MEREKA


“Sudah sampai Kepanjen, ya?” tanya Adis.

“Baru juga Kota Lama,” jawab saya.

“Gobes,” tukas Adis merutuk kedunguannya sendiri. Padahal ia tahu, kereta baru berlalu dari Stasiun Malang Kota Baru, dan kini kembali berhenti di Stasiun Malang Kota Lama. Akan tetapi, antusiasmenya berwisata tampak menggelora, hingga membuatnya tak sabar sampai ke tujuan.

Namun, asanya menghitung stasiun susut seiring dengan pecahnya gelak tawa yang mengiringi cerita kami. Dari drama tergopoh-gopoh berangkat ke stasiun dengan pakaian kerja, lantaran khawatir ketinggalan kereta, hingga Denny yang diantar ayah dan rekan-rekan pejabatnya ke stasiun.

Adis, Ayu dan Denny, sebetulnya teman mengopi. Siapa sangka, mereka justru tertarik pelesir bersama. Orang bilang sifat asli seseorang akan muncul saat kita jalan bersama. Di situlah kekhawatiran mulai mendera.

Kekalutan akan ego yang tak bisa ditekan akibat terbiasa melancong mandiri, justru membuat saya waswas sendiri. Bagaimana nanti kalau Bandung ternyata menjadi akhir dari relasi kami selama ini?

Lewat tawa semu, saya mencoba menawarkan daftar destinasi. Sampai tiba di Bandung, tak ada yang menolak. Semua setuju dengan usulan yang saya beri.

Kami bahkan membersihkan diri di Stasiun Kota Bandung. Mengisi kegiatan pagi sebelum check-in di hotel dengan berjalan kaki. Kami menyusuri trotoar dan mencari sarapan. Semuanya saya yang menyarankan, tetapi saat kami akhirnya menemukan Nasi Tutug Oncom yang justru tak sesuai harapan, masing-masing bisa memaklumi.

Merasa tak enak hati sendiri, saya akhirnya menawarkan diskusi. Di luar dugaan, satu sama lain menawarkan ide, hingga akhirnya kami pilih yang paling masuk akal untuk direalisasikan.

Semua mengalir begitu saja dengan rasa saling percaya yang terwujud secara spontan. Keterbukaan kini mulai membuat saya tenang. Saat ada yang kurang sepakat dengan satu tujuan, ia akan bicara dan mengutarakannya kenapa.

Alih-alih marah atau merasa idenya tak dihargai, kami justru santai memilih mana yang aman dan nyaman dikunjungi. Egoisme dan arogansi rasanya mulai terkikis. Kini kami mulai menikmati apa yang disebut jalan-jalan bersama.

Dari Gedung Sate, bertambah lagi satu kepala. Kali ini konsep ‘semakin banyak kepala, semakin lama ambil keputusannya’ mulai menghinggapi saya. Namun, Natan yang menyusul dari Jakarta, justru menyerahkan enaknya ke mana kepada kami semua.

Kejujuran Natan pada destinasi mana atau atraksi apa saja yang belum pernah ia coba, membuat kami tak merasa diintervensi sekalipun Natan masyarakat Bandung asli.

Diskusi pun akhirnya semacam menjadi pegangan resmi, setiap kali hendak memutuskan ke sebuah lokasi. Buahnya, kami jadi bisa naik Bandros dengan suka cita, karena bisa saling meyakinkan diri dan membuang jauh-jauh rasa gengsi.

Kami bahkan kerap memesan makanan dengan porsi lebih sedikit untuk dicoba bersama. Padahal saya tahu, rombongan yang saya bawa bukanlah jelata. Jika mau, mereka bisa saja makan di restoran bintang lima dengan mudah.

Hanya kesadaran, jika setiap menu pesan satu porsi, yang ada kenyang duluan sebelum mencoba lainnya. Padahal, hasil diskusi kami memutuskan wisata kuliner selain menikmati sudut-sudut kota. Kesepakatan bersama itulah yang membuat jelajah kami di Bandung terasa bahagia.

Tanpa kami antisipasi, personel baru datang menyusul. Bukan hanya satu, melainkan dua kepala sekaligus. Apakah kekompakan berwisata ini akan terus berlanjut dengan tujuh kepala? Batin saya, menerka-nerka.

Adhib dan Matias. Keduanya adalah senior dalam sirkel sosialisasi kami. Mereka rela menerjang macet selepas kerja di Jakarta, demi menjumpai kami yang santai-santai di Bandung.

Gembira, sudah barang pasti, mengingat agenda ke Bandung yang serba tak terencana dan ke mana-mana mesti diskusi, justru menjadi ajang reuni.

Prinsip diskusi itu pula yang membuat kami menerima dengan senang hati ajakan Matias ke Dago Atas. Ia bahkan menjamu kami dengan hidangan mewah di restoran bergaya Italia. Di sinilah saya percaya, jika traveling dengan tujuh kepala tak selalu berujung petaka.

Tentu saja, apa yang saya alami di Bandung kali ini tak menjamin hal yang sama, manakala saya ulang kembali di tempat lain atau mungkin dengan orang berbeda. Itulah kenapa saya patut berterimakasih kepada MEREKA.

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

23 tanggapan untuk “MEREKA”

      1. betul, tp kalo biniku ga mau ya mereka kutinggal di hotel, aku keluyuran sendiri, dia kurang suka ke tempat bersejarah apalagi yg dr luar ud nampak spooky ky museum, gedung tua dll

        Disukai oleh 1 orang

      1. Wah, seneng banget dengernya, haha. Soalnya aku nulisnya di sela sela kesibukan, ngetik dan edit fotonya pun pakek hp semua, tapi berusaha kutulis sepenuh hati kok, wkwkwk.

        Suka

  1. Nemu temen jalan yg klop itu mungkin susah, tapi kalo sekali ketemu kompak begini yang ada malah “kapan jalan bareng lagi” susah dilupakan begitu saja, meski tempat yg dikunjungi hanya itu2 saja.

    Mungkin di masa depan, ada salah satu yg berselisih dan diam satu sama lain, bukan tidak mungkin momen2 seperti inilah yg bikin pengen bicara lalu baikan :’)

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.