Seporsi Sempol di Tengah Riuh Sumber Maron


Sempol Khas Malang

β€œMisteri itu pada akhirnya tak pernah membuahkan jawaban,” gumam saya saat ditanya tanggapan tentang ular raksasa yang sedang hangat dibincangkan. Namun, Pandhu tetap kukuh jika ia melihatnya langsung saat mencoba river tubing di Sumber Maron. Desas-desus adanya ular raksasa, bahkan menggugah minatnya untuk berkendara sejauh 27 kilometer dari Kota Malang menuju Desa Karangsuko, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang. Lokasi Sumber Maron berada.

Siapa kira, keinginan Pandhu membuahkan hasil. Saat sedang river tubing sendiri di sungai yang mengalir dari Sumber Maron, sebuah ular raksasa melintas di bawahnya. Begitu panjang, amat besar, hingga nyaris memenuhi seisi sungai. Dengan sisik hijau berkilauan, ular raksasa itu bergerak perlahan di dasar air yang jernih, mengikuti arus, menuju muara dari river tubing yang sedang dijajalnya.

Pandhu melihat jelas kejadian itu. Ia tak kaget, takut, apalagi melaung. Seperti biasanya, ia selalu tenang melihat hal-hal gaib yang merintang di hadapannya. Tak terbesit kegentaran secuil pun yang mampu mengurungkan niatnya untuk mengikuti ke mana ular raksasa itu pergi.

Sungai Sumber Maron

β€œUlar itu seakan ingin berkata sesuatu, tapi terus menjauh. Makanya aku penasaran, barangkali ada sesuatu yang bisa kubantu,” sambung Pandhu.

β€œHus! Kamu bukan cenayang, kenapa pula harus mengejar ular raksasa itu?” sergah saya.

Ia tak langsung menanggapi sanggahan saya, malah balik melanjutkan ceritanya. β€œSayang, ular itu sirna begitu saja. Apalagi pengelola river tubing menyeret ban yang kutunggangi dan menggiringku ke tepian sungai. Mau kulanjutkan susur sungai, aku malah diperingatkan, β€˜Jangan ke sana mas, bahaya, batas river tubing-nya sampai sini saja. Sekarang mas bisa balik lagi ke Sumber Maron lewat jalan setapak yang sudah disediakan.’ Aku masih terperangah sebenarnya, tapi sejauh mataku memandang, sungai itu tampak lebih liar dan dalam.”

β€œJangan bilang passion yang kamu bingungkan sedari kemarin, adalah menjadi dukun–yang baru kamu sadari hari ini?” seru saya sembari menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan apa yang diceritakan Pandhu saat itu.

Jembatan Sumber Maron

Dua minggu sebelumnya, saya sengaja pergi ke Sumber Maron. Bukan karena tertarik dengan misteri yang melingkupinya, juga belum mendengar cerita ular raksasa yang dikisahkan Pandhu. Semua murni karena saya hanya ingin rekreasi. Waktu itu saya pergi dengan Jatim. Benar, itu asma orang, tepatnya nama teman kuliah saya. Jatim tak pernah tahu jelas, kenapa dirinya sampai dinamakan demikian. Entah karena ia memang dilahirkan di Madura, yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur alias Jatim, atau sekadar interpretasi nasionalisme yang dirasakan bapaknya? Ia tak pernah mendapatkan maksud di balik nama β€˜Ahmad Jatim’ yang disandangnya.

Sesampainya di Sumber Maron, Jatim mulai menunjukkan gelagat aneh. Ia berlagak bak pawang yang bisa berhubungan dengan makhluk halus. Untung, gerak-geriknya tak mengundang perhatian orang. Padahal, Sumber Maron waktu itu sedang penuh dengan wisatawan. Di situlah saya menyadari jika kesalahan saya yang pertama adalah datang ke Sumber Maron saat libur sekolah, kesalahan kedua tentu mengajak teman yang mendadak bertingkah aneh.

DSC02084

“Woi, kenapa kamu jadi kayak dukun begini?” tanya saya ke Jatim.

Rupanya Jatim ingin membuktikan omongan orang-orang yang sedang beredar, tentang ular raksasa di Sumber Maron. Melihat tingkahnya yang tak kunjung normal, saya memilih menjauh. Mulanya ingin langsung menyewa ban untuk river tubing, tetapi melihat banyaknya wisatawan yang tumpah ruah hingga membuat air sungai butek, saya jadi mengurungkan niat. Hati saya pun kian mantap untuk tak mencoba river tubing kala itu, usai melihat langsung sebagian orang yang garuk-garuk badan selepas basah-basahan di sungai.

Akhirnya, saya lebih memilih menepi ke sungai. Terlihat sebuah batu besar dan saya memutuskan duduk di sana. Posisinya yang nyaman, membuat saya bisa melihat peserta river tubing dari dekat dengan penuh keriaan. Sesekali ada yang terbalik, ada pula yang tersangkut terus teriak-teriak minta tolong. Gelak tawa saya bahkan pecah kala mengamati anak-anak yang berlarian mengangkat ban, di samping orang-orang dewasa yang coba berlagak keren sambil river tubing di sungai yang cetek.

River Tubing Sumber Maron

Aroma makanan di warung yang menguar lantas memberi saya jawaban ke mana harus pergi berikutnya.

β€œItu apa namanya, bu?” tanya saya setelah melihat jajanan yang nyaris dijual di setiap warung yang ada di Sumber Maron. Sebuah kudapan berbentuk seperti paha ayam. Bahannya terbuat dari adonan tepung yang dikepalkan pada tusuk yang cukup panjang. Adonan tersebut dibalur dengan kuning telur, lantas digoreng dalam minyak penuh.

β€œSempol, mas,” jawab penjualnya.

Ia lantas menawari saya untuk mencoba seporsi. Sepuluh tusuk dihargai Rp5 ribu. Sempol yang sudah matang lantas disajikan di atas piring dengan guyuran saus tomat kemasan. Pada gigitan pertama, rasa pedas yang terasa. Sepertinya saus tomat itu sudah dicampur dengan saus sambal. Rasa gurih antara telur dadar dan adonan tepung lantas mendominasi lidah. Adonannya cukup padat, tak kenyal seperti cilok. Ada sensasi irisan tulang muda yang saat dikunyah terasa renyah. Itulah momen di mana untuk kali pertamanya saya memakan sempol.

Warung Sempol di Sumber Maron

β€œIni dibuat dari apa, bu?” tanya saya sekenanya.

“Ceker dan kepala ayam dilembutkan, lalu dicampur dengan tepung, jadilah sempol ini, mas,” jelasnya.

Untung kelezatan sempol mengalahkan fakta di balik bahan bakunya. Terlebih bagian kepala dan ceker ayam tinggi protein dan kalsium, tidaklah berlebihan jika seporsi pertama sempol itu saya lahap dengan khidmatnya. Kendati momen itu terjadi pada 2014, hingga kemudian sempol mendadak populer dan merangsek ke pusat Kota Malang, tetapi tak lantas menjadikan Karangsuko sebagai asal sempol. Tak pasti bagaimana kronologi sempol bermula, yang jelas sebagian orang menyebutnya dari Gondanglegi.

Jatim lantas datang dan mencoba sempol yang saya pesan. Rupanya ia tertarik untuk memesan makanan yang belum begitu familiar di Malang Raya kala itu.

Sungai di Sumber Maron

β€œBagaimana, sudah ketemu demitnya?” sergah saya ke Jatim. Ia berkisah panjang lebar tentang ular raksasa yang akhirnya ditemuinya. Panjang, besar, juga sirna tiba-tiba di bibir muara sungai. Obrolan misteri ini pun sempat didengar penjual sempol, ia pun menimpali jika belum pernah ada warga sekitar yang berjumpa langsung dengan makhluk gaib tersebut.

Hal senada juga diakui juru parkir di Sumber Maron. Menurutnya kabar yang beredar tentang penampakan ular raksasa di Sumber Maron tidaklah benar. Tempat wisata alami yang hanya ditarif biaya parkir kendaraan seharga Rp2 ribu sampai Rp5 ribu, serta sewa ban seharga Rp5 ribu ini, aman untuk dinikmati kapan saja. β€œKalau semisal penampakan itu benar, tak mungkin pengunjung Sumber Maron seramai ini,” pungkasnya.

Tubing Sumber Maron

Isu mistis yang beredar nyatanya memang tak membuat Sumber Maron sepi pengunjung. Bahkan, menurut pengelola saat libur panjang, Sumber Maron bisa didatangi sekitar 1.500 orang. Jika memang ular atau memang makhluk gaib itu pun ada, cukuplah indigo atau orang-orang tertentu yang mengingatnya.

Tak dinyana, dua minggu setelah datang ke Sumber Maron, Pandhu datang. Ia bahkan berkisah lebih detail tentang ular raksasa melebihi yang dilihat Jatim. Tak banyak tanggapan yang saya berikan kepada Pandhu maupun Jatim, selain jawaban, β€œMisteri itu pada akhirnya tak pernah membuahkan jawaban.”

Karena buat saya, tak ada momen menarik yang terekam lekat dalam benak dari perjalanan empat tahun yang lalu itu, selain seporsi sempol di tengah riuh Sumber Maron.

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

39 tanggapan untuk “Seporsi Sempol di Tengah Riuh Sumber Maron”

    1. Ular apa dulu nih? Kalau ular sungguhan, ya, laporin ke pengelola biar diamankan dan tak mengganggu wisatawan. Tapi, kalau ular jadi-jadian, baca mantra paling. Haha.

      Suka

  1. mitos kadang diciptakan sendiri oleh masyarakat sebagai gimmick wisata… kadang….

    *kalo di tempatku, sempol pake ayam, gak pake kepala sm ceker, ceker aku suka, tp kalo kepala bikin neg neg

    Disukai oleh 1 orang

    1. Astaga, ekspansi makanan ini cepat banget, ya. Baguslah, jadi yang di luar Jawa juga bisa mencoba, tanpa harus pesan dulu dari Jawa. Kabayang gak sih, sempol setengah matang dipacking kayak pempek gitu, haha. Tapi, masih belum nemu sih, perusahaan yang coba serius dengan kudapan satu itu. Padahal cukup prospektif, aku mau jualan sempol, heleh, di Malang malah saingannya se-kota, se-kabupaten, kini malah se-Indonesia, haha.

      Disukai oleh 1 orang

      1. Sudah banyak, mas, haha, Coba cek Tokopedia, pasti ada, soalnya ada temanku yang sudah menjualnya lewat online. Haha.

        Kalau soal rasa, aku akui di luar Malang rasanya memang agak beda. Selain dari segi bahan, cara penggorengan juga bikin sempol Malang kuakui paling nampol di lidah, bukan karena aku dari Malang lho, ya. Haha.

        Disukai oleh 1 orang

    1. Iya, kadang lucu lihat orang-orang yang mata batinnya sungguhan terbuka atau hanya sebatas berlagak indigo belaka. Haha. Tapi, ya, gimana, namanya juga animo, kalau gak digaungkan gitu gak akan jadi penasaran, yang akhirnya berujung pada ketertarikan orang untuk membuktikan. Walau benar tidaknya amatlah relatif, tapi strategi wisata macam tebar rumor begini nyatanya efektif sih. Haha.

      Disukai oleh 1 orang

  2. Sumber Maron kelihatannya masih asri banget yaa, jadi wajar kalo ular raksasanya betah sembunyi disini wkwkw. Cuma, yang nggak nguatin tuh airnya…the buthek hehee.
    Aku sukak sempol! Di Bali sih baru tahun lalu mas sempol ngehits dikit. Enakk..tapi mahal disini, seribu dapet satu. waaakkkk

    Disukai oleh 1 orang

    1. Nah, kalau hari-hari biasa, airnya jernih sebenarnya. Cuma karena memang sungainya dangkal, disenggol kaki dikit langsung terangkat pasirnya, jadi keruh. Haha.

      Tapi, kalau soal keasrian, masih asri memang. Sawahnya masih banyak, bahkan aku berharap bisa jadi ekowisata seperti Ubud gitu, tapi ya gausah sampai ada hotel bejibun sih. Haha.

      Wah, mahal, ya, seribu satu sempolnya. Mungkin karena lagi naik daun penjualnya cari keuntungan, haha.

      Suka

      1. aku kan kids jaman old rasa now, micin ya hayuk aja wkwkw *kadang2 aja sih sebenarnya, tp buat jajanan tertentu yg hukumnya WAJIB pake micin kaya merk makaroni itulah, seblak yg kalo gak pake micin gak enak samsek ya aku gak nolak hahaha…

        Disukai oleh 1 orang

  3. Rame banget ya mas tempat wisatanya.
    Eh tapi serem juga kalo beneran ada ular raksasanya, hehehe.
    Untungnya gak bener πŸ˜€
    Ngomongin sempol, jadi kangen makan sempol di Malang πŸ˜€

    Disukai oleh 1 orang

    1. Kalau ular sungguhan ada atau tidak itu wajar sih namanya tempat alami, tapi seru kok ko basah-basahan di sana. Murah lagi. Haha. Asal ke sananya pas gak musim liburan biar gak kayak cendol. Satu sungai beribu pengunjung. Haha.

      Disukai oleh 1 orang

  4. Sempol Sumber Maron memang legend πŸ‘

    Btw, temen-temennya mas Tom ini kok mainnya nyari demit sih. Dan diceritain pulaa.. Aku aja mau cerita ke beberapa tempat yang ada demitnya susah πŸ˜‚

    Disukai oleh 2 orang

    1. Entahlah, mereka memang aneh. Haha. Pas awalΒ² juga merasa ‘waduh apes banget temenan sama mereka’, tapi lamaΒ² juga terbiasa sendiri. Haha.

      Iya, sempol di Sumber Maron memang beda rasanya ketimbang di tempat lain yang pernah aku coba juga. πŸ™‚

      Disukai oleh 1 orang

      1. Owh, kukira sempol udah ekspansi ke Bandung juga, soalnya masif banget sampai luar Jawa (lihat komentarnya Avant Garde di atas: ada sempol di Janji, haha)

        Cilor ini berarti versi mininya sempol barangkali ya. Haha.

        Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.