Terenyuh Baksos Ramadan


“Tom, gak pengin baksos?” Tanya seorang kawan, sebut saja namanya Dimas.

Pertanyaan yang awalnya saya pikir lelucon itu, justru berganti membuat saya berpikir serius. Tak biasanya Dimas mengajak aksi sosial semacam itu. Namun, setelah menjelaskan dengan sepenuh hati, akhirnya saya percaya jika dia sedang tak bercanda.

“Tapi, aku enggak punya kenalan atau relasi macam panti asuhan mas,” jawab saya. “Memang rencananya sama siapa saja?”

“Nah itu masalahnya, aku belum tahu,” sambungnya.

“Oh, kukira sudah tahu tempatnya. Coba tawarkan ke teman-teman barangkali mereka tertarik ikut,” pungkas saya.

Tak berselang lama salah satu grup WhatsApp bereaksi. Dimas rupanya melempar tawaran baksos ke salah satu grup non-formal kantor yang seringnya digunakan koordinasi traveling. Menariknya, sebagian besar penghuni grup tersebut merespon positif.

Pertanyaan “Kapan dimulai” hingga “Mau baksos apa saja?” langsung menjadi bahasan. Pembicaraan kian mengerucut ke arah sumbangan yang pas diberikan, seperti sembako, sampai daftar titik strategis di kota yang biasa dijumpai orang-orang yang dirasa layak dapat bantuan.

Obrolan semakin fokus dengan tim-tim yang langsung terbentuk. Mulai tim sembako, tim survei, hingga pendesain banner digital. Setelah diskusi kilat dan efektif tersebut, waktu pembagian sembako hingga sebuah nama panti asuhan pun muncul sebagai jujukan lain selain menyebar sembako ke beberapa orang.

Hari H tiba, sayang padatnya pekerjaan membuat saya harus absen membagikan sembako secara langsung. Namun, kiriman foto masal yang tiba-tiba memunculkan notifikasi pesan WhatsApp cukup membuat ponsel bergetar lama.

Ternyata, teman-teman mengirimkan beberapa foto hasil dokumentasi pembagian baksos di salah satu lokasi. Tepatnya di Yayasan Peduli Kasih “KNDJH” di Jalan Muharto Gg 5 Kota Malang.

Satu per satu foto saya buka. Betapa banyak foto bayi, balita hingga anak kecil di tempat tersebut. Mereka terlihat lucu dan manis, tetapi di saat yang sama menimbulkan rasa miris. Apalagi setelah tahu, sebagian besar anak-anak tak berdosa tersebut dibuang begitu saja oleh orangtuanya.

Mata mulai terasa panas, setelah melihat kiriman foto berikutnya. Bukan lagi anak-anak, melainkan mak-mak. Mereka terbaring tak berdaya di tengah renta yang mendera. Derai air mata akhirnya tak lagi mampu terseka, kala mengetahui mereka ditinggalkan begitu saja oleh anak-anaknya. Tega.

Sungguh kumpulan foto-foto tersebut nyaris membuat puasa batal, jikalau saya tak lagi mampu membendung derai air mata. Apalagi beberapa teman yang datang ke sana bercerita jika beberapa ibu tersebut ada yang sempat disiksa, tak sekadar disia-siakan oleh anaknya.

Mendengar ceritanya saja saya begitu terenyuh, bagaimana dengan teman-teman yang langsung bertatap muka dengan manusia-manusia malang di sana? Walau yang kami berikan tidaklah seberapa, tetapi binar bahagia dan rasa terima kasih yang tulus dari mereka, membuat kami tak hanya gembira, melainkan juga membuat kami bersyukur dan sadar jika masih banyak saudara di sekitar yang perlu uluran tangan.

Mungkin sedekah tak seberapa itulah pada akhirnya yang membuat Ramadan kami tahun ini jadi bermakna.

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

13 tanggapan untuk “Terenyuh Baksos Ramadan”

      1. Nggak, lagi di kampung, sekitar adanya sawah bukan macet haha, jadi buat mikir enak aja, terus juga lagi gak dikejar kerjaan juga sih, jadi ada banyak waktu, ngeblogku juga dari hp jadi lebih fleksibel. :))))

        Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.