
Tak biasanya rasa antusiasme memuncak kala membaca sebuah buku antropologi. Namun, hari itu, Huub de Jonge berhasil menyita sebagian besar akhir pekan saya untuk membaca bukunya, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam: Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Buku terbitan Gramedia pada 1989 itu tak sengaja saya baca, setelah Andre meminta saya mengecek bukunya di meja kerja.
Melihat sepintas bagian depan buku tersebut, saya tertarik dengan judulnya. Perlahan saya balik dan baca sekilas sinopsisnya. Siapa kira, hal tersebut berujung penasaran, hingga saya putuskan meminjam buku tersebut ke Andre, agar saya bisa membacanya sampai tuntas.
Dari buku itu, saya kemudian tahu jika pada abad 17-18, pernah ada kota modern pertama di Pulau Madura. Kota yang dibangun oleh Vereenigde Oostindische Compagnie atau yang akrab dikenal sebagai VOC itu berlokasi di daerah Kalianget yang kini menjadi kecamatan di Sumenep. VOC menganggap Kalianget wilayah yang strategis, karena berhadapan langsung dengan Selat Madura.
Jonge menuliskan Sumenep jatuh ke tangan VOC pada 1705. Sejak saat itu, pembangunan di Sumenep, khususnya di Kalianget masif dilakukan. Salah satu proyek prestisius yang dibangun VOC adalah Pelabuhan Kalianget. Pelabuhan tersebut dibangun untuk menggantikan pelabuhan di Kertasada yang dianggap VOC kurang stategis, lantaran berjarak sekitar 10km dari pusat kota. Di tahun yang sama VOC sebenarnya juga hendak membangun benteng, tetapi proyek itu diurungkan lantaran lokasinya dianggap kurang strategis. Barulah pada 1785, sebuah benteng didirikan di daerah Kalimook, Sumenep.

Kendati VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799 karena krisis ekonomi dan politik, rupanya pengaruh Hindia Belanda di Sumenep tak langsung hilang. Justru pada 1899, Pemerintah Hindia Belanda membangun Pabrik Garam Briket Modern di Sumenep. Keberadaan pabrik garam pertama di wilayah Hindia Belanda itu pun memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Kalianget perlahan menjadi kawasan maju. Jonge menuliskan jika ada banyak infrastruktur modern dibangun kala itu di Kalianget. Mulai pemukiman elite milik kompeni, kolam renang, lapangan tenis, gedung bioskop, hingga trem uap sebagai moda transportasi mutakhir di masanya.
Wajar kiranya setelah menamatkan buku karya pakar Antropologi Ekonomi asal Radboud University Nijmegen Belanda itu, saya jadi terlecut untuk datang langsung ke Kalianget. Coba membuktikan sendiri, apakah masih ada gerha yang tersisa dari kejayaan Kalianget di era kompeni?
Bak gayung bersambut, rasa penasaran saya pada Kota Tua Kalianget ternyata juga dirasakan Andre, usai membaca buku Hubertus Marinus Charles Jonge itu. Bagi Andre, pergi ke Kalianget adalah impian lama yang banyak terganjal kendala. Pernah ia sudah bersiap berangkat ke Sumenep, tetapi berita kepergian ayahnya seketika mengharuskan Andre justru pulang ke Bogor waktu itu.

Setelah merunut tanggal yang pas, akhirnya kami bisa benar-benar pergi ke Sumenep. Harapan agar kendala tak lagi merintang pun terwujud. Bus yang kami tumpangi dari Malang kini sudah melintasi Jembatan Suramadu. Kendati Sumenep masih jauh, tetapi kami coba menikmati keadaan setiap kali bus berhenti dari Bangkalan, Sampang hingga Pamekasan.
Sepanjang perjalanan hanya musik dangdut dilayar TV 22 inch dengan format karaoke yang bisa kami pahami. Sisanya hanya kokok ayam jago dan kata ‘cong’ yang bisa kami tangkap, lantaran tak paham bahasa Madura. Bus yang melaju sekitar 40km/jam itu, lantas menyilakan angin kering Madura menerobos jendela yang terbuka. Dengan sepoinya, sang bayu memuput keluar kepulan asap rokok supir, kernet dan separuh penumpangnya. Pemandangan ini pun berhasil memantik benak saya dengan imajinasi jenaka, dibandingkan bus, kendaraan 60-an kursi ini lebih cocok disebut angkot lintas kota.
Total 7 jam yang harus kami lalui dalam bus tak ber-AC itu, sebelum akhirnya tiba di Terminal Arya Wiraraja Sumenep pada siang hari. Lalu lalang bus antar kota dan provinsi seakan menjadi pemandangan jamak di terminal bus terbesar di Sumenep ini. Sebelum sungguhan menjejakkan kaki di bentala Madura, kami justru dihadang kerumunan tukang ojek dan supir angkot di depan pintu bus. Lucunya tak semua penumpang bus mau menerima tawaran itu, bahkan sebagian ada yang menyungut ketus karena ditarik paksa oleh mereka. Di tengah kerumunan itu terlihat seorang yang melambai-lambai dengan memanggil nama saya.
“Tom, sini, sebelah sini,” teriaknya.
Ialah Fauzan, orang kedua selain Andre yang tertarik untuk menyusuri jejak sejarah Kota Tua Kalianget Sumenep. Bedanya, antusiasme Fauzan tak mencongol karena tulisan Jonge, tetapi karena Sumenep adalah kampung halamannya. Ia pun memilih lebih dulu pulang, sehari sebelum kami tiba di sana. Alasannya untuk memastikan mobil milik pamannya bisa dipinjam untuk berkeliling Kalianget. Tampaknya upaya tersebut berhasil. Sebab, ketika kami tiba, Fauzan sudah menjemput kami dengan sebuah Kijang Super. Generasi ketiga Toyota Kijang itu pun langsung membawa kami ke Kalianget yang berjarak sekitar 30 menit dari pusat kota.

Kami terpaksa harus bergegas, karena mobil produksi 97-an tersebut hanya bisa dipinjam hari itu saja. Sepanjang perjalanan, tak ada kemacetan berarti yang terjadi di Jalan Raya Sumenep. Melihat kondisi Sumenep di kiri-kanan jalan, saya lantas kembali terlecut untuk berpikir. Harusnya jika mengacu pada tulisan Jonge, kejayaan Sumenep dua abad silam bisa berdampak positif bagi kemajuan Bumi Sumekar di masa sekarang. Namun, jangankan mal, infrastruktur di sepanjang bekas jalur trem uap di Sumenep, justru tak mencerminkan kawasan yang pernah didaulat Jonge sebagai kota modern pertama di Madura. Alih-alih terlihat sebagai kota, kawasan di sepanjang jalur menuju Pelabuhan Kalianget ini lebih serupa perkampungan biasa.
Lantas, di tengah tafakur, tiba-tiba mobil yang kami tumpangi sedikit memberikan kejutan yang cukup menghempaskan tubuh ke depan dan belakang. Fauzan tidak mengira, jika mobil yang kerap mogok saat hujan itu, tiba-tiba berhenti mendadak di dekat bangunan tua. Beragam upaya coba kami perbuat, naas mobil itu tak menggerungkan mesinnya sedetik pun. Fauzan lantas menghubungi pamannya, meminta sang pawang mobil datang langsung untuk memeriksanya. Di tempat lain, Andre terlihat sibuk mencocokkan kumpulan foto zadul yang dibawanya dengan bangunan tua di hadapannya.
“Tom, sini, sepertinya bangunan ini punya kemiripan dengan foto yang kubawa?” seru Andre.
“Tahunnya sama, 1914,” timpal saya.
Andre lantas menduga jika bangunan tersebut adalah Water Reservoir Pabrik Garam yang beroperasi pada 1914-1925. “Jika bangunan ini benar tandon air pabrik garam, maka bangunan itu adalah gedung pembangkit listrik sentral pabrik garam,” sambungnya sambil menunjuk gerha tua di seberang jalan.

Dari buku Jonge lainnya, Garam, Kekerasan dan Aduan Sapi, dijelaskan jika pabrik garam milik Hindia Belanda di Kalianget disuplai energi listriknya dari sebuah pembangkit listrik. Pembangkit listrik tersebut bangunannya berseberangan dengan tandon air. Apabila betul, tepat di bawah Jalan Raya Kalianget ini terdapat sebuah pipa air yang menghubungkan kedua bangunan. Pipa tersebut untuk mengalirkan air agar bisa digunakan untuk mendinginkan generator di dalam gedung pembangkit listrik sentral.
Hipotesa itu pun akhirnya dibenarkan oleh Zaenal, paman Fauzan setelah datang mengendarai motor bersama anaknya, Arifin. Sementara Zaenal memperbaiki mobil, Arifin izin pulang karena hendak bermain futsal. Fauzan sendiri tak menyangka jika pamannya yang seorang guru sejarah itu banyak tahu tentang bangunan tua di Kalianget.
“Engko’ lo’ ngellot kelamon anom bânnya’ taoh soal sajhârâh Kalianget,” kelakar Fauzan. (Saya tak menyangka lho paman tahu banyak tentang sejarah Kalianget ini)
“Ajjhâ’ èaèb abâ’na, cong!” sanggah Zaenal. (Jangan menghina kamu, nak!)
Zaenal lalu menambahkan jika di dalam gedung pembangkit listrik sentral tersebut terdapat lima generator, empat di antaranya didatangkan dari Jerman. Sementara sisanya asli Belanda. “Hanya saja, sejak tahun 80-an pembangkit ini tak lagi digunakan. Penyebabnya karena pasokan listrik di Kalianget saat itu sudah mulai disuplai PLN,” pungkasnya dengan aksen Madura.

Lewat tangan sakti Zaenal, Kacong, sebutannya untuk Kijang Super, akhirnya bisa ‘hidup’ kembali. Karena kepalang tanggung, Zaenal lantas menemani kami sekalian sembari berkisah bak pemandu wisata. Ia mengajak kami ke bekas pintu timur pabrik garam. Di sana terdapat menara jam lonceng tua dekat pos jaga. Langgam arsitektur kompeninya masih kentara, meski bangunannya tak lagi utuh sepenuhnya. Bangunan itu pun jadi saksi bisu lalu lalang buruh pabrik garam yang bekerja siang malam.
“Kalau bioskop, paman tahu lokasinya di mana?” tanya Fauzan.
Zainal lantas menunjuk sebuah bangunan dengan plakat PT Garam (Persero). Bangunan satu lantai itu kini menjadi aula yang menurut Zainal jarang difungsikan. Sementara saat saya tanya kolam renang dan lapangan tenis, Zainal justru menunjuk tanah lapang dengan ilalang menjulang. “Reruntuhan itu dulu bekas lapangan tenis dan kolam renang,” pungkasnya.
Kacong kemudian membawa kami ke Pelabuhan Kalianget. Di masa silam, Jonge menulis pelabuhan ini banyak dipenuhi syahbandar yang lalu lalang. Sekalipun tak banyak jejak bangunan kolonial yang tersisa—selain menara pandang warisan VOC, nyatanya pelabuhan yang kini dikelola PT Pelindo III (Persero) itu masih kentara digdayanya. Selain menjadi bandar pengiriman produk garam ke luar Madura di bagian utara pelabuhan, menurut Zainal sisi selatan bandar laut ini menjadi gerbang penghubung wilayah Sumenep daratan dengan kepulauan, seperti Gili Labak, Masalembu, hingga Kangean.

Di Kalianget kami sempat singgah di tambak garam. Menurut Zainal, dari semua jejak sejarah Kota Tua Kalianget, hanya tambak garam ini yang tak berubah dari masa ke masa. “Jika kalian tahu, sebagian petani garam di sini masih mengelola tambak garam secara tradisional dan turun temurun,” jelasnya. “Andai saja trem uap masih difungsikan, atau setidaknya sekarang dimodifikasi jadi lokomotif diesel, petani garam mungkin jadi tak perlu keluar ongkos banyak sekadar menyewa truk untuk menyetorkan panen garam ke pabrik.”
Hari sudah semakin sore, sebelum kembali ke pusat kota, di perjalanan balik Zainal justru membelokkan Kacong ke tanah lapang yang diapit pemukiman. “Ke mana kita Paman?” tanya Fauzan.
Sebelum Zainal menjawab, Andre ternyata tanggap lebih dulu dengan gerbang tua yang dilihatnya. “Benteng Kalimook?” tanyanya ke arah Zainal yang duduk di kursi depan mobil bersama Fauzan. Tak langsung menjawab, Zainal justru turun dari mobil, membuat kami bertiga saling berpandangan dan mengikuti langkahnya ke luar. Ia lantas berhenti tepat di depan pintu tua. Di sampingnya terdapat plakat serupa prasasti yang ditandatangani Bupati Sumenep, dengan tulisan:
Benteng Belanda
Bangunan Ini Adalah Peninggalan Belanda Pada Tahun 1785
Sebelum Zainal menjawab pertanyaan Andre, Jonge sebenarnya telah lebih dulu memberi tahu kami lewat bukunya. Benteng yang dibangun pada 1785 ini, tak lain dan tak bukan adalah Benteng Kalimook. Ironi bagi penikmat sejarah saat melihat langsung bangunan tersebut. Tanda tangan Bupati Sumenep bukan saja tak mampu menyelamatkan warisan VOC ini dari vandalisme dan penjarahan, tetapi juga tak mampu menjadikan gerha ini lebih bertuah. Dari semua bangunan benteng, kini tinggal menyisakan gerbang yang dipenuhi semak belukar. Tiada hal yang membuat benteng ini lebih bertuah, selain karena sudah dialihfungsikan sebagai pekuburan.
Bukan hanya Zainal dan Fauzan yang asli Sumenep, pun kami yang begitu antusias melihat rupa asli Kota Tua Kalianget, barangkali Jonge juga sudah pasti kecewa, bilamana tahu jejak sejarah kompeni di Kalianget yang ditulis manis olehnya, kini tak ubahnya gerha tak bertuah yang siap menjadi onggokan puing hingga semburat debu sejalan dengan pergantian waktu.
Menarik juga ternyata peninggalan-peninggalan kompeni di Madura. Ternyata memang cukup penting, terbukti dengan jalur kereta api yg kini sudah nonaktif.
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul, amat disayangkan jalur kereta itu kini tak lagi aktif di sana. Padahal, cukup potensial mendongkrak perekonomian Madura.
SukaSuka
Sayang sekali jika peninggalan sejarah dikota ini tidak ter urus.
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul, padahal potensi wisatanya cukup besar.
SukaSuka
Wah, lengkap sekali ulasan tentang sejarah kolonialisme di Kalianget, tadinya aku mikir kamu bakal nulis tentang benteng pendem di Ngawi loh..
jejak sejarah voc di madura khususnya kalianget syukur masih ada ya, meski nggak terlalu terawat, jadi ngebayangin seandainya jalur kereta api bangkalan-sumenep-kalianget masih aktif kayak jalur2 kuno di jawa pasti seru tuh
btw, aku punya teman kuliah yg tinggal di Kalianget namanya Indra, orangnya juga suka wisata heritage juga, dulu jaman kuliah beberapa kali ngetrip bareng, tp aku malah belum pernah main ke Kalianget, tulisannya bisa dilihat2 di h
ttps://indraprawiranegara.com/
SukaDisukai oleh 1 orang
Bentem pendem masih nunggu wangsit buat ditulis, padahal bahannya udah ada. Haha.
Bener, sayang banget memang gak kerawat gitu, tapi gimana lagi mau nyalahin orang, juga terlalu banyak masyarakatnya yang kurang peduli dengan sejarah. Jadi, ya, cuma bisa elus² dada doang akhirnya.
Wah, punya teman di Kalianget, seru tuh kalau main ke sana. Ok, habis ini meluncur ke blognya bang Indra. 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Indra bapak ibunya asli Mojokerto, tapi dia lahir di madura ikut orang tuanya hehe… menara jamnya cantik tuh
lumayan lah ya bisa elus dada, entar bisa elus yang lain :p
selain benteng van den bosch, apa lagi yg menarik di ngawi? aku gugling yg muncul wisata alam semua n jauh2 dari pusat kota
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah, iya, Ngawi memang yang bagus justru di luar kota mas. Wisata alamnya menarik, banyak yang masih asri kok, seperti Air Terjun Srambang itu cakep, lebih cakep menurutku daripada Air Terjun Pengantin.
Kalau gak mau basah-basahan bisa ke Kebun Teh Jamus itu. Sementara kalau yang dekat-dekat kota Benteng Pendem. Tapi, kalau mau yang otentik ada Museum Trinil, Pesanggrahan Srigati, Rumah Dr Radjiman, juga Sentra Industri Gamelan sekalian kalau belajar langsung instrumennya. Cuma ya gitu mas, rata-rata perlu 1 jam-an dari pusat kota. 😀
Makanya lebih enak kalau bawa kendaraan sendiri. Oiya, kalau udah di Ngawi jangan lupa cobain Tepo Tahu, Lethok (kalau di Kediri disebut sambal tumpang), juga Wedang Cemue. Sementara kalau cari oleh-oleh khas Ngawi bisa beli Ledre sama Keripik Tempe.
Itu sih yang jamak dijumpai kalau bahas Ngawi. Haha. Kalau nasi pecel sama sate ayam sama aja sama daerah lainnya, walaupun ada embel-embel khas Ngawi.
SukaDisukai oleh 1 orang
Waduh, kok kurang terawat begitu ya peninggalan bersejarah itu …
Sangat disayangkan dibiarkan rusak seperti itu.
Semoga cepat ditangani dengan baik.
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul, padahal potensinya sangat besar sebagai tempat wisata. Semoga pemerintah setempat sadar dengan warisan sejarah di tempatnya. Jika tidak, ya, mungkin akan lenyap tergerus zaman.
SukaSuka
Kalianget, baru dengar namanya kali ini. Memang semua kejayaan VOC jaman dulu dibangun untuk kaum mereka sendiri, seperti kolam renang dan lapangan tenis itu. Ada baiknya memang semua peninggalan sejarah itu bisa dirawat, tapi mungkin pemerintah daerah punya kebijakan lain atau mungkin sumber dana yang terbatas.
SukaDisukai oleh 1 orang
Nah, itu yang belum diketahui secara transparan, paling tidak semisal APBD tak mencukupi, mereka kan bisa menggaet swasta lewat dukungan Kemenpar, niscaya ada harapan untuk menyelamatkan warisan sejarah di Kalianget. Kota Tua Jakarta dan Kota Lama Semarang saja bisa, harusnya kota tua-kota tua lain di Indonesia bisa bernasib sebaik kedunya, kan? 🙂
SukaSuka
Menarik sekali tulisannya, Tom. Ternyata Kalianget juga mengalami nasib serupa dengan Sabang atau Barus ya. Semoga pemerintah setempat segera menyadari potensi wisata di Kalianget dan melakukan pembenahan.
Bahkan ada jalur trem, aku amazed!
SukaDisukai oleh 1 orang
Berharapnya sih demikian, semoga pemerintah sana benar-benar sadar akan peninggalan sejarah daerahnya yang berpotensi jadi tempat wisata. 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Sayang banget pas ke Gili Labak kemarin gak mampir ke sini, padahal sudah lewat di Kalianget.
SukaDisukai oleh 1 orang
Lah itu kan dekat banget, kamu sih gak tanya-tanya dulu pas di Kalianget. 😛
SukaSuka
Air Terjun Pengantin? Hah, kayak judul filmnya Tamara :p
Wah, museum trinil aku cek keren nih, tapi jangankan yg di Ngawi, museum sangiran yg di sekitaran solo aja cuma numpang lewat seringnya, belum pernah masuk. Kayaknya lebih afdol kalo ke Sangiran dulu
sambel lethok sama keripik tempe ada dimana2 yah, tapi mungkin beda daerah beda sajian atau cara makannya. Sama2 sambel tumpang, kalo di semarang kuahnya encer dan disebut sambvel tumpang, kalo di solo kuah sambel tumpangnya dikasih semacam tepung tapioka gitu biar kental
Sekali lagi makasih ya Tom infonya, lengkap pake bingit :))
SukaDisukai oleh 1 orang
Ok, bedanya makanan Jawa Timur sama Jawa Tengah itu pada penggunaan gulanya. Kalau Jateng lebih manis ketimbang Jatim, jadi kalau mau sambal Tumpang gurih asin ya di Kediri, kalau manis² ya Jateng. Haha
SukaDisukai oleh 1 orang
*maksudnya di semarang disebut sambel godhog
SukaDisukai oleh 1 orang
betul sekali, karena besar dan lahir di jawa, pertama kali ke sumatra (palembang) aku kaget pake cabenya gak kira2, pedesnya kaya makan api :p
tp kalo pulang ke jawa, makan masakan rumah yg manis gurih gitu rasanya agak hambar, kurang menantang hahaha
SukaDisukai oleh 1 orang
wow.. kalo aku ke sini pasti eyegasm banget lihat bangunan tua.
oh ya “Ajjhâ’ èaèb abâ’na, cong!” bahasa apa sih
SukaDisukai oleh 2 orang
Itu bahasa Madura ko, pelafalan huruf vokalnya beda², jadi secara gramatikal banyak huruf vokal yang dikasih petik, macam aksara Jawa. Haha.
SukaDisukai oleh 1 orang
Bangunan nya kuno dan bersejarah !
SukaDisukai oleh 2 orang