Terjebak Halloween


Setelah lelah beraktivitas seharian, paling pas rasanya pulang ke rumah dan lekas membersihkan diri. Lalu, santai sejenak di sofa, sekadar menghabiskan sisa malam dengan menonton tayangan komedi ringan di televisi.

Hanya waktu bersantai itu harus terganggu dengan pintu yang terketuk tiba-tiba. Mau tak mau, tubuh ini kudu bangkit dan membuka pintu, sebagai penghormatan kepada tamu. Dari balik pintu, ‘Kuntilanak’ rupanya sudah menunggu. Saya pikir ia hendak bertamu, tak tahunya langsung berlalu usai mengucapkan sesuatu.

Rasanya badan belum bersandar sepenuhnya di sofa, pintu sudah diketuk untuk kedua kalinya. Agak malas aslinya, tapi sangat kasihan jadinya jika tamu itu dibiarkan menunggu di depan pintu. Siapa tahu mereka datang dari jauh. Walhasil saya langsung buru-buru membuka pintu.

Siapa sangka, kali ini giliran ‘Pocong’ yang saya jumpa. Tak sendiri, ia berdiri dengan ‘Genderuwo’ di sebelahnya. Belum juga saya persilakan masuk, mereka sudah pamit pergi dengan permisi. Pintu pun saya tutup kembali.

Baru juga balik badan, langkah saya harus terhenti dengan keramaian dari balik pintu. Melihat jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, saya pikir bakal tak ada lagi tamu yang datang. Tak tahunya sumber suara kian mendekati pintu depan. Akhirnya saya membalikkan badan kembali. Saya tunggu mereka sampai mengetuk pintu.

Ting Tong. Mereka ternyata lebih memilih menekan tombol bel rumah. Dengan langkah pasti saya akhirnya membuka pintu depan kembali. Terlihat lebih banyak kali ini yang hadir. Ada ‘Sundel Bolong’, ‘Babi Ngepet’ dan tiga ‘Tuyul’ seukuran anak-anak. Alih-alih bicara, mereka justru berdiri tegak membisu. Tak ada sepatah kata apapun yang mereka ucapkan, selain hanya diam dan memandang saya lekat-lekat.

Tak lebih dua menit kira-kira, rombongan ‘hantu’ yang tampaknya sekeluarga itu berlalu tanpa masuk lebih dulu. Tak lupa beberapa lembar duit saya berikan untuk ‘Tuyul-Tuyul’ itu. Sebagai gantinya, mereka memberi saya sejumput kembang tujuh rupa dalam bungkusan koran sederhana. Bukannya haru, justru suasana saru yang tertinggal malam itu.

Tentu saya tak pernah mengharapkan hal tersebut sungguhan terjadi. Saya hanya berimajinasi andai Halloween benar-benar dirayakan di Indonesia, barangkali ‘hantu-hantu’ lokal itulah yang melakukan Trick or Treat dari rumah ke rumah. Halloween di era modern ini memang sudah tak lagi identik dengan tradisi Kekristenan Barat untuk merayakan kekudusan, dengan ibadat di gereja. Masyarakat dari berbagai belahan dunia menyemarakkan Halloween lewat beragam cara. Selain pesta kostum, mengambil apel di dalam air dengan mulut menjadi tradisi penting selama Halloween.

Imajinasi saya pun akhirnya berwujud nyata. Jack-o’-lantern yang biasanya hanya bisa saya lihat di film, kini benar-benar ada di depan mata. Tidak-tidak. Bukan di Amerika, bukan pula di Eropa. Nuansa Halloween justru saya temukan secara tidak sengaja sewaktu di Singapura. Usai dijamu bak raja sehari, lalu dimanjakan dengan hidangan Michelin Star Chef, saya diberi keleluasaan berkeliling Universal Studios Singapore saat malam hari.

TEMPLATE BLOG(8)

Tidak seperti saat siang yang riuh dengan kemeriahan, Universal Studios Singapore malam itu lebih klenik dan mencekam. Lampu-lampu dibuat remang-remang, efek kilatan cahaya dan suara horor pun dikumandangkan seantero taman hiburan.

Welcome to Halloween Horror Night, Universal Studios Singapore

Begitu tulisan spanduk yang terpasang di pintu awal salah satu wahana hiburan tersohor di Resorts World Sentosa, Singapura itu. Usai masuk ke dalam, pemandangan aneh saya alami. Nyaris semua orang di dalam Universal Studios Singapore berdandan bak setan. Bertaring, bertanduk, penuh luka, dengan jejak darah yang terlihat di sekujur tubuhnya. Mereka hanya diam mengamati, sampai bunyi (semacam) lonceng jam tua akhirnya diperdengarkan lewat berbagai pelantang yang terpasang.

Tiba-tiba saja dari arah pintu masuk, orang-orang pada teriak dan berlari. “Run! Run!” Seseorang seketika menghampiri dan menyahut tangan saya. “We’re in danger!” Ia lantas langsung pergi sebelum sempat saya tanya apa yang sebenarnya terjadi. Tak berselang lama, seorang perempuan tiba-tiba menabrak punggung saya. Ia tampak ketakutan. “What’s going on?” Tanya saya buru-buru. Ia tak banyak bicara selain menjawab satu kata, “Zombie!”

“Zombie?!” Sangkal saya masih tak mengerti.

“Just run away as fast as you can, if you don’t wanna die right now!” sentaknya.

Saya langsung terdiam. Melihat suasana yang semakin kacau, saya akhirnya turut berlari mengikuti arus ke depan. Anehnya, semua lari secara terarah, tanpa ada yang terlihat tunggang-langgang. Dengan kondisi minim cahaya, saya akhirnya tiba di tempat bernama Pilgrimage of Sin. Di tempat yang banyak orang disiksa dan dikerangkeng ini, saya berulang kali dikejutkan dengan teriakan meronta dan kesakitan. Tak banyak hal yang saya lakukan, selain tetap berjalan bak menyusuri labirin raksasa.

Ketika istirahat sejenak usai berlarian, pemandangan tak kalah mencekam pun datang. Seorang perempuan tiba-tiba berlari minta tolong dengan jeritan yang cukup memekakkan telinga. Ia rupanya dikejar beberapa mayat hidup! Sebelum dimangsa oleh para zombi tersebut, tiba-tiba segerombolan orang datang menyelamatkan. Mereka membawa semacam senjata laser hijau. Zombie-zombie itu pun langsung terkapar dan tersungkur usai ditembak.

Hanya efek senjata laser tersebut sepertinya tak bertahan lama. Imbasnya zombie-zombie itu jadi mencoba bangkit dan mengejar manusia lagi. “HEY, YOU THERE! GO AWAY!” Salah seorang yang memegang senjata ‘Zombie Laser Tag’ meneriaki saya untuk lekas kabur dan mengikutinya. Beragam monster, setan, jin dan makhluk aneh pun saya jumpai sepanjang aksi kejar-kejaran tersebut. Sampai akhirnya kami semua tiba di depan sebuah panggung. Sembari mengatur napas, saya perhatikan saksama tempat yang tak asing itu.

Namun, sebelum berpikir lebih jauh, tiba-tiba kepulan asap dan kembang api keluar bersamaan dengan bunyi menggelegar dari panggung tersebut. Tiga orang perempuan dengan luka menganga bekas siksaaan pun lalu muncul. Ia memegang mikrofon, lantas bernyanyi dan menari. Alunan musik EDM yang tanpa saya duga sebelumnya, rupanya membuat orang-orang yang saya temui dengan dandanan ala setan di awal, turut bergoyang. ‘Setan-setan’ itu mengajak semua orang yang ada di sana, berpesta dalam kengerian. Seolah tak memikirkan rupa, setan dan manusia membaur dalam satu euforia yang akhirnya saya temukan jawabannya:

TEMPLATE BLOG(5)

 

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

7 tanggapan untuk “Terjebak Halloween”

  1. untuk urusan hantu dan makanan, teteup ya lidah/perasaan orang kita masih sama yang lokal. hantu kalau kuntilanak dll masih terasa seram walaupun belum pernah sekalipun ketemu langsung, *amit2..

    Disukai oleh 1 orang

  2. Jangan kan gitu, ke BNS ketemu kuntilanak yang foto foto ajak teriak ga habis habis. Paling minim masuk rumah hantulah. Jatohny jadi aku ngebayang lelarian di acara Halloween itu mas haha

    Disukai oleh 1 orang

    1. Serem secara tampilan sih, masih kumalan hantu² jelata di Indonesia, karena hantu² Barat lebih high class, tapi mereka bisa ciptakan suasana serem yang total, jadi lebih ke situ seramnya.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.