Unforgettable Moment, Bonek to Surabaya!


“Niat nggak nih jalan-jalan?”
“Niat dong. Tapi, budget mepet nih?”
“Hallah… yang penting jalan dulu, bonek aja lha!”

Rasanya sudah cukup lama mengingat momen itu. Momen dimana saya sering banget menghabiskan waktu untuk menjelajahi satu tempat ke tempat lainnya dengan hanya modal kaki – hanya asal pergi tanpa banyak pertimbangan ini itu. Kalau istilah Surabaya-nya sering disebut modal dengkul atau bonek, bondo nekat. Mungkin itulah yang bakal dilakukan anak muda seusia saya (waktu itu, tapi sekarang masih muda kok), khususnya yang hobi traveling nekat alias backpacker-an.

Melihat liburan panjang awal tahun amat sayang jika dilewatkan untuk muter-muter di mal, pulang kampung atau hanya diam diri di kosan sambil menonton sinema liburan – yang notabene isinya film anak-anak. Arghh! Bukan itu yang saya inginkan.

Di satu sisi, dompet begitu tipis, sisa duit bulanan juga tinggal beberapa lembaran hijau Rupiah. Kalo dihitung-hitung sih nggak bakalan cukup dibuat liburan jauh-jauh. Nekat sih nekat, tapi ogah juga jika sampai kenapa-kenapa di jalan. Bukannya sampai di tempat tujuan, bisa-bisa ngesot gara-gara kehabisan bekal. Hiii! Sereum!

Seolah nggak mau menyerah, otak terus berputar-putar pelan mirip bianglala. Sambil mencari-cari ide tempat terdekat yang belum pernah saya jelajahi – sekalian hemat gitu ceritanya. Lagi khusyuk-khusyuknya mikir, tiba-tiba ada temen yang ngajak jalan-jalan. Sebut saja Pendik, dia menyodorkan tawaran keliling-keliling kota Surabaya. Nggak pakek lama, langsung saya iyakan aja tawaran tersebut.

Pendik asli kota Malang dan saya asli Sidoarjo. Sementara saya mengenalnya sejak tinggal satu asrama saat masih SMA. Hanya belakangan kami pisah tempat tinggal, dia di rumahnya, saya jadi anak kosan karena alasan tempat kuliah yang berbeda. Oke, balik ke perjalanan ke Surabaya. Mumpung liburan, lama juga nggak ketemu, akhirnya perjalanan saya kali ini jadilah bersama si Pendik.

Jug ijag ijug ijag ijug, suara kereta mulai berangkat dari Malang menuju Surabaya. Hanya bermodalkan kemeja kotak-kotak, celana panjang dan sandal gunung kesayangan – anak KKN banget. Nggak lupa ransel yang berisi kabel charger dan kamera pocket biasa, berbincang-bincanglah kami dalam kereta. Biar nggak garing, udah saya sediakan juga kacang pilus yang saya beli di warung depan kosan. Tau sendiri, jajanan di tempat-tempat stasiun harganya setara sebungkus nasi dan lalapan – yang  bagi anak kosan rasanya sudah mirip sajian full course restoran berbintang.

Mikir panjang, mengorek-ngorek tempat mana yang paling pas untuk dikunjungi – gratisan kalo bisa selama di Surabaya. Kami juga emoh kalo sekadar masuk KBS atau mal-mal besar Surabaya, rasanya bukan itu yang kita inginkan. Teeeng! Bunyi kereta berhenti yang memekakkan telinga. Akhirnya kami tiba di Stasiun Gubeng Surabaya. Perut keroncongan, ternyata inget kalo pagi belum sarapan. Masuklah kami ke salah satu warung yang menjajakan makanan khas Surabaya… Rawon Daging. Sedaaap!

DSC_0013
Rawon Daging dulu sebelum muter-muter Surabaya. Eh, sebelahnya ada nasi urap-urap ayam bakar pesenan si Pendik.

Usai makan, ternyata Pendik punya gagasan untuk pinjem motor biar lebih hemat gitu. Kabar baiknya, dia punya keluarga yang deket stasiun situ. Nego demi nego, dia lakukan sambil membujuk manis Pak De-nya. Dengan mata berbinar-binar kegirangan akhirnya kami dibolehkan pinjem motor. Touring will be started!

Karena sama-sama buta lokasi Surabaya, jadilah kami mengandalkan papan penunjuk jalan dan tanya-tanya. Mulai ibu-ibu jualan cendol, bapak penjaga masjid, sampai pak polisi – untung orangnya lagi baik. Saking baiknya, dia nunjukin tempat menarik di Surabaya dari yang murah sampai yang gratisan. Jadilah kami ke Tugu Pahlawan. Sebelumnya, saya hanya tau monumen ini dari buku-buku sejarah doang. Tapi, saat melihatnya langsung, saya benar-benar merasa terharu dengan maskot perjuangan kemerdekaan, lebih tepatnya pertempuran 10 November 1945 yang dilakukan arek-arek Surabaya ini.

Edit
Ekspresi takjub, haruh entah apalah campur aduk di Tugu Pahlawan

Di bawah monumen berbentuk paku terbalik ini, terdapat Museum 10 November yang berisi diorama Bung Tomo dan bukti-bukti perjuangan kemerdekaan lainnya di Surabaya. Uniknya, di bagian depan gerbang masuk ke Tugu Pahlawan, terdapat patung Presiden Soekarno dan Bung Hatta saat membacakan naskah proklamasi. Di belakang dua patung pahlawan ini, ada beberapa pilar – yang dibuat mirip reruntuhan, dengan coretan penggugah semangat kemerdekaan.

DSC03161
Patung Presiden Soekarno dan Bung Hatta posisi membaca teks proklamasi dengan latar reruntuhan pilar

Jika berdiri tepat di beberapa sisi tribun yang mengitari Tugu Pahlawan, dapat secara langsung melihat Hotel Majapahit. Di buku-buku sejarah, hotel ini sering disebut sebagai Hotel Yamato atau Hotel Oranje. Benar, di sanalah insiden perobekan bendera Belanda menjadi Merah Putih terjadi. Sayang, predikat hotel mewah bintang lima-nya membuat saya hanya puas dada-dada dari kejauhan. Hadew! Untungnya, masuk Tugu Pahlawan cuman modal parkir doang.

Keenakan foto sampai lupa lihat jam sudah menunjukkan jam 11, jadilah kami lanjut sekalian cari tempat sholat. Meski jalan-jalan nggak lupa kewajiban dong! Nggak sengaja mendongak di plang deket lampu merah, tertulislah ‘Masjid Akbar Surabaya (MAS)’. Seolah otak kami tersambung, berpandangan sambil unjuk gigi masing-masing. Perjalanan berikutnya, masuk sudah ke masjid terbesar se-Jawa Timur. Lagi-lagi, kami harus merelakan ongkos parkir doang.

Sambil menunggu waktu dhuhur, tengoklah ke sana ke mari, memutari lorong per lorong, lantai demi lantai, sambil  dikit-dikit mendongak ke atas mengagumi ukiran kubah yang super indah. Entah sudah berapa kata ‘Wow’ dan ‘Subhanallah’ yang sudah terucap. Saking takjubnya, nggak sadar kami jadi bahan pandangan jamaah. Duh, noraknya!

DSC03073
Pelataran Masjid Al Akbar Surabaya (MAS)

Meski tempat ibadah, MAS juga termasuk tempat wisata populer di Surabaya. Selain kemegahan bangunannya, kita juga bisa melihat luasnya kota Surabaya dari atas menara MAS. Tak mau melewatkan atraksi yang paling diburu orang tersebut, kami langsung aja ikut antrian dan masuk lift untuk melihat pemandangan dari menara setinggi 99 meter ini. Wiih!

Masih jam setengah satu, kami lanjut muter-muter Surabaya, hingga sampai di Pantai Kenjeran. Terakhir kali ke sana, masih SD kelas 1-an. Itupun sudah ingat-ingat lupa. Apesnya, tempat wisatanya berpagar dan ada pos tiketnya. Buru-buru menjauh deh. Untungnya, nggak jauh dari wisata yang nggak gratis itu, kami masih bisa menikmati sisi lain Pantai Kenjeran – dengan gratis tentunya.

DSC03182
Ini dia bapak pemilik perahu yang ngerayu-ngerayu saya untuk keliling selat Madura

Karena berhadapan dengan laut Jawa, ombak di pantai yang airnya cokelat susu ini tidak segahar pantai-pantai di Malang yang langsung bertemu dengan Samudera Hindia. Sekilas kami mencari-cari apa yang bisa dilakukan di sini selain melihat para pedagang ikan laut. Ada satu atraksi wisata yang tampaknya menarik untuk dicoba. Kami pun memutuskan untuk berkeliling selat Madura setelah dikerubutin bapak-bapak yang menawarkan wisata perahu. Ujung-ujungnya keluar dua lembaran Rupiah warna biru.

DSC03197
Yippie, Selat Madura oey

Cukup eksklusif karena hanya kami berdua, plus bapak pemilik perahunya, mengitari selat Madura. Bahkan kami bisa melihat Jembatan Suramadu dari bawah. Cakep bukan? Mendekati pelabuhan Tanjung Perak, perahu putar balik. Saya pikir bisa lebih mendekat ke Patung Jalasveva Jayamahe – ikon Surabaya sekaligus perwira TNI AL. Ternyata, nggak boleh sampai ke sana karena bisa mengganggu aktivitas pelayaran kapal besar, bisa-bisa malah ditangkap.

DSC03169
Tobat di Masjid Sunan Ampel

Puas keliling selat Madura, lanjut ke Makan Sunan Ampel. Lagi-lagi, untuk cari wisata gratis sambil sholat ashar. Ingat jalan-jalan juga mesti ingat kewajiban, biar nggak dimarahi Pak Ustad. Padahal, ada tujuan lainnya juga sih. Kuliner di Sunan Ampel lumayan beragam dan harganya juga nggak kejam-kejam banget kok. Sekalin kami habiskan sampai magrib, sambil ziarah kubur. Anak sholeh kan memang harus begitu. Hihihi!

Sebelum mengakhiri touring – tidak saya sebut backpacking karena kami kelilingnya pakek motor bukan modal dengkul, kami mampir di salah satu taman kota terbaik dunia. Nggak lain dan bukan, Taman Bungkul di Jalan Darmo. Penasaran seperti apa wujudnya, kami pun celingukan seantero taman. Sekilas nggak jauh beda dengan taman-taman kota lain di Indonesia, hanya lebih tertata, bersih dan akses internetnya kenceng – gratis lagi. Sadar seharian kami pakek motor orang, buru-buru kami pulang. Sambil berharap Pak De-nya si Pendik bilang, “nginep di sini aja dulu besok pagi baru balik”. Eh, nggak taunya beneran. Sip dah, dapet akomodasi – plus dinner pecel lele gratis.

Well, pada akhirnya liburan itu nggak seribet yang kita bayangkan. Asal ada kemauan untuk jalan, kita bisa dapetin pengalaman baru yang begitu sulit dilupakan. Jurnal ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Jurnal Perjalanan dari Tiket.com dan nulisbuku.com #MenikmatiHidup #TiketBaliGratis.

So, jika ada kesempatan liburan, langsung jalan aja deh. Kalo jaraknya dekat-dekat aja dari tempat tinggal bolehlah bonek. Tapi, tetap lebih baik bila direncanakan jauh-jauh hari, terlebih bila kita ingin plesir atau backpacker-an ke luar pulau sampai ke luar negeri. Persiapan matang, tetap perlu dilakukan, khususnya saat jalan-jalan sendiri. Mumpung masih muda, jalan-jalan yuk!

Iklan

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.