Wahai Sendu, Kuharap Kau Lalu


seorang tampak sendu menyendiri di rumah sakit, pemandangan serupa yang saya alami saat ini

Pagi ini ada rasa yang begitu melekat. Saking tak enaknya, hati seolah dirundung sendu. Entah apa penyebabnya, yang jelas begitu tak nyaman rasanya.

Coba tetap optimis jalani hari, dengan membuka rutinitas seperti biasa. Apalagi ini Jumat, saya coba perbanyak doa, barangkali bisa menentramkan jiwa yang sedang gundah gulana.

Namun, simpul senyum seolah tak mengembang sedikit pun. Coba jauhkan rasa curiga, lagi-lagi saya berpikir, “Ah, ini hanya perasaanku saja, semoga tak terjadi apa-apa.”

Saya percaya prasangka baik akan berakhir dengan baik. Alih-alih bebas dari jerat sendu, saya coba tetap ceria seperti biasa dengan tawa palsu. Segala informasi yang saya baca lewat ponsel pun nyaris positif semua, hingga segalanya terasa buyar saat telepon datang jam 4 sore.

Tawa saya kini meredup. Sendu yang seolah terpendam, sekarang makin memuncak bak magma yang siap keluar dari puncak gunung berapi. Emosi mulai bercampur aduk usai telepon saya akhiri.

Berita dari sepupu yang tiba-tiba itu, membuat tubuh saya gemetar. Saya tak lagi fokus bekerja. Layar monitor yang saya pandang kini mulai buram. Sungguh, saat itu perasaan saya benar-benar tak nyaman.

Puncaknya, saya tak dapat menahan lagi emosi, setelah atasan mengizinkan saya pulang lebih dulu. Air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk mata, akhirnya berlinang juga.

Sembari berderai air mata, saya lari sejadi-jadinya, menaiki bus yang bisa membawa saya ke Surabaya secepatnya. Kabar ayah masuk UGD karena muntah darah, sungguh membuat saya khawatir bukan kepalang. Sepanjang perjalanan saya hanya menangis bak perawan diputus pacar.

Entahlah, kenapa hal itu bisa terjadi pada saya. Namun, di benak saya berkecamuk hal terburuk yang harus saya hadapi. Apalagi saat di rumah sakit, ayah belum siuman, dengan selang yang dimasukkan hidung serta beberapa jarum infus dan tranfusi darah yang menancap di tangan.

Pemandangan pilu itu begitu menyayat hati. Saya hanya terisak tanpa suara. Memohon doa agar masih diberi kesempatan bercengkerama bersamanya. Alhamdulillah, pejaman mata yang saya nanti akhirnya saya temui. Ayah saya siuman dan pelukan erat pun tak bisa saya hindari.

Sungguh, hari itu Tuhan benar-benar membolak-balikkan perasaan saya. Namun, hal terbesar yang saya syukuri Ia masih mengizinkan saya bersamanya. Meski kelabu di kalbu masih belum lenyap sepenuhnya, “Wahai sendu, kuharap kau berlalu.”

Iklan

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

2 tanggapan untuk “Wahai Sendu, Kuharap Kau Lalu”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.