Tami tak pernah menyangka jika tahun barunya berbalut kekalutan. Ia hanya mencoba selazimnya orang-orang lainnya, merayakan pergantian tahun lebih semarak dan tentunya berkesan dengan teman-temannya.
Sejak perjumpaan di Tumpang Mask Festival, kami jadi lebih akrab. Tak lagi jadi sekadar rekan kerja semata. Ia menawari saya gabung di kegiatan menyambut tahun baru.
“Tom, mau tahun baru ke mana?” Tanya Tami.
“Belum ada, paling di rumah saja, lagi malas keluar juga, macet,” jawab saya, sekenanya.
“Ke Batu yuk?” Pintanya.
“Ngapain?” jawab saya lagi.
“Bikin barbekyu, rayakan tahun baru ramai-ramai. Yuk ikutan, biar seru. Kita jemput deh,” rayunya.
“Kita? Siapa saja memang yang ikut?” Selidik saya.
Tami lantas menyebut beberapa nama yang kebetulan saya kenal, semua. Pukul 5 sore saya dan Tami akhirnya bertemu di supermarket untuk membeli beberapa bahan dan perlengkapan. Saya masih bisa menolerir tak jadi dijemput dari rumah lantaran Mujib harus mengantarkan ibunya berobat dulu. Sebagai ganti kami memilih supermarket terdekat dengan tempat tinggal saya sebagai titik temu.
Syahdan tempat yang akan dijadikan lokasi perayaan tahun baru adalah rumah baru Mujib. Saking barunya rumah tersebut tak berisikan perabot sebuah pun. Di sini saya sudah mulai timbul kegusaran. Namun, melihat Tami yang bersemangat, saya tak enak hati undur diri. Sebaliknya, saya malah berbagi inisiatif bakar-bakar ala anak pramuka. Tanpa banyak komplain Tami mengangguk tanda persetujuan.
“Jadi siapa yang ikut?” Uli yang baru datang bertanya kepada saya dan Tami.
“Amal katanya mau ikut, tapi ia masih bimbang karena besok pagi mau ke Surabaya katanya,” Jawab Tami.
“Mujib bagaimana?” Uli bertanya kembali.
“Tadi ia bilang sudah di jalan,” pungkasnya.
Sebenarnya ketidakjelasan kegiatan mulai terlihat saat kami harus menunggu berjam-jam hingga malam. Belum lagi, Amal yang sebelumnya di luar mengendarai mobilnya, mendadak urung ikut, karena ia mengira bakal menyetir seorang diri ke Batu. Sementata saat kami memintanya ke tempat kumpul dengan transportasi online malah tak mau. Puncak sengkarut terjadi kala Mujib yang justru hadir menjumpai kami dengan santainya mengendarai motor.
“Loh, kok bawa motor?” Tami spontan bertanya.
“Lah kukira pakai mobilnya Amal,” tukas Mujib.
Kami tercenung sesaat menghayati kekonyolan yang terjadi. Setelah rembukan, Uli yang rumahnya paling dekat memutuskan ambil motor. Kala Tami dan Uli sedang mengambil motor, Mujib justru mengajak lagi Amal. Dengan kesepakatan Mujib yang menyetir, Amal pun akhirnya setuju. Ia gegas menemui kami dengan mobilnya.
“Lalu, nasib Uli yang sudah telanjur ambil motor bagaimana?” Tanya saya ke Mujib yang mulai bingung dengan keputusannya.
Tami dan Uli yang datang beberapa waktu kemudian, mendadak bingung sekaligus kesal setelah mengetahui hal tersebut. Mau tak mau, mereka akhirnya terpaksa sepakat dengan Mujib untuk tetap berangkat ke Batu mengendarai mobil Amal. Sedangkan motor-motor tersebut dititipkan di rumah teman mereka yang dekat di daerah Sengkaling.
Tepat jam 8 malam akhirnya kami berangkat ke Batu dengan penuh kecanggungan. Macet yang sedianya saya hindari sejak awal, justru harus saya alami tanpa kemauan. Semua berusaha saya lalui sebagai penebus janji. Paling tidak harapan bakar-bakar sate, jagung, dan empon-empon yang sudah kami beli, menjadi setitik harapan yang memberikan semangat tersendiri untuk melalui akhir tahun kali ini.
Naas, mobil Amal tak bisa masuk karena orang yang dipasrahi Mujib menjaga rumahnya, keluar bersama keluarganya. Mujib yang hanya membawa kunci rumah pun tak bisa berbuat banyak. Dengan terpaksa kami melompati pagar bak maling masuk ke rumah orang, kecuali Amal. Rok yang dikenakannya membuat ia bersih kukuh enggan mengikuti cara kami.
Rasa saling tidak enak pun kian menggelayuti. Sementara Mujib dan Uli berusaha membuka paksa gembok pagar, saya memenuhi janji membuat tempat pembakaran seadanya dari tumpukan bata. Saya lantas mengisinya dengan arang yang sudah dibeli Tami. Susah payah saya mencoba menyalakan bara api bermodalkan kertas, tisu dan bungkus plastik. Ketiadaan minyak tanah, spiritus pun bensin membuat api tak kunjung menyulut secara gampang.
Melihat Mujib dan Uli yang akhirnya gagal membuka gerbang, kendati sudah dipinjami perkakas dari tetangga, pun Amal yang sudah rela keluar lagi dari rumahnya demi mengantar kami ke Batu yang mana esok pagi ia harus ke Surabaya, ditambah Tami yang malah disalahkan karena miss conception, saya jadi iba sendiri dengan pembakaran yang tak kunjung menyala apinya.
Anak pramuka macam apa aku ini. Rutuk saya dalam hati.
Malam kian larut, gemuruh kembang api mulai bergemuruh dari balik dinding tembok belakang rumah itu. Asa saya pun berubah, setelah Tami menyemangati saya untuk sekuat tenaga membuat api. “Ayo Tom, bikin api lagi, kita buktikan dengan bahan seadanya kita bisa bikin bara api menyala,” tukas Tami.
Terdengar konyol, mengingat kami sedang di perumahan, tetapi berusaha menyalakan api seolah sedang bertahan hidup di hutan. Syukur bermodalkan api dari aluminium foil bungkus snack yang menyala lebih lama, kami mengipas dan meniup sekuat tenaga agar api membara. Betapa semaraknya saat letupan kembang api menandaskan kemeriahan pergantian tahun, sementara di waktu bersamaan kami girang bukan kepalang karena api akhirnya berkobar membakar semua arang.
Tanpa pisau, kami memanggang sate daging ayam yang hanya dicabik pakai tangan agar terpotong kecil-kecil. Jagung dan ubi manis pun tak luput kami bakar. Bak alat canggih, pembakaran sederhana itu juga multi fungsi menjadi kompor untuk merajang air di teko. Walau lambat, kami akhirnya merayakan pergantian tahun dengan pesta barbekyu sekenanya.
Hanya Amal yang enggan memanjat, membuat perayaan tahun baru kami jadi kurang lepas. Betapa tidak, kami senda gurau di dalam rumah, sementara Amal harus menikmati pergantian tahun dengan memakan barbekyu yang kami beri di dalam mobilnya seorang diri. Rasa tidak enak pun berlanjut saat Tami cerita jika ia ternyata sudah menyanggupi ikut Amal ke Surabaya.
Bukannya bahagia di tahun baru, sepanjang malam Tami berselimut resah. Melihat Amal rela ikut ke Batu sampai jam 2 pagi, ia merasa tak enak hati membatalkan ikut ke Surabaya. Padahal ia awalnya cukup senang saat Amal memutuskan tak ikut ke Batu, paling tidak esoknya ia bisa beralasan ‘lelah’ dan tak ada beban moral ke Amal karena ia juga urung ikut ke Batu.
Namun, ‘drama’ sudah kadung berjalan. Sialnya, saya terjebak di dalamnya. Niatan awal, saya, Mujib dan Uli memutuskan pulang dan tidur seharian selepas turun dari Batu di rumah masing-masing. Meski merasa kesal, tapi kami akhirnya tak tega membiarkan Tami pergi sendirian dengan kepayahan lanjut ke Surabaya.
Amal yang di dalam mobil tidur nyenyak pun mendadak kasih kabar jika ada teman lain yang batal ikut ke Surabaya. Sekonyong-konyong Tami yang tak mau susah sendiri menyodorkan saya, Mujib dan Uli untuk ikut. Amal yang tak tahu keresahan kami pun langsung tancap gas membawa kami ke Surabaya. Saking kesalnya, Mujib dan Uli pun kompak menyuruh langsung berangkat, tanpa perlu mengganti baju sekalian. Saya yang bau sangit pun hanya bisa pasrah dan mengelus dada.
Bukan tanpa alasan Amal rela melek sendiri menyetir mobilnya, sementara yang lain terlelap lantaran tak tidur semalaman. Amal begitu antusias berjumpa kekasihnya. Alasan itulah yang membuat kami sebetulnya tak terlalu berguna ikut ke Surabaya. Namun, mobil sudah melaju kencang di jalan tol, hingga tahu-tahu kami sudah di jembatan megah yang membentang di tengah lautan.
Terbelalak dengan apa yang dilihatnya, Tami yang baru terbangun pun langsung teriak, “ALLAHU AKBAR, INI DI MANA?!”
“Madura, hehe,” Amal santai menanggapi.
“Jangan bilang kamu mau menjemput Pram,” seloroh Tami, ketus.
“Enggaklah, rumahnya dia kan Pamekasan, kita loh mau sarapan nasi serpang di Bangkalan. Iya kan, Tom?” jawab Amal.
Saya yang tak tega membiarkan Amal bangun sendirian, terpaksa menahan kantuk dan menggelonggong diri dengan kopi agar mata tetap terbuka, sempat berdebat dengannya perihal keputusan sepihak tersebut, ketika yang lain pulas tertidur. Hanya Jalan yang lengang membuat waktu tempuh Malang-Surabaya cukup satu jam saja. Perut yang lapar pun akhirnya membuat Amal menelurkan ide liar.
Dengan dalih ingin memberikan kejutan ke yang lain, ia pun bertanya ke saya kuliner khas di Bangkalan secara spontan. Tentu saya terheran-heran. Namun, keras kepalanya merambat ke kakinya untuk menancap gas menyusuri Jembatan Suramadu. Di luar rencana, kami justru menikmati sarapan pertama 2019 bukan lagi di Surabaya, melainkan di Madura.
Gila. Batin saya. Dengan bau sangit yang menggelayut kegilaan kami pun berlanjut menyusuri Surabaya. Tapi, kantuk yang mendera membuat kami semua, selain Amal tak selera berwisata. Tekad kami pun pasrah membulat setelah tahu Amal ketemuan dengan kekasihnya yang baru pulang kampung dari Pulau Garam di Tunjungan Plaza. Seolah persetan dengan apa kata orang, sekali lagi kami mbonek alias bondo nekad (modal tekad) masuk ke mal kelas atas di Jawa Timur itu dengan aroma tidak keruan.
Alih-alih mengikuti Amal ketemuan, kami sepakat berpencar. Masing-masing menghibur diri sendiri. Meski ada kedongkolan di hati, paling tidak Tami dan Amal urung berseteru. Walau saya tahu, Mujib dan Uli sebal bukan main ke Tami. Tapi, saya senang mereka bisa melumat ego sendiri demi pertemanan. Toh pada akhirnya canda tawa kembali terbuka kala kami menikmati sambal belut khas Surabaya bersama.
Selain lelah yang mulai menjalar ke seluruh badan, saya masih tak percaya harus mengalami drama pergantian tahun semacam ini. Dalam hati, saya berharap tak mengalaminya lagi. Dengan hela napas panjang saya akhirnya memejamkan mata hingga tanpa sadar terlelap dalam perjalanan balik ke Malang.
Aku baru moco, dong. Kamu sabar, ya, Tom anaknya hahah 😂
SukaDisukai oleh 1 orang
Wkwkwwk, begitulah.
SukaSuka