Gamangnya Kuliah Kerja Nyata


Potret warga pedesaan
Potret aktivitas sehari-hari warga pedesaan. Kuatnya kehidupan sosial, membuat warga bisa berinteraksi langsung setiap hari. Ponsel pun masih bukan jadi kebutuhan utama, maka wajar bila sekampung jarang ada yang berjualan pulsa [Hak Milik Foto: Iwan Tantomi]

September 2012, semua mahasiswa baru sibuk mengurusi ‘perabotan’ yang diperlukan untuk orientasi studi dan pengenalan kampus atau akrab disebut ospek. Nggak ketinggalan, area di sekeliling kampus pun mendadak dipenuhi PKL yang menjajakan perabotan ospek. Hal yang membuat saya heran, PKL-PKL tersebut selalu tahu apapun yang diminta panitia ospek kepada maba. Entah ada oknum maupun mata-mata di sekitar panitia, yang jelas selama jadi panitia ospek sampai ketupelak (ketua pelaksana), nggak pernah sekalipun saya maupun panitia ospek bagi-bagi clue perabotan ospek.

Ujung-ujungnya, mahasiswa baru jadi kurang kreatif karena semua perabotan tersedia secara instan. Oya, alasan saya bolak-balik menyebut ‘perabotan’, karena memang faktanya apapun yang diminta panitia ospek nggak pernah masuk akal, sampai-sampai saya pernah diminta bawa kompor kecil, wajan kecil dan perabot absurd lainnya. Heran, mereka mau mengajak orientasi apa piknik sih? Tapi, sudahlah, toh yang sedang ospek sekarang bukan saya, panitianya juga bukan saya (lagi), jadi sebagai mahasiswa semester 6 cukup senyum-senyum melihat ‘muka sangar’ panitia dan ‘muka bingung’ mahasiswa baru.

Kebetulan, September 2012, program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampus bersamaan dengan pelaksanaan ospek. Baik mahasiswa baru atau mahasiswa basi (sama-sama disingkat maba), tumplek-blek di kampus. Bedanya, mahasiswa basi lebih bermuka tegang. Bagaimana tidak, setiap kali ngomongin KKN, yang ada di benak adalah pedalaman, nggak ada stop-contact apalagi wifi, masyarakatnya masih nggak memakai baju dan kalau banyak ulah langsung disekap, terus dijadikan menu makan malam bersama. Hiiii! Mungkin efek pernah lihat CANNIBAL HOLOCAUST kali, ya. Hee.

DSC00912
Untuk menuju lokasi KKN harus naik turun jalan makadam menyusuri ladang dan hutan [Hak Milik Foto: Iwan Tantomi]

Kenyataannya, nggak begitu-begitu amat. Soal pedalaman memang iya. Lokasinya menyempil di kaki gunung. Untuk menuju ke sana, juga harus menyusuri ladang, sesekali hutan, dengan jalan makadam yang naik turun, diapit rumput setinggi badan. Sampai-sampai mobil kampus yang sedianya mengantarkan tepat ke lokasi KKN, harus berhenti dan memaksakan kami berjalan kaki. Nggak heran, saat tiba di pos KKN, kami bermuka lecek semua. Soal penduduk, jauh dari kesan primitif. Masyarakat di sana  tampak seperti masyarakat pedesaan pada umumnya dengan rumah (sudah) bertembok. Listrik juga sudah mengaliri desa. Para penduduk yang sedang beraktivitas di ladang, kian melengkapi keasrian dan pemandangan khas sekaligus hawa sejuk pedesaan.

Sepintas, saya dan teman-teman sekelompok KKN tampak antusias, apalagi kami disambut dengan hangat (dalam artian sebenarnya, karena disuguhi teh hangat dan pisang goreng panas di tengah hawa dingin pegunungan). Sampai akhirnya tiba di pos tempat tinggal, salah seorang menggerutu, terus yang lain juga ikutan, lama-lama menjadi riuh saat tahu nggak ada sinyal. Alamak! Bagi mahasiswa yang tiap hari menenteng gadget, ketiadaan sinyal ini begitu mengkhawatirkan. Apalah arti sebuah ponsel pintar, jika tidak ada sinyal. Bahkan, iPhone yang super canggih sekalipun tergeletak tak berguna.

DSC00887
Mungkin inilah pedalaman, saking dalamnya sampai nggak kebagian sinyal [Hak Milik Foto: Iwan Tantomi]

Mungkin inilah yang disebut pedalaman. Dalam, sampai nggak kebagian sinyal. Saya pun berusaha menguatkan iman, agar tabah menghadapi kehidupan tanpa ponsel yang biasa digenggaman. Sementara, teman yang lain ada yang sudah gamang nggak karuan, karena nggak bisa BBM-an, update status, upload foto, maupun sebatas scrolling jemari untuk stalking. Benar-benar smartphone junkie pokoknya. Bahkan, dari sini tampak, jika ketakutan mahasiswa jaman sekarang waktu KKN bukan lagi suku pedalaman yang brutal, tapi karena kehilangan sinyal. 😛 *efek kekinian*

Secercah harapan akhirnya tiba saat malam hari. Entah karena sinyalnya hanya mampir di waktu malam, ponsel yang tadinya hening tanpa suara, tiba-tiba berdering karena ada pesan. Dan, itu akhirnya menjadi sebuah keajaiban di tengah keterasingan. Teman-teman yang sempat senewen pun kembali beringas. Dasar!

Setiap malam, mereka begitu semangat, posting foto dari segala aktivitas yang dilakukan bersama warga. Nggak foto kegiatan, foto selfie, sampai foto-foto nggak penting seperti kaleng bekas pun mereka unggah dengan gencar. Tanpa sadar, hal yang menurut mereka asyik, justru menghabiskan kuota internet. Nggak sedikit juga yang pulsa regulernya ikut tersedot lantaran digunakan untuk game online. Imbasnya, belum juga dapat seminggu, lagi-lagi ponsel mereka tergeletak tak berguna. Namun, kali ini bukan karena sinyal, tapi karena pulsa yang tumbang.

Mulanya, mereka hanya bilang dengan santai,

“Sudah malam, tidur… tidur. Besok lanjut lagi usai beli pulsa. Masak sih satu kampung nggak ada yang jual pulsa!”

Jreng… jreng… akhirnya hal yang buruk benar-benar terjadi. Satu kampung nggak ada yang jual pulsa. Biasanya warga lokal akan turun ke daerah yang lebih ramai untuk menjual hasil bumi ke pasar tradisional. Sosialisasi pun dilakukan dengan cara interaksi langsung, sehingga jarang sekali menggunakan telepon maupun ponsel. Lagi pula, menurut warga lokal, mereka biasa saling bertemu, bersapa, bercakap, maupun bertransaksi setiap hari, sehingga keberadaan handphone apalagi smartphone masih belum jadi kebutuhan utama.

DSC_0454
Interaksi sosial yang tinggi, membuat penduduk lokal masih belum begitu membutuhkan sebuah ponsel [Hak Milik Foto: Iwan Tantomi]

Mungkin itulah yang membuat kehidupan di desa lebih harmonis. Sebab, kalau dipikir-pikir, keberadaan ponsel dewasa ini nggak lagi sebatas alat untuk mempermudah komunikasi. Lebih dari itu, segudang fitur dan aplikasi telah membuat sebagian penggunanya menjadi individualis alias terlalu asyik dengan kehidupannya sendiri. Gambaran semacam itu, sebenarnya begitu melekat pada kami, mahasiswa yang selalu beringas dengan tren teknologi. Terlebih saat berada di tempat KKN seperti ini, kami jadi lebih sadar jika kegandrungan pada teknologi justru telah mengikis kepekaan sosial yang ada dalam diri.

Sebenarnya, ada sebagian warga yang sudah memiliki ponsel, bahkan beberapa sudah menggunakan smartphone. Namun, mereka nggak pernah membeli pulsa elektrik di counter. Sebaliknya, mereka justru terbiasa mengisi pulsa lewat ATM. Biasanya, saat menabung di bank, mereka sekalian mengisi pulsa lewat ATM. Langkah pintar tersebut mereka ketahui, setelah ada salah satu warga yang bertanya kepada teller tentang counter pulsa yang dekat dengan bank. Eh, malah dikasih penjelasan, bila ATM juga bisa dimanfaatkan untuk membeli pulsa elektrik. Akhirnya, kebiasaan tersebut menular ke warga lainnya.

Ironisnya, sebagian kami (baca: mahasiswa) baru tahu cara tersebut. Duh! Nah, kebetulan ada teman yang kuota internetnya masih ada. Kebetulan juga, dia punya aplikasi mobile banking. Kami coba untuk membeli pulsa elektrik via aplikasi tersebut. Ternyata berhasil. Bagusnya lagi, duit yang terpotong di ATM sesuai dengan jumlah pulsa yang dibeli. Semisal beli pulsa 50000, hanya Rp 50.000,- saja yang terpotong. Karena yang butuh pulsa banyak, dia akhirnya buka lapak pulsa murah dadakan.

isi ulang brizzi 3
Herannya, sebagian teman KKN baru tahu kalau ATM bisa digunakan untuk beragam transaksi [Hak Milik Foto: Pusat Informasi]

Tapi, model dagang pulsa yang seperti itu nggak bisa dijadikan panutan. Di samping nggak menghasikan keuntungan, juga akan semakin mengurangi saldo ATM. Bisa-bisa ATM diblokir, karena saldonya selalu minim dan terkuras untuk membeli pulsa. Sebenarnya, ada teman KKN yang jualan pulsa elektrik. Namun, dia gulung tikar, gara-gara harga pulsa elektrik semakin mahal, minim keuntungan dan yang pasti kehilangan pelanggan. Padahal, semisal ada server pulsa elektrik yang profesional, mungkin kegiatan berjualan pulsa yang selama ini banyak menjadi usaha sampingan anak kuliah, lebih mudah dijalankan.

Kabar baiknya, ternyata server pulsa elektrik yang seperti itu benar-benar ada. Nggak sengaja browsing sana-sini, bertemulah Pojok Pulsa. Bukan sebatas server pulsa elektrik biasa, Pojok Pulsa ternyata menyediakan fitur dan sarana isi ulang pengisian pulsa murah untuk semua operator. Bedanya, kalau server biasa memerlukan banyak chip maupun ponsel untuk masing-masing operator. Sementara Pojok Pulsa memiliki fitur pengisian pulsa all operator hanya dari satu ponsel. Fitur lainnya berupa deposit bebas, tanpa ada masa kadaluarsa. Bahkan, bagi mahasiswa yang modalnya pas-pasan, bisa langsung mendaftar menjadi agen pulsa elektrik di Pojok Pulsa secara gratis tanpa dipungut biaya sepeser pun.

Sebaliknya, transaksi dapat dilakukan kapan dan di mana saja, termasuk saat sedang KKN di tempat terpencil sekalipun. Pilihan transaksi yang lebih hemat juga bisa dilakukan lewat Yahoo Messenger, Gtalk (sekarang Google+ Hangouts) hingga Facebook. Menariknya, Pojok Pulsa nggak sebatas melayani pulsa elektrik, namun juga token PLN dan Voucher Game, sehingga kesempatan untuk memiliki pelanggan lebih besar. Bahkan, melalui transaksi downline, komisi yang didapatkan bisa berlipat ganda, dari sebatas menjadi agen pulsa elektrik belaka. Nggak heran, bila dengan segudang fitur unggulan yang ada, Pojok Pulsa mampu menangani puluhan juta transaksi pengisian voucher elektrik dan voucher fisik selama 6 tahun berjalan.

Karena berkantor pusat di Jalan Media Masa No. 41 PWI Cipinang Muara Jatinegara, Jakarta Timur, kehadiran Pojok Pulsa ini tentunya menjadi pusat pulsa elektrik Jakarta. Dengan segudang fitur server all operator, boleh dibilang Pojok Pulsa juga menjadi sentra pulsa murah Jakarta. Bagi mahasiswa Jakarta yang ingin mendapatkan tambahan pemasukan, sebenarnya tawaran menjadi agen pulsa elektrik di Pojok Pulsa layak untuk dipertimbangkan. Bagi yang nggak berada di Jakarta, tenang, panduan pendaftaran yang lengkap dan mudah via online, dapat menjadikan member cuma-cuma di Pojok Pulsa, tanpa perlu gusar masalah jarak dan waktu. Asyik bukan?

Andai saja waktu KKN tersebut, saya sudah mengenal Pojok Pulsa lebih dulu, mungkin kendala-kendala kehabisan pulsa saat di daerah-daerah terpencil dan sepi counter pulsa, bisa teratasi secara mudah. Namun, dengan informasi yang saya tulis ini, paling tidak, bisa menjadi bekal penting untuk mahasiswa yang hendak melaksanakan KKN. So, jangan lagi deh masalah kehabisan pulsa seperti yang pernah saya alami waktu KKN, bikin kalian gamang sampai hilang akal 😀

———————————

Lomba Blog Pojok Pulsa 2015

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

7 tanggapan untuk “Gamangnya Kuliah Kerja Nyata”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.