Mugen Tsukuyomi di Langit Ma Chung


WhatsApp Image 2018-09-19 at 23.18.08

Saya tak mengira Jumat saat itu bakal menjadi hari yang berbeda. Semula, saya melakoni rutinitas seperti biasa. Bangun tidur, olahraga, menunaikan ibadah, bekerja hingga kembali pulang saat malam hari. Namun, sebelum 24 jam terpenuhi, kegiatan saya mendadak berubah. Amal, rekan saya, tiba-tiba mengajak pergi untuk melihat gerhana bulan.

“Itu bukan gerhana bulan biasa,” begitu katanya lewat percakapan WhatsApp (WA).

Jelas, respon pertama saya adalah mengernyitkan kening, saat membaca kalimat ajakan tak biasa, di antara tumpukan berkas percakapan kami yang isinya selalu ajakan mengopi.

Apa menariknya gerhana bulan?

Lanjut saya membalas pesan Amal. Kami pun lanjut mengobrol sejenak via WA.

Serius kamu nggak tahu kalau bakal ada fenomena langka malam ini?

Fenomena langka? Tunggu, sejak kapan kamu melibatkanku dengan urusan serius macam fenomena alam? Kamu sedang baik-baik saja, kan?

Masih, masih waras kok. Kamu lagi nggak ada kegiatan kan habis ini? Ikut aja deh, bakal seru kok. Ku samperin habis ini.

Percakapan itu berlalu, hingga tahu-tahu Amal sudah menunggu di depan kantor. Waktu menunjukkan jam 20.30 WIB saat saya masuk ke dalam mobilnya.

“Seriusan kamu nggak tahu bakal ada gerhana bulan merah hari ini?” sergah Amal dengan rasa penasarannya.

“Beneran. Lagi hectic banget soalnya hari ini, jadi nggak sempat baca banyak informasi,” jawab saya. “Lalu, kenapa kamu tiba-tiba tertarik melihat gerhana bulan kali ini?”

Sambil menyetir mobilnya, Amal lantas bercerita jika ia awalnya juga tak tahu banyak tentang fenomena alam ini. Namun, saat makan siang bersama Bintang, ia ditawari datang ke kampus Ma Chung, Malang. Bintang yang kebetulan teman kami, memang menjadi dosen di sana. Ia pun mempersuasi Amal, hingga akhirnya tertarik datang.

“Biar lebih seru, aku ajak kamu aja, Tom,” sambungnya sambil tertawa.

Alih-alih menanggapi penjelasan Amal, fokus saya justru terisak dengan rute yang kami lalui.

“Katamu mau ke Ma Chung, kenapa lewat sini?” tanya saya.

“Bentar, mau jemput Disti sekalian, katanya dia tertarik pengin lihat juga,” jawab Amal.

Mobil SUV yang kami naiki akhirnya kian ramai dengan kehadiran Disti. Tak terasa berputar-putar di jalan, ditambah macet mengular jelang akhir pekan, membuat waktu kami terkikis hampir 2 jam. Tepat pukul 23.00 WIB kami akhirnya tiba di kampus Ma Chung. Suasana kampus yang sepi, ditambah nomor plat mobil Amal yang mungkin kurang dikenali, membuat satpam kampus akhirnya mendatangi kami.

“Selamat malam, ada perlu apa malam-malam ke sini?” tanya satpam tersebut usai mendekati mobil kami. Posisi Amal di kursi kemudi, membuatnya harus menurunkan kaca pintu mobil untuk menjelaskan maksud kedatangan kami. Gara-gara hal itu, Bintang terpaksa harus keluar ke gerbang untuk meyakinkan satpam, sekaligus mengarahkan kami ke lokasi pengamatan gerhana bulan berada. Kampus Ma Chung tidaklah besar, tetapi di Malang universitas swasta ini cukup punya nama. Khususnya, fakta jika mahasiswanya sebagian besar dari kalangan berada.

IMG_3128

Bintang lalu mengajak kami ke sebuah gedung aula mahasiswa, bernama Dr Mochtar Riady Student Center. Nama yang tidak asing, bukan? Benar saja, konglomerat Indonesia yang juga bos besar Lippo itu memang menjadi salah satu pendiri Ma Chung. Wajar jika namanya terabadikan di gedung dua lantai tersebut.

Di selasar lantai dua gedung itu, kami berjumpa dengan cukup banyak orang. Mayoritas mahasiswa Ma Chung, sebagian lagi dosen dan juga… wartawan. Saya cukup terkejut dengan kehadiran mereka, kendati kebetulan saya tak kenal dengan para juru liput tersebut. Kedatangan mereka pun bisa menjadi indikator, jika pengamatan gerhana bulan di Ma Chung ini tidaklah main-main.

Kurang 20 menit lagi, Jumat bakal berlalu. Malam yang kian larut, bersiap membawa hari berganti. Namun, sebelum itu terjadi, sebagian orang mulai mengeluarkan benda dari beberapa kotak besar berwarna hitam. Perlahan saya dibikin penasaran, hingga terlihat sebuah tabung besar berwarna putih. Keterampilan mereka menyambung tiap bagian tabung besar dan kecil, seakan membuktikan jika para mahasiswa tersebut sudah terbiasa melakukannya. Maka, berdirilah teleskop reflektor yang masing-masing lensa okulernya tersambung dengan kamera DSLR. Seolah siap membidik setiap detik fase gerhana, lima teropong besar sekaligus dikeluarkan Ma Chung untuk menunjukkan kedigdayaannya di bidang astronomi.

Sementara Amal dan Disti mulai membaur dan mencoba melihat gerhana bulan yang mulai terjadi, saya dan Bintang mengobrol tentang Ma Chung yang justru tak punya jurusan astronomi. Ironi itu pun ditanggapi Bintang dengan cukup menarik. Menurutnya, antusiasme mahasiswa terlecut setelah rektor menawarkan kegiatan ini. Dr Chatief Kunjaya MSc, memang bukan orang sembarangan. Ia merupakan salah satu pakar astronomi ITB yang kini menjadi orang nomor satu di Ma Chung.

“Pak rektor sangat mendukung kegiatan ini, apalagi jika makin banyak mahasiswa juga masyarakat yang tertarik di bidang astronomi, ia sangat senang sekali,” ungkap Bintang, yang juga se-almamater dengan atasannya.

IMG_3115

Itu pula alasannya kenapa kegiatan pengamatan gerhana ini terbuka untuk umum. Di tengah obrolan bersama Bintang, tiba-tiba sosok lelaki tua berkemeja batik berjalan dari belakang kami. Dari arah berlawanan, seorang mahasiswa menyapa bapak berkacamata tersebut. “Pak rektor,” katanya, agak nyaring.

“Oh, pak,” sambut Bintang buru-buru sembari sedikit membungkukkan badan dan mengapitkan kedua tangan ke paha, tanda penghormatan. Refleks saya menirukan gimik serupa beriring senyum semringah.

“Sudah mulai, ya, gerhananya, terlihat jelas belum?” tanya sang rektor ke beberapa mahasiswanya yang mulai mendekat.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan 02.20 WIB. Rektor dan semua orang yang hadir di sana mulai mengerumuni setiap teleskop. Seolah berlomba, satu demi satu berteriak penuh kepuasan setelah bisa mengabadikan fase gerhana bulan total yang sedang terjadi. Sorak-sorai pun kian bergemuruh saat puncak gerhana terjadi pada pukul 03.21 WIB. Melihat hasrat mahasiswa yang lebih membara, saya memilih tak melihat bulan yang mulai berwarna merah itu lama-lama lewat teleskop.

Pelan-pelan saya mundur ke belakang, sembari menyimak penjelasan Pak Chatief. Menurutnya gerhana bulan merah darah atau blood moon ini terjadi karena sinar matahari tersaring atmosfir bumi. Akibatnya, muncul warna merah hingga jingga yang terproyeksikan ke bulan. Indonesia menjadi salah satu negara yang beruntung mendapati fenomena alam nan langka ini. Mengutip pernyataan NASA, ia pun menambahkan jika gerhana bulan kali ini menjadi yang terlama pada abad ke-21. Tak mengherankan karena gerhana bulan berlangsung selama 1 jam 43 menit.

Kekhidmatan menyimak penjelasan pak rektor itu pun berakhir dengan tawa pecah, ketika salah satu mahasiswa menyebutkan jika blood moon ini mirip Mugen Tsukuyomi. Ah, ada-ada saja fans Naruto ini.

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

15 tanggapan untuk “Mugen Tsukuyomi di Langit Ma Chung”

      1. syukurlah kalau baik-baik saja. baik, sama mas, aku baik kabarnya. oh, gitu, haha, kukira mengikuti Naruto juga. sengaja nggak kujabarin memang, biar pembaca penasaran mencari maknanya, tapi yang ngikuti manga atau anime Naruto pasti langsung nyambung maksudnya, haha. πŸ˜€

        Disukai oleh 1 orang

  1. Seumur-umur aku baru dengar universitas bernama Ma Chung ini. Sempat kepikiran kalau dirimu lagi di China atau di Jepang. Karena aku gak paham Mugen Tsukuyomi itu apa? Hahaha ,,, barusan googling dan nanya teman penggemar Naruto. Oooo itu tho rupanya πŸ˜€

    Btw, waktu bulan merah darah ini aku juga gak ngeh. Malah tidur, sama sepertimu lagi agak hectic jadi gak update info sekitaran waktu itu πŸ˜€

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.