
“Aku nanti pengen jadi dokter,
Aku mau jadi guru,
Enakan jadi pilot bisa terbang ke mana-mana,
Aku mau jadi presiden aja biar bisa berguna bagi bangsa dan negara”
Seru ya… mengingat masa-masa di mana kita bisa lugas bicara, bebas bermimpi tanpa ada beban sedikit pun yang membatasi. Hal lain yang nggak kalah menarik untuk diingat adalah pesan orang tua dan guru yang selalu mengatakan, “Gantungkan Mimpi Setinggi Langit” dengan peribahasa pendukung “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian”. Mungkin sudah beberapa petuah, namun hanya dua itu saja – yang kebetulan saya ingat, cukup mengena.
Seolah terus saya hafalkan dan tanamkan pada hati dan pikiran yang paling dalam, dua ‘semboyan’ itulah yang terus menjadi pegangan, hingga akhirnya saya mulai mengenal istilah passion di masa SMA. Anehnya, saya sempat bingung passion itu apa. Padahal, berulang kali diberitahukan oleh Bapak Ibu guru di sekolah, dengan bakat kita bisa lebih mudah mewujudkan cita-cita.
Kebingungan tentang arti sebenarnya sebuah cita-cita, bakat atau passion, ternyata bukan hanya saya yang ngalami. Bahkan sampai masuk kampus, nggak sedikit teman yang selalu bertanya, “Bakatku itu apa sih?”. Kadang saya malah pengen tertawa mendengarnya. Bukannya saat masih kecil masing-masing dari kita sudah punya pilihan, menjadi apa yang begitu diimpikan. Kenapa tiba saat fisik sudah lebih kuat, pikiran sudah lebih dewasa, wawasan pun sudah cukup melimpah, sebagian orang justru dibutakan dengan pertanyaan ‘apa ya cita-citaku?’
Keseringan mendapatkan doorproze aneh – tak lain dan tak bukan pertanyaan tentang ‘bakatku apa sih?’ dari teman, saya jadi parno sendiri. Boro-boro kasih jawaban setiap pertanyaan, saya justru mulai sadar jika belum sepenuhnya menemukan cita-cita saya sendiri. Wakks! Selama ini saya hanya mengikuti apa yang saya jalani, kuliah memilih jurusan yang sejak awal hanya karena tertarik untuk mencobanya. Tanpa ada tujuan khusus kelak saya akan memaksimalkan profesi dengan latar belakang pendidikan yang saya tekuni, walau sebenarnya saya cukup mumpuni, hihihi *buka sertifikat lulusan terbaik*
Oke, setelah lulus, saya berhasil masuk perusahaan farmasi terkemuka. Idaman banyak anak eksak, bahkan sampai nangis darah karena nggak keterima. Ups! Sudah bekerja sebulan, saya justru merasa aneh dengan profesi yang sebenarnya secara skill mampu saya jalani. Saya putuskan mengundurkan diri. Berpikir panjang, sambil menjajal semua pekerjaan. Mulai peneliti, pengajar, bankir, telemarketing, saham, sampai barista pernah saya coba. Tapi, masih belum cocok. Di sinilah saya mulai menyadari itu bukanlah bakat saya, walau berulang kali harus saya katakan masih mampu melakukannya. Bagi saya, passion itu seperti potongan puzzle yang perlu disatukan sesuai bentuknya.
Demi passion ini pula saya #BeraniLebih menjajaki semua profesi. Enam bulan nomaden dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Hingga terhentak pada saat menulis. Ya, setiap hari saya menulis dan saya begitu menikmati hobi ini. Muncullah kesempatan menjadi jurnalis, saya coba walau bermodalkan pengalaman pemred jurnal kampus dan juara karya tulis ilmiah nasional. Hampir satu tahun berlalu, saya menikmati pekerjaan menjadi penulis media. Tidak nomaden lagi, bahkan bisa berkarir secara gemilang.
Mungkin, jika dulu saya hanya bermain aman dan nggak #BeraniLebih mencoba, bakat yang saya miliki akan tetap tertidur hingga tiada. Kenyataannya, puzzle yang utuh benar-benar sudah saya dapatkan sekarang. Kalau kamu? 🙂
Facebook: Iwan Tantomi | Twitter: @i_onetantomi