Bandung, Bandros dan Batagor


Gedung Sate Kota Bandung

Sudah di depan Gedung Sate saja. Padahal kemarin cuma iseng doang.

Rasanya batin berdialog sendiri kala menatapi kantor Gubernur Jawa Barat itu. Kedatangan saya ke Bandung kali ini sangatlah berbeda dengan sebelumnya. Tak lagi seorang diri, juga tidak sejembel biasanya.

Keisengan pesan tiket promo kereta api, melabuhkan pilihan untuk berkunjung ke Bandung tanpa perkiraan sama sekali. Konyolnya, saya mengajak tiga teman jalan sekaligus secara acak. Giuran tiket super murah, sepertinya membutakan pikiran jernih, hingga mereka mau-mau saja menuruti ucapan saya sekaligus menyetorkan data diri.

Mereka bahkan enggan ambil pusing dan menyerahkan urusan tiketnya sesuai kehendak saya. Sebuah lelucon yang justru tidak saya sadari di akhir pekan kala itu.

Cepat, perburuan tiket di aplikasi KAI yang masih ‘bayi’, mengharuskan saya menerjang hujan siang demi bisa membayar biaya tiket di mini market.

Gila! Hari gini bayar tiket aja mesti ke mini market dulu. Gerutu saya merutuk zadulnya aplikasi itu.

Namun, hal yang lebih konyol justru kini ada di genggaman tangan. Setan macam apa yang merasuki sukma, sampai memaksa orang segala untuk pelesiran ke Bandung secara tiba-tiba? Ibarat nasi yang telanjur menjadi bubur, notifikasi lunasnya tiket kereta Malabar di ponsel, membuat saya bersiap ke Bandung ramai-ramai untuk pertama kalinya.

Bandung

Jembatan Pasopati Bandung

Jika biasanya gesit ke sana kemari saat pelesiran sendiri, tiba-tiba harus menyesuaikan diri demi mendampingi teman jalan yang kadung mau dipaksa ikut. Saya masih tak habis pikir, betapa menyiksanya jika hal tersebut harus sungguhan terjadi. Beruntung, tiga orang teman yang saya ajak tersebut tidaklah ‘manja’.

Dua di antaranya bahkan pernah ke Bandung juga. Walhasil kami jadi tak memasang target berburu banyak destinasi terkini. Apalagi teman satunya lagi menyarankan agar tak usah pelesiran jauh-jauh dari pusat kota, mengingat cuaca di Bandung juga sedang tak menentu.

Keputusan slow travel pun akhirnya melegakan saya. Kami sepakat berkeliling dan menikmati titik demi titik unik nan menarik di tengah kota, tanpa perlu buru-buru yang penting nyaman dan bisa bikin bahagia.

Bandros

Bandros Kota Bandung

Dari Gedung Sate, ide spontan kemudian tercetus saat melihat bus wisata lucu aneka warna lalu-lalang di jalan.

“Eh, naik bus wisata seru kayaknya siang-siang gini sambil berkeliling kota,” celetuk saya.

“Boleh, aku juga belum pernah naik Bandros,” jawab Ayu.

“Yuk, biar kayak reality show Korea yang kemarin di Bandung itu,” sambung Adis.

“Setuju enggak Den?” tawar saya ke Denny.

Denny yang santai-santai saja diajak berkeliling ke mana-mana, kian membulatkan agenda dadakan kami. Tinggal menunggu Natan, teman asal Bandung. Ia rela cuti dan menyusul dari Jakarta demi menemui kami.

Di luar dugaan, pelesiran tanpa perencanaan panjang ini justru bisa mempertemukan kami kembali, di tengah kesibukan kerja yang menggerus relasi dan sosialisasi.

Bermodal Rp20 ribu per orang, kami berlima diajak berkeliling kota dengan Bandros merah muda. Pemandu yang melek informasi dan cakap bicara turut menyuplai ragam informasi baru, yang mungkin tak akan kami dapat andai berjelajah mandiri dengan berjalan kaki.

Mereka bahkan memberi kami waktu untuk berfoto, dan turun langsung ke lokasi. Bahkan, mereka dengan senang hati menunggui kami saat menyusuri Braga dan sekadar melepas lelah di Alun-Alun Kota Bandung. Sungguh, sebagaimana warnanya yang cerah, kehadiran Bandros benar-benar membuat liburan saya juga kami ke Bandung kali ini lebih ceria.

Batagor

Batagor Khas Bandung

Saran pemandu tur lantas memberi ide kami untuk lanjut ke mana. Puas berkeliling, sayang rasanya jika tidak berburu kuliner. Dari Nasi Tutug Oncom ke Roti Gempol, kesegaran Yoghurt Cisangkuy tak dapat kami lewatkan.

Begitu pula dengan kenikmatan Lumpia Basah, Cilok, Cimol, Basreng hingga Cireng, kami coba satu demi satu tanpa terlupa. Semuanya tampak teragendakan secara rapi agar tak absen dicicipi.

Sebelum melahap Mie Yamin Baso Akung juga Lotek di hari kedua, ketidakpuasan justru datang dari Batagor. Ikon kuliner Bandung itu pun harus membuat kami memburu dua tempat Batagor legendaris sekaligus. Urusan Batagor Kuah, kami sepakat Kingsley juaranya. Namun, soal Batagor Goreng, Batagor Riri pilihan terbaiknya.

Tak luput, Cuanki Serayu juga Mie Kocok Kebun Jukut alias Samping Stasiun, Lontong Kari dan Sate Jando Gasibu, berhasil kami takhlukkan. Meski Seblak Jebred dan Perkedel Bondon urung tersinggahi karena perut yang tak lagi bisa dipaksa, tetapi Dawet Elizabeth yang melegenda serta Kue Balok Brownies yang antrenya super gila, puas dijadikan kuliner pamungkas.

Meski terbaca sederhana, tetapi Bandung, Bandros dan Batagor yang mewakili kuliner Kota Kembang, mungkin tak akan bisa saya nikmati andai jalan sendiri. Tak heran jika kehadiran teman jalan justru balik membikin jelajah di Bandung saya kali ini lebih bermakna.

Terlebih sikap saling percaya, keterbukaan, hingga pengertian satu sama lain, membuat saya mulai melunak dan menerima kehadiran teman jalan. Berkat kesan yang tercipta pula, sepertinya saya perlu membuat tulisan Bandung dari perspektif berbeda bertajuk: Mereka.

Iklan

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

7 tanggapan untuk “Bandung, Bandros dan Batagor”

    1. Kalau kata orang Bandung makanan di sana kalau nggak ‘enak’ ya ‘enak banget’, nah masalahnya enaknya kedua batagor itu pisah pisah, yang sath enak kuahnya, satu lagi enak bumbunya doang haha.

      Cimol ya, seenggaknya udah coba 2-3 biji, gak suka micin banyak banyak soalnya.

      Kalau temen ini nggak di luar dugaan malah, karena mereka aslinya teman ngopi kongko gitu, bukan anak-anak traveling, eh, gak taunya gak rewel, syukur dah, haha

      Suka

      1. alhamdulillah ya Tom, ga ada drama aneh2.. asik kalo temennya woles gitu, kadang kita jalan sm orang yg udah kita kenal baik, eh pas traveling keliatan sifat aslinya..

        cimol, seblak enak karena mecin haha, tp suka :p

        aku di bandung cuma ke ihsan kalo batagor, dan emg enak sih, aku ga ada kuliner wajib kalo ke bandung, krn kulinernya kayaknya udah menyebar ke seluruh indonesia, yg wajib sih kayaknya oleh2 sih hehe

        Disukai oleh 1 orang

      2. Nah itu yang bikin aku waswas pas di awal mas, kok bisa-bisanya langsung ajak orang random traveling, mana sebelumnya gak pernah lagi. Jadi gambling aja sekaligus pasrah.

        Untung juga kemarin bukan kali pertamanya ke Bandung, jadi slow travel ok aja, coba itu baru sekali dua kali, stres sendiri traveling lelet lelet gitu. Soalnya aku tipikal fast travel, bet bet bet gimana caranya biar semua destinasi terkunjungi dalam waktu tertentu.

        Ya mungkin hikmahnya begitu, disuruh mencoba slow travel sesekali, haha.

        Soal kuliner iya juga sih makanan Bandung udah di mana-mana, cuma kemarin rindu yang otentiknya. Kayak pempek gitu, seenak dan segampang apapun menemukannya, tetap beda kalau dicobanya di Palembang sana.

        Nah, Bandung dan daerah lain mungkin juga sama. Bukan begitu kan? Atau aku aja yang ngerasanya gitu ya, haha.

        Suka

      3. betul sih, tp mungkin karena aku udah terlalu sering liat, di rumah, dekat kantor, di mall, di jalan haha..

        aku juga fast traveler kalo dtg untuk kali pertama, pengennya sehari bs dtg ke banyak destinasi, motret banyak2, tp kalo udah kunjungan kesekian lebih selow..

        Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.