreng dan lele goreng dengan sambal terasi pedas di Warung Gaul Depan Plaza Elektronik Blimbing Kota Malang?
Patah hati memang begitu getir dirasakan, apalagi jika hal tersebut terjadi setelah 3 tahun lamanya berpacaran. Padahal, kami kian serius menjalin hubungan, bahkan berencana berlanjut ke jenjang pernikahan. Namun Tuhan sepertinya memang berkehendak lain. Alih-alih hidup bahagia bersamanya, saya justru harus rela berpisah dengannya.
Kecewa berat tentu tak bisa terelakkan, tetapi tak ada gunanya juga terus-terusan menyesal, apalagi sampai menyalahkan Tuhan. Berhari-hari hidup seolah tak ada gairah. Pagi siang sore, saya hanya bermain HP tanpa guna. Hingga pada akhirnya, tebersit ide untuk menjauh sejenak.
Setidaknya bisa mengunjungi suatu tempat yang orang-orangnya hampir tak ada yang saya kenali. Saya butuh menemukan pandangan baru untuk menghidupkan lagi semangat hidup yang sempat meredup. Syahdan, sebuah email newsletter dari AirAsia BIG yang muncul di HP, bertepatan dengan fokus mata memandang. Save More with AirAsia. Begitu kira-kira judul subjek emailnya.
Promo yang menarik, cukup memantik semangat saya untuk perlahan bangkit, setelah membaca email sambil tengkurap dan bermalas-malasan di atas kasur. Mata saya tertambat pada Penang yang menjadi salah satu destinasi utama AirAsia.
Mungkin Penang bisa menjadi tempat yang cocok untuk refreshing sejenak, pikir saya, sesaat setelah melihat banner digital dalam email AirAsia yang saya terima lewat smartphone.
Akhirnya Terbang ke Penang dengan AirAsia
Beruntung, saya masih bisa mendapatkan promo terbang hemat Surabaya-Penang dari AirAsia. Harga yang begitu terjangkau, membuat saya tak berpikir lama untuk booking tiket pesawatnya via aplikasi AirAsia.
Begitu pula saat tiba pas hari H. Proses boarding menjadi lebih mudah dan cepat, berkat kehadiran mesin check-in mandiri AirAsia di Bandara Internasional Juanda Surabaya. Bahkan, saya bisa memilih kursi sesuai keinginan, dan duduk dekat jendela pesawat tetap jadi favorit saya.
Setelah semua proses beres, saya akhirnya terbang pagi dari Surabaya. Kira-kira 3 jam penerbangan lamanya, saya pun tiba dengan aman dan lancar di Penang International Airport.
Meski ada fasilitas gratis bagasi hingga 15kg, tetapi saya memilih pergi dengan membawa barang seperlunya dalam satu ransel saja. Dari bandara, saya memilih naik Penang Rapid Bus dengan kode 401 menuju Komtar, baru setelah itu saya lanjutkan berkeliling George Town.
Karena perut cukup lapar, saya putuskan makan Nasi Lemak di sebuah kedai. Tak ada agenda pasti yang saya siapkan, atau kuliner apa saja yang harus saya makan saat di Penang.
Saya ingin benar-benar menikmati perjalanan kali ini senatural mungkin. Menelusuri jalan bermodalkan peta wisata, mencicipi kuliner yang tampak ramai dikunjungi, hingga mengunjungi tempat demi tempat tanpa perlu terburu-buru.
Menemukan Jawaban di Penang
Sejak siang hari di kedai Nasi Lemak waktu itu, tanpa sadar banyak tempat telah saya kunjungi di Penang. Meski masih serumpun Melayu dengan Indonesia, nyatanya kadar ‘asing’ Penang cukup membuat saya nyaman.
Keinginan sejenak untuk mengunjungi tempat asing, rasanya terkabulkan, walau secara geografis sebenarnya Penang tidaklah terlalu jauh dari Indonesia. Namun bukan itu esensinya, budaya yang berbeda, kehidupan sosial yang tak sama, hingga bahasa untuk berinteraksi yang bukan bahasa Indonesia, mampu menghadirkan hal baru sebagaimana yang saya harapkan.
Dalam hati, saya berucap, sepertinya inilah yang saya cari. Hari demi hari senyum saya makin mengembang menjelajahi Penang. Satu demi satu, tempat indah di Penang saya kunjungi.
Mulai Bukit Bendera yang menyuguhkan panorama Penang dari ketinggian 833mdpl secara 360 derajat, kuil Wat Chaiyamangalaram yang tenang dengan patung Buddha tidur, Kek Lok Si Temple dengan patung perunggu Guan Yin setinggi 302m yang megah, dan beberapa tempat lainnya.
Namun, ada satu tempat yang cukup spesial buat saya selama di Penang, yaitu kawasan Penang Street Art. Kawasan UNESCO World Heritage Site di George Town tersebut, bukan hanya menawarkan mural-mural karya seniman jalanan kelas dunia, tetapi juga mempertemukan saya dengan beberapa orang yang cukup menginspirasi.
Pertama, ada Schulz, dia orang Jerman. Interaksi kami terbentuk setelah ia meminta tolong saya memotretnya di depan lukisan populer ‘Kids on Bicycle’ karya Ernest Zacharevic. Sikapnya yang supel, membuat kami bisa mengobrol dengan nyaman.
Yang mengejutkan saya, di balik pembawaannya yang tampak periang, Schulz ternyata sempat mengalami krisis percaya diri. Traveling perlahan membuatnya bisa menemukan siapa dirinya, membuatnya bisa hidup lebih bahagia, dan paling penting ia mulai bisa mencintai dirinya sendiri.
Menurutnya mencintai diri sendiri adalah hal terpenting, sebelum mulai mencintai orang lain. Kalimat yang disampaikan dalam suasana ngopi yang santai itu pun, begitu mengena buat saya.
Mencintai diri sendiri adalah hal terpenting, sebelum mulai mencintai orang lain
Schulz, Penang.
Setelah berpisah dengan Schulz, saya melanjutkan menikmati sore dengan menyusuri jalan demi jalan di George Town. Seorang anak kecil yang berlarian dengan riang, menarik perhatian saya.
Keceriaannya sempat membuat saya iri. Betapa enak jadi anak kecil yang tampak selalu bahagia. Namun, tiba-tiba ia tersandung dan menangis. Seorang perempuan lantas memanggilnya.
Perempuan tersebut terlihat memilin sebuah gelang dan beberapa kerajinan dari benang. Sepertinya mereka turis yang sedang berjualan untuk menambah bekal perjalanan.
Kemudian, saya putuskan untuk menghampiri. Saya awali interaksi dengan memuji karya-karyanya yang cantik. Seperti dugaan saya, Sena, begitu perempuan tersebut menyebutkan namanya, memang sedang berjualan karya kecilnya untuk menambah dana perjalanan, sekaligus uang jajan Fester, anak lelakinya.
Keduanya berasal dari Australia. Hampir sebulan lamanya, Sena dan Fester berada di Penang. Mereka pun masih ingin lanjut berkelana ke berbagai negara. Sena sangat mencintai Fester. Baginya, Fester adalah cahaya hidupnya.
Traveling bisa membuat orang lebih bahagia
Sena, Penang
Ia juga mengungkapkan traveling memberikan banyak perubahan positif, baik baginya maupun Fester. Di luar dugaan, Sena pun mengaku jika dirinya dan Fester pernah mengalami masa sulit yang begitu berat. Namun sejak berkelana bersama sebulan terakhir, ia kini bisa menjadi lebih bahagia, terutama Fester, lantaran tak lagi berjumpa dengan orang-orang yang menyakitinya.
Dari mereka berdua, saya akhirnya bisa mendapatkan sebuah pelajaran hidup, jika saya bukanlah satu-satunya orang yang bernasib malang. Bisa saja, kedua masalah mereka, atau orang lain di dunia ini, lebih berat dari apa yang saya alami. Namun, ada hal yang lebih penting untuk dicari setelah tumpukan masalah hidup tersebut mendera, yaitu kembali bahagia.
Ada hal yang lebih penting untuk dicari setelah tumpukan masalah hidup tersebut mendera, yaitu kembali bahagia
Tommy, Penang.
Kembali Bahagia Bersama AirAsia
Lima hari lamanya saya berada di Penang. Seperintang waktu itu pula, saya telah menemukan banyak ‘jawaban’. Meski kelana saya tak sejauh Schulz, atau tak simultan seperti Sena dan Fester, tapi saya merasa hidup saya kembali bahagia.
Selepas puas berkelana di Penang, saya pun memutuskan untuk kembali pulang ke Indonesia, sesuai jadwal tiket penerbangan balik menggunakan AirAsia yang juga sudah saya pesan di awal. Boarding yang mudah dengan mesin check-in mandiri AirAsia, lagi-lagi membuat saya bisa memilih kursi di dekat jendela pesawat. Penerbangan saya ke Surabaya dari Penang International Airport pun berjalan lancar.
Selama penerbangan, saya cek masih ada sisa Ringgit di dompet. Mencium aroma gurih yang menggugah selera, perut saya mulai keroncongan. Kebetulan ada pramugari AirAsia yang datang menawarkan menu ‘SANTAN’ andalan AirAsia.
Mata saya terpaku dengan Nasi Lemak Pak Nasser. Saya ingat, saat awal tiba di Penang, sajian tersebut adalah kuliner khas Penang pertama yang saya coba. Makanan itu pula yang bikin saya jadi berenergi, membuka simpul senyum karena kelezatannya, hingga membuat saya bersemangat menjelajahi Penang.
Saya ingin akhir penjelajahan di Penang kali ini juga bisa ditutup dengan lezatnya Nasi Lemak. Sebab, setibanya di Surabaya, saya berharap bisa kembali hidup ‘normal’, sebagaimana semangat saya menjelajahi Penang usai makan Nasi Lemak.
Puji syukur, makanan tersebut ada dalam daftar menu penerbangan AirAsia rute Penang-Surabaya. Terlebih lagi Nasi Lemak Pak Nasser menjadi salah satu menu lezat yang sangat populer sekaligus berharga terjangkau yang dihadirkan AirAsia, sehingga tak ada alasan untuk tak mencobanya.
Dengan layanan terbaik, sekaligus pengalaman terbang yang luar biasa, tak salah jika AirAsia dinobatkan sebagai World’s BestLow-Cost Airline dari Skytrax selama 11 tahun berturut-turut. Maka tak berlebihan jika di akhir kisah, saya bilang: kembali bahagia bersama AirAsia usai putus cinta. Terima kasih AirAsia.
HAMUR Dieng hampir selalu saya jadikan tujuan untuk nongkrong sambil jajan, setiap kali ada teman dari luar Malang yang ingin mengajak ketemuan.
Biasanya memang teman-teman dekat saja, yang mengajak saya ke HAMUR Dieng. Selain tempatnya nyaman, di sana saya bisa berlama-lama untuk cerita, mengerjakan projek tertentu, hingga sekadar bercanda gurau.
HAMUR Dieng bagian dalam
Terlebih lokasi HAMUR Dieng yang jauh dari jalan raya, membuat suasana di sana terasa tenang. Siapapun yang ke sana bisa bicara dengan tenang, tanpa terganggu kebisingan jalan.
Selain itu, HAMUR Dieng bukanya mulai jam 3 sore sampai 12 malam, sehingga cocok dijadikan pilihan berkumpul dengan kawan-kawan selepas beraktivitas, seperti kerja. WiFinya yang cukup kencang juga cocok dijadikan pilihan mengerjakan tugas, termasuk mahasiswa.
HAMUR Dieng bagian dalam
Di HAMUR Dieng, tempatnya terbagi outdoor dan semi indoor. Keduanya cocok dijadikan tempat berfoto juga. Lebih-lebih saat malam hari, karena ada pohon besar yang dihias dengan lampu-lampu bohlam, sehingga menambah kesan menarik, sekaligus romantis buat kamu yang ingin kencan misalnya.
Di samping tempat, yang bikin saya betah berlama-lama untuk nongkrong di HAMUR Dieng adalah jajannya yang enak-enak. Nggak ada makanan berat, adanya camilan seperti lumpiah, donat, risol, kentang goreng, pisang nugget, kue sus, hingga tahu sambel kecap.
Lumpia HAMUR Dieng
Semua camilan tersebut handmade, jadi selalu fresh dan lezat buat dicoba. Masing-masing camilan dijual mulai Rp17 ribu saja di HAMUR Dieng.
Sementara, untuk minuman, HAMUR Dieng punya beragam pilihan. Mulai Greentealatte, Chocolate, Redvelvet, Tarolatte, Blacktea, Vanillatea, Blackcurrantea, Mangomilk, Milktea, Affogato, Coffeemilk.
Donat, fresh milk, dan rosellatea di HAMUR Dieng
Favorit saya Rosellatea dan Freshmilk. Bisa dingin, bisa panas pesannya. Masing-masing bisa dibeli mulai Rp12 ribu saja.
Dengan harga yang terjangkau, suasana yang nyaman, nggak salah jika HAMUR Dieng hampir selalu saya jadikan tempat mencari ketenangan maupun bercengkerama dengan kawan-kawan di Malang.
Ngok kucing cakep yang suka diajak foto di HAMUR Dieng
Tertarik ke HAMUR Dieng? Kamu bisa mengunjunginya di Jalan Raya Dieng Atas no. 9, Kecamatan Dau, Malang.
Sate Pak Sabar Malang agaknya memang nggak boleh lagi diragukan kelezatannya. Bukan hanya legendaris, soal rasa sate Pak Sabar Malang hampir nggak pernah berubah. Enak, gurih, empuk, plus dengan harga yang tetap segitu-gitu aja, alias murah.
Jangan heran, jika kualitas yang tetap terjaga, membuat Warung Sate Madura Pak Sabar Malang ini tetap dibanjiri pelanggan. Salah satu menu favorit saya adalah sate kambing. Biasanya saya pesan satu paket dengan gulai kambing.
Kedua menu tersebut begitu sempurna buat makan malam saat berpadu dengan nasi putih yang hangat. Segelas teh tawar panas atau dingin, kian melengkapi paket nikmati sate gula kambing yang saya pesan, setiap kali datang ke Warung Sate Madura Pak Sabar Malag.
Lantas, kenapa saya suka? Pertama, dari sisi bau prengus, sate kambing Pak Sabar Malang, hampir nggak tercium aromanya. Dagingnya benar-benar fresh, serta dipanggang dengan pas, sehingga begitu nikmat saat disantap.
Begitu pula dengan gule kambing di Warung Sate Madura Pak Sabar Malang, nggak ada bau prengus, dan kuahnya sedap karena kaya rasa rempah. Sementara isinya berupa jerohan, daging, serta banyak dikasih tulang sumsum. Jika ingin sensasi pedas, tinggal tambahkan sambal yang disediakan di meja. Dengan penyajian serba panas, rasa gule kambing Pak Sabar Malang, begitu menggoda saat dimakan dengan sate kambingnya.
Warung Sate Madura Pak Sabar Malang ini berlokasi di Jalan Mayjend Panjaitan Kav 1, Penanggungan, Kec Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Bukanya malam saja, sekitar jam 6 sore sampai habis, makanya ini jadi rekomendasi pas buat makan malam saat di Malang.
Seperti namanya, perlu sabar makan di Warung Sate Madura Pak Sabar Malang ini, karena yang beli banyak, sementara tempatnya juga terbatas. Namun, semua terbayar kok, saat sate gule kambing yang dipesan akhirnya datang.
Soal harga, seporsi sate kambing/ayam di Warung Sate Madura Pak Sabar Malang sekitar Rp15 ribu, seporsi nasi atau lontong sekitar Rp2 ribu, gule kambing seporsi sekitar Rp17 ribu, sementara teh tawar Rp1 ribu. Pokoknya total makan di Warung Sate Pak Sabar Malang sepaket tersebut nggak sampai Rp50 ribu kok.
Oya, buat yang nggak suka kambing, tenang ada sate ayam di Warung Sate Madura Pak Sabar Malang. Rasa sate ayam Pak Sabar sama enaknya kok dengan sate kambing Pak Sabar. Tapi, karena cuaca di Kota Malang saat malam cenderung dingin, jadi makan sate gule kambing Pak Sabar rasanya memang jadi paket komplit yang nggak boleh dilewatkan. Cobalah!
Lokasi Warung Sate Ayam dan Kambing Pak Sabar Malang
Derit pintu kaca menandai kedatangan saya di sebuah kafe. Hujan di luar membuat saya memilih untuk menyeruput kopi di dalam ruangan yang berkonsep industrialis tersebut. Sambil menunggu pesanan Caramel Macchiato tiba, saya mulai kembali membuka buku yang sedang saya baca belakangan. AMBA: novel karya Laksmi Pamuntjak.
Tumben sekali, waktu itu pengeras suara di kafe tersebut tak memutar lagu. Melihat pramusaji yang tampak kewalahan, saya bisa maklum. Barangkali habis ini I Remember-nya Mocca, Hujan di Mimpi-nya Banda Neira, Tidurlah-nya Payung Teduh, atau Kisah Dari Selatan Jakarta milik WSTCC bakal diputar. Saya membayangkan lagu-lagu indie tersebut sepertinya dianggap paling cocok untuk diputar saat hujan di malam hari.
Alih-alih begitu, justru lagu Korea yang diputar bersamaan dengan pesanan saya yang datang. Suara riuh sebagian pengunjung perempuan yang saya tengarai milenial penikmat KPOP pun langsung menyeruak seantero ruangan. Mereka begitu antusias mengikuti, lebih-lebih kala itu idola mereka. Sudah barang tentu, tak banyak lagu yang saya tahu. Beruntung saya terbiasa fokus baca di tengah gemuruh keramaian. Dengan santai saya menikmati halaman demi halaman bacaan tersebut, tanpa perlu menyumpal telinga.
Fokus baca saya pun mulai runtuh, kala mata terhenti pada satu kata. Seolah menyilakan indera pendengaran menyimak lagu tersebut, otak saya justru mulai mencerna lagu yang sepintas terdengar familier. Apalagi kini hampir semua pengunjung tampak mengenali lagu itu. Meski dengan suara lirih dan terbata, mereka tampak tepat melafalkan penggalan lirik lagu tersebut sesuai ritme musiknya. Tak kunjung ingat judul apalagi artisnya, membuat saya akhirnya gegas membuka Shazam. Dengan tepat, aplikasi pendeteksi lagu itu memunculkan jawabannya: Solo – Jennie (BLACKPINK).
Jennie BLACKPINK dengan Lagu SOLO
Rasanya lagu tersebut sangat adiktif, hingga merasuk ke benak orang yang bukan penggemar KPOP sekalipun. Saya jadi teringat, jika beberapa waktu terakhir orang-orang di kantor nyaris spontan menyanyikan lagu tersebut walau sepenggal-sepenggal. Bahkan, penjual nasi goreng depan rumah yang hampir tak tahu KPOP itu apa, turut menyanyikan bagian chorus-nya. Perlahan tapi pasti, kafe-kafe pun turut teracuni hingga memutar lagu tersebut tanpa pandang bulu suasana hati dan situasi.
I’m going solo lo lo lo lo lo
Kalimat tersebut rasanya terus menggema di telinga, kendati lagu telah berganti. Menariknya, sayup-sayup kata Solo justru mengajak saya bermemorabilia dengan Surakarta, Solo versi Indonesia beberapa waktu sebelumnya.
Menyambut Pagi di Pasar Gede
Tukang becak berlalu-lalang di depan Pasar Gedhe
Kereta yang melaju dari Malang akhirnya melambat dan berhenti tepat waktu di Stasiun Balapan Solo. Terlihat dari jendela beberapa penumpang yang menghambur keluar dengan tergesa. Ada yang semringah lantaran seperti kembali berjumpa dengan orang yang lama tak dilihatnya. Adapula yang gegas keluar sekadar menemukan toilet yang ‘layak’ disinggahi.
Sementara pelana kembali menyuarakan instruksi, saya justru berjalan keluar dengan langkah tak pasti, sebelum akhirnya kereta melanjutkan perjalanan kembali. Boleh dibilang kedatangan saya ke Solo kali ini spontan tanpa persiapan. Pesan tiket malam, sore esoknya langsung berangkat.
Saking tak terencananya, sebagian orang yang saya jumpai di kereta dan sempat mengobrol sejenak sampai bertanya, “Ada apa di Solo?”
Jika bukan karena kebaikan hati Halim, barangkali saya sudah jadi jembel di stasiun malam itu. Halim menyilakan saya bermalam di rumahnya yang tak jauh dari Pasar Gede. Di pasar yang usianya hampir seabad itu pula kenangan akan Solo mulai terbuat. Bangun di pagi hari, Halim langsung mengajak saya menyusuri sisi legendaris lain dari Pasar Gede selain fasad bangunan dan langgam arsitekturnya. Apa lagi kalau bukan kulinernya.
Dari nasi liwet lintas generasi, dawet telasih yang usianya sama tuanya dengan Pasar Gede, hingga jajanan zadul yang masih lestari dan hanya bisa ditemukan di dalam pasar yang dibangun sejak era kompeni ini, hadir menyambut pagi. Dengan ragam aroma yang tercium bergantian, sarapan pagi di Kota Solo saya tutup dengan sepincuk Cabuk Rambak, Brambang Asem, dan Lenjongan.
Beranjak dari Pasar Gede, saya berpamitan dengan Halim untuk check-in lebih dulu ke hotel di Solo, sebelum melanjutkan pelesiran ke beragam destinasi jamak di Solo. Benteng Vastenburg jadi jujukan kedua saya. Ada banyak sekali perbaikan yang tampak dari benteng yang dibangun Belanda pada medio abad ke-18 Itu. Yang jelas kondisinya lebih terawat, nihil vandalisme dan laik dijadikan spot berfoto dibandingkan sejak kali terakhir saya mengunjunginya.
Matahari yang kian meninggi, membuat saya lekas berpindah. Saya cukup menikmati kelana kali ini. Menyusuri trotoar berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, membuat saya merasa sepadan dengan turis asing yang lalu lalang. Perasaan saya semakin riang, karena Halim akhirnya bisa kembali menyusul, setelah membereskan urusan pribadinya. Ia pun menggiring saya ke keraton. Tepatnya, lebih dari satu keraton.
Langgam Klasik Keraton Surakarta
“Kalau ada acara, keraton-keraton ini akan dibuka, pengunjung bisa melihat ke dalam juga,” ungkap Halim di sela kunjungan kami di Keraton Kasunanan Surakarta. Kompleks yang kentara dengan langgam arsitektur Jawa berbalut warna serba biru muda itu pun tampak ramai dikunjungi wisatawan yang hilir mudik dari berbagai kota. “Setidaknya kita bisa masuk dan melihat langsung Panggung Songgo Buwono,” sambungnya sambil menunjuk menara setinggi 30 meter berbentuk segi delapan.
Diingat-ingat beberapa kali berkunjung ke sana, saya memang belum berkesempatan barang sekalipun melihat dari dekat menara yang berada di utara pelataran Keraton Surakarta itu. Namun, gagal masuk ke dalam Keraton Surakarta, kejutan justru menyambut kami saat tiba di Keraton Mangkunegaran.
Puluhan atau mungkin ratusan payung ditata sedemikian rupa, hingga membentang lurus ke pelataran keraton. Payung dengan beragam ukuran dan hiasan itu sontak menyedot pengunjung yang ingin berswafoto. Dari kejauhan pertunjukan tampak digelar di pendapa Keraton Mangkunegaran. Dari lokasi yang sama, gending tembang Jawa beralun suara gamelan seolah memikat saya untuk mendekat. Lentik jemari para penari pada akhirnya membuat saya memilih duduk menikmati pertunjukan secara hikmat.
Masih di Mangkunegaran, saya kemudian tersenyum sendiri saat mengingat bagian ibu-ibu yang menawar salah satu produk pameran di Keraton Mangkunegaran. Sebuah kain bermotif indah buatan tangan yang ditawar dengan harga grosiran bak batik di Pasar Klewer oleh salah seorang pengunjung. Ingatan jenaka tersebut lantas berangsur menjadi memori kekaguman pada Laweyan.
Terpikat Seribu Pintu di Laweyan
Masyhur sebagai Kampung Batik bersama Kauman, Laweyan rupanya tak sekadar surga bagi penikmat batik berkualitas asal Solo. Lewat susur sore yang menyulut penasaran, Halim justru menunjukkan sisa-sisa pintu bersejarah di pemukiman lawas yang telah dibangun sejak 1912 ini. Tak kurang dari 70 plakat butik batik saya jumpai di sepanjang jalan yang membentang di Laweyan. Sesekali kami berpapasan dengan turis asing yang tampak tercekat dengan rumah-rumah lawas di sana.
Jalan makin sepi, jalan beraspal yang kami lalui, kini berubah menjadi jalan setapak. Tanpa banyak penjelasan, Halim mulai menyilakan saya mengamati satu per satu pintu pada beberapa rumah yang tampak tak berpenghuni. Warna yang beragam, hingga desain pintu berjalusi yang mulai ditinggalkan di era sekarang, membuat saya akhirnya paham.
Laweyan berbeda dengan ‘kampung warna’ yang mendadak tenar karena warnanya yang menyolok mata. Cat yang mulai memudar, seakan menegaskan jika Laweyan adalah warisan sejarah. Sisa warna pada setiap pintu jalusi, bahkan hampir jauh dari kesan norak. Paduan warnanya justru begitu presisi seolah pengecatnya adalah pelaku seni. Sungguh, saya terkagum-kagum sendiri dengan pintu-pintu ciamik di Laweyan.
Tak lama setelah itu, Halim mengajak saya berkunjung ke salah satu rumah lawas warga. Sekilas tak ada yang istimewa dari rumah tersebut, selain pintu gerbang warna merah darah yang dilengkapi butulan. Rupanya, rumah tersebut salah satu hunian kuno yang masih mempertahankan bungkernya. Pemilik bahkan menyilakan kami merasakan pengalaman, bagaimana bernapas langsung dalam lubang persembunyian bawah tanah itu.
Terlalu lama berkontemplasi, membuat minuman yang saya pesan sampai dingin. Beberapa seruput kopi dan rintik hujan yang belum juga berhenti, memantik kembali memori. Sambil menyandarkan badan, pikiran seolah terhanyut lagi ke sisa kenangan di Solo. Memori saya lantas mengembara ke bagian ‘jumpa’ dengan Susi Pudjiastuti juga Gesang.
Berjumpa Susi dan Gesang
Sepanjang perjalanan balik, Halim mengajak saya melewati jalan Gatot Subroto Solo. Saya tak pernah menyangka, jika di koridor inilah mural yang viral di Solo belakangan berlokasi. Sontak saya langsung terkesiap saat melihat mural Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia ke-6, Susi Pudjiastuti dalam wujud Wonder Women. Momen itu pun kian melengkapi perburuan mural saya di Solo, usai tak sengaja menemukan mural Gesang di sekitar Pasar Triwindu. Sayang, kami tak sempat membesuk ke makam pun rumah maestro Bengawan Solo tersebut.
Syahdan, sorak sorai pengunjung kafe seketika membuyarkan tafakur. Lamat-lamat saya mulai bisa menebak kenapa suara yang menghentak tersebut melepas serentak. Barangkali playlist yang diatur sudah habis, sampai membuat lagu pertama terputar kembali. Sama seperti sedia kala, satu per satu orang melafalkan penggalan chorus-nya baik sengaja maupun spontan. Tiba pada bagian coda, saya tersenyum sendiri.
Bagaimana bisa sebuah lagu berbahasa Korea, justru membawa saya berkontemplasi ke Surakarta?
Paling tidak, kenangan tersebut jadi alasan tersendiri untuk bilang: Solo, biarkan aku kembali.
Apalagi, liburan ke Solo boleh dibilang amat terjangkau. Bukan saja destinasi wisata dan kulinernya, Solo juga banyak menghadirkan penginapan murah, seperti jaringan OYO Hotel Indonesia. Jaringan hotel terbesar tersebut memang menyediakan 1000 lebih hotel yang tersebar di 100 kota di Indonesia, termasuk Solo #PastiAdaOYO. Jadi, tak ada alasan untuk bosan balik liburan ke Solo, kan?