Terpaksa Joging Menyusuri Sentosa Loop di Singapura


Badan rasanya langsung terhentak untuk bangun, setelah alarm ponsel berbunyi entah untuk yang ke berapa kali. Dengan kepala agak pening imbas bangun tiba-tiba, saya langsung mengambil ponsel yang sudah tergeletak di lantai. Beruntung lantai kamar Hard Rock Hotel ini berlapis karpet tebal, jadi tak sampai menyebabkan ponsel lecet atau bahkan remuk.

Lantas, seperti kaget saat melihat jam sudah menunjukkan 5.30 pagi. Buru-buru saya ambul wudu untuk menyegerakan ibadat subuh yang hampir berlalu. Kalut di pikiran perlahan menyusut, terlebih usai tirai jendela saya buka. Ini bukan hari pertama saya di sana, tapi kadang masih lupa jika ada perbedaan waktu sejam lebih lambat daripada di Indonesia. Sambil mengecek jadwal waktu salat via ponsel, hati saya pun kini sungguhan lega setelah ingat jika subuh di Singapura baru mulai jam 5.27 pagi.

Namun, entah kenapa gayang di jemala ini rasanya tak lekas hilang. Bisa jadi karena saya kurang tidur. Apalagi di luar dugaan pesta Halloween yang menjebak saya semalam sebelumnya, baru selesai jam 2 dini hari. Sontak, saya baru kembali ke hotel, dan mulai istirahat sejam berikutnya. Meski kantuk masih mendera, tapi seperti biasanya, saya tak lagi bisa tidur jika sudah sempat terbangun.

Sebuah ide pun akhirnya tercetus usai melihat sport shoes di bawah meja. Kenapa tidak joging saja? Pikiran itu seketika membuat senyum saya mendadak merekah. Beberapa kali ke Singapura, memang belum pernah mencoba joging sungguhan. Adanya paling berjalan kaki menjelajahi pusat hingga pinggiran kota. Sekalinya berlari, justru harus kejar-kejaran dengan para setan di Universal Studios Singapore.

Ide itu pun lekas saya realisasikan, usai menikmati secangkir teh hitam yang disediakan hotel, sembari menunggu matahari perlahan terbit pada jam 6.30 pagi. Usai berganti pakaian, saya kemudian pergi ke lobi. Dalam lift, sempat terpikir ke mana enaknya rute joging yang pas dipilih.

TEMPLATE BLOG(5)

“Good Morning, Sir.” Beruntung, bell boy yang sempat mengantarkan saya ke meja jamuan Michelin Star Chef di Hard Rock Cafe, kembali menyapa setelah saya keluar dari lift. Dari situ saya bisa bertanya ke mana rute joging yang tepat dilalui saat pagi di Sentosa. Dengan ramah, ia pun membagikan informasinya. “You could run through Sentosa Loop’s route.”

“Sentosa Loop?”

“The route covers most of the available beachfront and despite the touristy vibe in some parts,” ungkapnya, lantas ia sambung sebelum sempat saya tanggapi, “It’s a pleasant run with ever changing scenery.”

“Unbelievable! Thank you for your very useful information!”

Sebelum perjumpaan kami berakhir, ia sedikit menambahkan jika saya berlari bolak-balik dari Harbourfront menyusuri Pulau Sentosa, total jarak yang bisa ditempuh sekitar 12km. Namun, saya hanya punya waktu sekitar 2 jam sebelum agenda pertama hari itu dimulai. Jadi, selepas berjumpa bell boy—yang baru saya ketahui namanya, usai ia dipanggil ‘Joel’ oleh rekannya, tersebut, saya berencana joging ke sekitar Merlion Sentosa hingga menyusuri jalan di Siloso Beach saja.

Hanya, kembaran patung Merlion yang ada seberang Marina Bay Sands Singapore itu, tak kunjung saya temukan. Sebaliknya, saya justru tiba di depan Trick Eye Museum Singapore. Sebenarnya saya sudah berniat balik arah, tetapi gara-gara ada dua orang terlihat joging ke arah jalan yang saya kira buntu sebelumnya, saya justru penasaran untuk mengikuti mereka.

Siapa sangka, dari balik rimbunan pohon perdu, terdapat semacam tempat khusus untuk jalan kaki. Jalannya dibuat dari jajaran kayu yang ditata rapi. Tambahan taman-taman gantung yang ditata apik di kanan-kiri, kian menumbuhkan kesan asri.  Semakin saya berlari, semakin banyak instalasi seni yang saya jumpai. Salah satunya adalah patung dari lilitan kawat bernama Victor Tan Wire. Di depannya ada semacam bar bernama Bones ‘n Barrels, yang masih tutup pagi itu.

Jika bukan karena Monorail yang lewat tiba-tiba, mungkin saya tak akan menyadari bila bangunan memanjang berpancang tinggi, tepat di belakang gedung The Wine Company Singapore itu adalah Sentosa Gateway. Sungguh, desain bangunannya yang sangat artistik membuat saya terpana, hingga tahu-tahu sudah berlari sampai di bagian ujungnya.

Ironinya, sepanjang berlari saya nyaris tak menyadari jika di bagian kiri adalah lautan. Bisa jadi karena sisi kanan tempat tersebut lebih rindang, sehingga pandangan saya lebih terfokus ke beberapa tanaman. Sebaliknya, teluk tersebut baru saya ketahui, setelah duduk sekadar mengistirahatkan kaki di sisi Harbourfront. Dari posisi saya, tampak di depan mata Sentosa Island di kejauhan. Saya baru benar-benar menyadari telah menyeberangi Pulau Sentosa dengan berlari, sesudah tahu bangunan di belakang saya adalah VivoCity.

Sayang, saya hanya bisa menertawai diri sendiri, usai sadar jika tak membawa dompet pun uang sama sekali. Jangankan mau ke VivoCity, mau menukar free pass card untuk balik ke Sentosa Island dengan Monorail saja urung jadi. Itu artinya, saya memang harus mengikuti saran Joel joging bolak balik dari Harbourfront menuju Pulau Sentosa. Menyusuri kembali dermaga, atau… tempat yang lebih cocok disebut jembatan penghubung Harbourfront-Sentosa Island khusus pejalan kaki ini.

Pada akhirnya, joging di Singapura menyusuri Sentosa Loop, sepintas terdengar gaya, padahal aslinya juga terpaksa. Haha. Apakah kamu pernah mengalaminya juga? 🙂

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

4 tanggapan untuk “Terpaksa Joging Menyusuri Sentosa Loop di Singapura”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.