Rasanya Makan Emas…


Special dinner with luxurious dishes made by Michelin Star Chef.

Entah kenapa kalimat tersebut tertulis dalam daftar agenda yang harus saya penuhi hari itu. Bisa dijemput dari Bandara Changi Singapura pakai Alphard saja rasanya sudah istimewa. Pun bisa rehat cuma-cuma di kamar deluxe suite Hard Rock Hotel Resorts World Sentosa (RWS) Singapura, rasanya masih tak percaya.

Namun, saya tak bisa berlama-lama takjub dengan apa yang sedang terjadi waktu itu. Telepon kamar yang sudah berdering dua kali, membuat saya harus bersiap diri menghadiri jamuan makan malam mewah ala kaum jetset Singapura.

“Good night, Mr Tommy. We have been waiting for you. We hope you can join us to have a special dinner at Hard Rock Cafe. So, are you ready now?” Tanya resepsionis via telepon.

“Yes, I’m. Please wait, I’ll be there in a few minutes.” Jawab saya.

Sambil menuju lift, saya berpikir kira-kira hidangan mewah macam apa yang bakal disajikan. Saya hanya berharap jamuan spesial tersebut masih berupa makanan yang lazim dimakan. Bukan sebuah tarantula goreng topping mozzarella, telur buaya dengan saus jalapeno atau steak kangguru dengan asparagus bertabur emas.

Walau saya belum pernah mencoba masakan Michelin star chef, tapi lewat tayangan di YouTube paling tidak saya sedikit tahu jika sajian mewah yang mereka bikin kerap dari bahan-bahan mahal dan langka—sampai serba aneh. Namun, saya memastikan diri tak sekonservatif itu. Cukup lidah saya yang tradisional, tapi soal bersosialisasi, terlebih jika berkaitan pekerjaan, saya menuntut diri untuk selalu profesional.

Lift pun akhirnya terbuka. Beragam imajinasi yang menggelayuti pikiran selama menuruni lantai saya tepis seketika. Sikap gamang yang tadinya datang, berusaha saya transformasi menjadi rasa percaya diri. Dengan pembawaan tenang, saya coba temui resepsionis untuk bertanya ke mana pastinya meja yang harus saya duduki.

“You could follow me, Sir.” Seorang laki-laki dengan setelan kemeja putih dan vest hitam rapi menawarkan diri. Ia akhirnya membawa saya ke sebuah meja panjang. Rupanya saya tak duduk sendiri. Tampak beberapa wajah muda—yang saya tengarai sebaya, lebih dulu duduk untuk menanti hidangan bersama-sama. Mereka terlihat antusias dan mengobrol satu sama lain.

“Hi!” Tahu-tahu seorang laki-laki dengan kemeja lengan pendek bermotif floral di sebelah kiri saya berkata. Jika dihitung pakai stopwatch, mungkin tak sampai semenit sejak saya duduk, lelaki beretnis Peranakan dengan gaya rambut pompadour tersebut langsung cekatan menyapa. Dengan scarf sutera terikat di leher berwarna maroon senada celana pendeknya, ia tampak sangat kasual untuk jamuan full course dinner—yang justru identik formal. “I’m Chen from Sarawak, Malaysia. Where are you from?”

“Oh, Hi, I’m Tommy from Indonesia. Nice to meet you Chen. And, indeed, you are the first person from Sarawak I’ve ever met.”

“Really? I don’t know I have to be happy or not, but thank you anyway. Uhm, talk about Indonesia, you know, I just finished visiting Jakarta, Bandung and Bali in one trip two months ago. So, which city are you from?”

“It’s so cool! But, unfortunately not one of them, I just flew in from Surabaya this morning. It’s the secondlargest city in Indonesia after Jakarta.”

“Oh, I know a little bit information about Surabaya.”

“Have you ever been there?”

“No, I haven’t. That’s why you are the first person from Surabaya I’ve ever met too!”

“God bless us!”

“Yeah, because of you, so I really want to visit to Surabaya someday. And maybe we can go around the city together and try to eat some delicious local cuisines there?”

“Why not? Make it come true, Chen.”

Terlepas percakapan tersebut basa-basi atau tidak, tetapi kehadiran Chen cukup membuat saya lega. Pasalnya, selain saya ia juga belum pernah mencoba hidangan Michelin star chef. Dan mungkin, ada banyak lagi di antara puluhan tamu yang hadir di sini juga baru kali pertama mencicipi sajian mewah tersebut. Entahlah. Yang pasti pembicaraan kami terhenti, setelah sang chef akhirnya datang menghampiri.

“Ladies and Gentlemen, a very good night to you all and welcome to Hard Rock Cafe, Resorts World Sentosa Singapore. I hope you are in a good condition. Well, we have a special surprise, and it’s an honor for me to serve it to our honored guests here for the first time.” Ungkap seorang lelaki tambun bernama Roberto.

Roberto tak sendiri, ia juga ditemani Michelin star chef lain bernama Chicco saat menyuguhkan kami ‘mahakarya’ mereka satu per satu. Full course dinner pun dimulai dengan appetizer bernama Caremella di Gambero Rosso pesto di Rucola condiment al Miele e Senape alias satu ekor udang panggang yang disajikan dengan madu dan Pommery mustard.

Selepas itu, pramusaji pun datang membereskan meja, dan berganti menyajikan menu berikutnya. Tak ada yang saya ingat persis namanya, selain menu pembuka yang dituliskan sendiri oleh chef-nya. Di samping cukup panjang, para Michelin star chef itu juga memberi nama hidangannya dalam bahasa Spanyol.

Namun, ada satu menu yang cukup bisa saya hapal namanya. Pizza Oro Nero. Signature dish ini tak hanya menggunakan tinta cumi dan tomat sebagai sausnya, tetapi juga menggunakan baby squids, ikan cod asin Italia atau Baccala, telur caviar dan remis putih Sicilia. Sebagai penyempurna, keju Scamorza dan serbuk emas murni—yang tentunya sudah terstandardisasi dan aman dikonsumsi, ditaburkan. Semua melebur dalam sekali kunyahan, lantas membuahkan kenikmatan dalam sekali telan. Kemudian, saya coba makan bagian yang banyak serbuk emasnya pada kunyahan kedua. Bisa jadi itulah pizza termahal yang pernah saya makan, walau sejujurnya saya masih tak bisa mendefinisikan bagaimana rasanya makan emas…

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

15 tanggapan untuk “Rasanya Makan Emas…”

  1. Coba Tom dengan kecanggihan dan keahlianmu di laboratorium, itu emas nya diekstrak lagi hahahaha.

    Jadi, secara umum kaya gimana masakan ala Michelin Star chef itu. Enak apa penampilannya aja yang wah?

    Disukai oleh 1 orang

    1. Hahaha, aku malah kepikiran bisa nggak ya ekstrak feses untuk memisahkan Aurumnya. karena udah kadung dimakan emasnya, haha.

      Kalau soal rasa masakan Michelin star chef itu cenderung tak kuat rasa bumbunya, karena lebih cenderung mengedepankan rasa asli bahan bakunya. Jadi buat lidah orang Indonesia yang kerap makan hidangan berbumbu kuat akan cenderung hambar merasakannya. Tapi, kalau yang tak suka MSG dan gemar makan makanan sehat, bisa sepertinya menikmati hidangan Michelin star chef.

      Soal harga tak usah ditanyakan, bisa nguras saldo rekening 😂

      Disukai oleh 1 orang

      1. Ya maksudnya itu Tom, cuma aku gak tega aja bilangnya kemarin 😀

        Hmmm gitu, tapi kok aku malah merasa itu menarik ya. Mencicipi masakan yang rasanya ekletik, karena rasa asli bahan bakunya dipertahankan.

        Hahahaha iya sih ya, namanya juga Michelin star chef, pasti harga masakan olahan mereka bisa bikin prihatin pas lihat saldo rekening. So, you’re so lucky then! 🙂

        Disukai oleh 1 orang

      2. Sesama orang sains, santai aja mas pakai-pakai istilah egaliter gitu, toh kita sama ngerti maksudnya, kan, haha.

        Nah, mulai saja dengan membiasakan diri makan olahan atau hidangan tanpa msg gitu mas. Nanti pas makan hidangan Michelin star chef pasti lidahnya lebih peka dan biasa.

        Tiga tahun terakhir ini aku membiasakan menghindari msg, jadi kalau masak coba memanfaatkan garam, gula, dan rempah itu aja. Bukan jaga-jaga biar terbiasa makan sajian koki bintang Michelin, gak kepikiran sama sekali, tapi lebih karena ingin hidup lebih sehat saja. Jadi, jamuan ini benar-benar murni keberuntungan yang tak pernah aku harapkan sebelumnya.

        Semoga kamu juga bisa dapat kesempatan itu, mas, tidak hari ini besok, masih ada besoknya lagi. :)))

        Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.