Jangan Berhenti Menjelajahi Nusantara


2016_0910_21022600-01
Jangan Berhenti Menjelajahi Nusantara [Foto: Iwan Tantomi]

Natuna dengan kesederhanaannya, begitu membekas di benak saya. Sederhana, karena alam Natuna masih alami. Sepanjang mata memandang, hanya laut biru, dengan pasir pantai berwarna keputihan. Hijaunya rerimbunan pohon, kian menampakkan keasrian Natuna dengan jajaran pohon kelapa yang melambai-lambai. Gugusan batu granit, seperti di Alif Stone Park, semakin menyempurnakan keindahan pesisir Natuna.

Kesederhanaannya kian saya kagumi, karena selain Masjid Agung Natuna yang megah, tak banyak beton yang menjamah tanahnya. Bukan saja alamnya, di mata saya penduduk Natuna juga tak kalah sederhana. Mereka mampu hidup secara bersahaja berlandaskan nilai-nilai agama yang kokoh, serta budi luhur khas masyarakat Melayu.

Alif Stone Park Natuna
Alif Stone Park, Kabupaten Natuna [Foto: Iwan Tantomi]

Di Natuna juga tak ada restoran cepat saji. Bahkan, saya berharap Natuna kelak tak seperti Jakarta, yang ditumbuhi hutan beton di mana-mana. Biarkan Natuna tetap dalam kesederhanaanya. Tak ada pizza dan burger bukan masalah. Sebab, nasi panas dengan rebusan gonggong serta calok atau pedok sudah bukan main lezatnya. Sesekali, juga perlu mencoba latoh silong yang begitu bergizi, atau nasi dogong yang begitu gurih. Ah, kenikmatan kuliner Natuna macam tipeng mando memang begitu lekat di hati.

Sayang, penjelajahan saya di Natuna harus berakhir, seiring dengan rampungnya tugas yang diemban. Memang, sebulan di sana, saya tak sekadar bersenang-senang. Namun, perpisahan ini begitu berat dilakukan. Apa daya, laporan hasil kerja lapang harus segera saya buat dan setorkan. Mewajibkan saya untuk kembali berjibaku dengan mobilitas kota. Memaksa saya meninggalkan kedamaian dan kesederhanaan hidup di Natuna.

Dari Bandara Ranai Natuna, saya tak langsung balik ke Jakarta. Masih ada beberapa hal yang harus saya selesaikan di Batam. Di sela-sela itu, saya sempatkan berjelajah sebentar di tengah metropolitan Provinsi Kepulauan Riau tersebut. Dari Bandara Internasional Hang Nadim, modernitas sudah langsung menyambut. Sekalipun berada di provinsi yang sama, Batam memang lebih maju dibandingkan ibukota provinsinya, Tanjung Pinang, apalagi Kabupaten Natuna.

Batam Center
Landmark utama Batam Centre [Foto: Iwan Tantomi]

Jika bukan karena paksaan teman, sebenarnya saya tak begitu selera, lantaran cukup lelah. Namun, sisa tiga hari di Batam, akhirnya saya habiskan kembali untuk berjelajah di sana. Mulai menyusuri Jembatan Barelang dari ujung ke ujung, hingga menikmati senja di Ocarina Park. Seperti halnya Bintan, Anambas dan Natuna, Batam juga menyuguhkan banyak wisata pantai. Paling terkenal ada Pantai Nongsa dan Pantai Marina. Namun, alih-alih ke sana, saya lebih memilih menyeberang ke Pulau Galang, untuk melihat Kampung Vietnam. Meski kini tak berpenghuni, kawasan tersebut pernah ditinggali pengungsi Vietnam karena konflik di negaranya.

Hari-hari di Batam kemudian juga saya habiskan dengan menikmati malam di puncak Bukit Senyum, mengunjungi Nagoya Hill sekadar beli oleh-oleh, juga berjumpa dengan kawan-kawan lainnya di Batam Centre. Landmark Batam ini memang disebut-sebut sebagai kembarannya Hollywood. Maka tak sedikit yang menyayangkan, jika sudah di sana lantas tak berfoto dengan latar tulisan ‘Welcome to Batam’. Soal norak, itu relatif. Apabila baru pertama kali datang, berfoto semacam itu sudah lumrah adanya. Maka tak perlu ragu mengekspresikan diri, jika momen semacam itu belum tentu bisa terulang dua kali.

Azan zuhur akhirnya berkumandang dari Masjid Raya Batam. Seperintang waktu, saya sempatkan untuk salat berjamaah di sana. Siang yang terik waktu itu tak membuat saya buru-buru beranjak dari anak tangga di pelataran masjid yang rampung dibangun pada 2001 ini. Lagi pula teman-teman yang lain beranjak ke Mega Mall Batam Centre, menyisakan Idrus yang tak berselang lama duduk di sebelah saya.

Masjid Raya Batam
Masjid Raya Batam [Foto: Iwan Tantomi]

“Kalau melihat Dataran Engku Putri di kejauhan, aku jadi teringat MTQ 2 tahun silam,” ucapnya.

Idrus memang pernah cerita, jika pada 2014 ia menjadi salah satu peserta Hifzh Al-Quran dalam gelaran MTQ Nasional XXV. Sekalipun tak menang, tetapi kemeriahan acara yang mempertemukan para penghapal Quran se-Nusantara tersebut begitu berkesan baginya.

“Kalau tak salah sekarang tempat itu jadi alun-alun di Kota Batam, ya?” timpal saya.

“Iya, benar. Sangat ramai kalau malam. Tapi, kalau siang begini sepi, ha-ha-ha. Panas, soalnya,” sambung Idrus, “Kapan kamu balik ke Surabaya, Tom?”

“Besok.” Sebenarnya saya tak heran, jika Idrus tahu saya urung balik ke Jakarta. Ia pun cukup tahu, jika saya akan berlanjut ke Surabaya. Rupanya urusan laporan kerja lapang bisa dibereskan di Batam. Dan, Idrus berkontribusi besar dalam penyelesaian laporan tersebut. Ia adalah supervisor saya yang bekerja di kantor Batam. Sebagai kompensasinya, saya diberi 10 hari untuk pulang ke Jawa Timur. Namun, yang membuat saya agak penasaran, tak biasanya Idrus basa-basi dengan saya seperti saat ini. “Kenapa?”

“Aku sebenarnya ingin ke Pacitan. Tapi, jadwalku yang padat tak memungkinkanku untuk melakukannya. Jika ada waktu, aku ingin titip sesuatu untuk kakekku,” pinta Idrus.

“Selama kamu tak titip sekarung gonggong, aku mau membantu,” jawab saya sambil tertawa, disambut gelak tawa oleh Idrus.

Setelah memastikan tugas saya selesai sepenuhnya, dan saya benar-benar tak perlu pergi ke Jakarta, Idrus akhirnya mengantarkan saya ke Hang Nadim keesokan harinya. Bahkan, Idrus memesankan saya tiket pesawat ke Surabaya, saat kami menghabiskan malam di Dataran Engku Putri. Sontak, keesokan paginya, saya tinggal langsung check-in saja.

“Untung aku masih menyimpan rekapan KTP-mu, jadi bisa pesan tiket tanpa bikin ribet orang yang mau dikasih kejutan,” pungkas Idrus.

“Tahu gitu, aku minta dipesankan hotel atau mobil untuk menjelajahi Pacitan sekalian,” canda saya.

“Nah, itu! Kalau terang-terangan, bisa-bisa kamu melonjak gila-gilaan. Kamu senang, aku yang meriang,” cengirnya.

“Sial! Jangan lupa nomor rekeningmu masih aku tunggu lho, ya,” pinta saya. Namun, Idrus menganggap pernyataan saya tersebut sebatas candaan belaka. Berulang kali ia berkata jika tiket pesawat ke Surabaya ini sengaja diberikannya, sebagai tanda terima kasih karena kesediaan saya mengantarkan titipan ke kakeknya di Pacitan.

Pesawat Garuda Indonesia
Pesawat Garuda Indonesia di langit Surabaya [Foto: Iwan Tantomi]

Meski begitu, saya tak bisa sepenuhnya gembira diberi kejutan semacam itu. Sebaliknya, saya justru merasa diamanati tanggung jawab besar, untuk mengirimkan sebuah bingkisan yang ironinya dikemas dalam kotak kecil berwarna kemerahan. Begitu berharganya barang tersebut, hingga Idrus enggan menanggung risiko kerusakan lantaran dikirimkan lewat jasa paket barang. Sementara itu, perjalanan sejak pagi dari Batam ke Surabaya terpaksa agak lama, lantaran harus transit dulu di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Imbasnya, saya baru bisa menjumpai supir travel yang akan membawa saya ke Pacitan dari Surabaya pada sore hari.

Tak banyak hal yang saya lakukan dalam perjalanan menuju kediaman kakek Idrus di daerah Sobo, Pacitan. Selain beristirahat, saya juga menghubungi Aji, rekan kuliah yang asli Pacitan. Beruntung, Aji menyanggupi untuk mengantar saya ke daerah tersebut. Bahkan, ia menyilakan saya untuk bermalam di rumahnya selama berada di Pacitan. Setelah melakukan perjalanan udara dan langsung dilanjutkan dengan perjalanan darat selama nyaris 24 jam, saya akhirnya tiba di Pacitan waktu subuh keesokan harinya.

“Akhire, ketemu maneh karo konco lawas,” sambut Aji sambil tertawa. (Akhirnya, berjumpa lagi dengan kawan lama)

Agak tak enak hati sebenarnya, lantaran merepotkan Aji subuh-subuh begini. Tapi, kami saling kenal bukan sejak kemarin sore, melainkan sudah lima tahun lamanya. Aji pun mendukung saya untuk segera menyampaikan barang tersebut karena itu adalah amanat. Setelah mandi dan sarapan, kami pun langsung tancap kendaraan menuju lokasi. Rupanya lokasi Sobo ini sangat jauh, sekitar 34 kilometer dari pusat kota Pacitan.

DSC06611-01
Gapura Selamat Datang Kota Pacitan [Foto: Iwan Tantomi]

“Makanya, kalau bukan ingin ke Sudirman Raksasa, aku agak malas main ke Sobo, Tom,” sambung Aji, di sela pembicaraan kami sambil berkendara ke lokasi.

“Sudirman Raksasa?” sahut saya penuh tanda tanya.

“Lho kamu belum tahu? Daerah Sobo sebenarnya terkenal dengan komplek wisata sejarah. Salah satu daya tariknya, ya, Patung Sudirman alias Jenderal Sudirman berukuran raksasa. Sekitar 8 meteranlah kira-kira tingginya. Konon, untuk memudahkan anak-anak mengingatnya, orang tua di sini menyebutnya sebagai Sudirman Raksasa,” jelas Aji.

“Wah, sosok Jenderal Sudirman kenapa jadi terdengar sangar gitu, ya?” canda saya menimpali Aji.

“Aku juga mikirnya gitu, kok, Tom. Bahkan saat keponakanku menangis dan tak kunjung diam, ibunya langsung menakutinya dengan Sudirman Raksasa. ‘Kowe nek gak meneng, digondol Raksasa Sudirman lho’ (Kamu kalau tidak mau berhenti menangis, nanti dibawa pergi Raksasa Sudirman lho). Absurd banget, kan? Masa pahlawan dibuat nakut-nakuti anak kecil gitu,” pungkas Aji.

Patung Jenderal Sudirman Pacitan
Patung Besar Jenderal Sudirman di Pacitan [Foto: Iwan Tantomi]

Mendengar kelakar Aji, sontak saya langsung tertawa sejadi-jadinya. Sifatnya yang jenaka, nyaris tak berubah walau kami setahun berpisah. Aji tetaplah Aji, humoris dan apa adanya. Beberapa waktu kemudian, kami akhirnya tiba di perkampungan Sobo. Jarak antara satu rumah dengan lainnya begitu berjauhan. Demikian pula dengan bangunannya, tampak sederhana dengan dinding yang masih terbuat dari pilar dan anyaman bambu.

“Ngapunten, griyane pak Misrani pundi nggeh?” tanya Aji ke salah seorang penduduk. (Permisi, rumahnya pak Misrani sebelah mana, ya?)

Dari jawaban yang diterima Aji, Misrani yang tak lain adalah nama kakek Idrus, rupanya ada dua orang di kampung tersebut. Satu baru dikebumikan tadi pagi, satu lagi sudah pindah ke Kalianget, Sumenep. Dua jawaban itu pun benar-benar membuat saya gamang. Siapa di antara kedua Misrani tersebut yang merupakan kakek Idrus.

Sialnya, ponsel saya kehabisan daya karena lupa diisi baterainya sejak dari Batam kemarin. Sementara ponsel Aji yang menyala justru dilanda krisis sinyal. Saya sempat bingung, antara mau balik lagi ke kota dan menghubungi Idrus untuk bertanya, atau malah memberitahunya kabar duka. Di sisi lain, perjalanan ke Sobo ini sangat jauh, amat sayang jika balik dengan tangan hampa.

Akhirnya, saya ingat perkataan Idrus, jika kesulitan mencari kakeknya, coba tanyakan pak Misran yang hapal Quran. Tak disangka, cara tersebut rupanya berhasil walau Misran yang saya temukan adalah guru mengaji. Ah, mungkin masih ada korelasinya penghapal Quran dengan guru mengaji. Gumam saya, coba meyakinkan diri dalam hati. Hanya, kebimbangan kembali datang, setelah dapat kabar Misran sang guru mengaji adalah sosok yang dimakamkan tadi pagi.

DSC06321-01
Pantai Klayar di Pacitan [Foto: Iwan Tantomi]

Mengetahui kondisi tersebut, Aji sudah beberapa kali mengajak saya balik, dan memberitahukan keadaan yang sebenarnya pada Idrus. Namun, sebelum itu, ia coba menghibur saya dengan mengajak langsung ke Monumen Besar Jenderal Sudirman. Menurut Aji, Pacitan sebenarnya tidak hanya menyuguhkan keindahan pantai, seperti Pantai Teleng Ria, Pantai Srau, Pantai Karang Bolong, hingga dua pantai fenomenal, yaitu Klayar dan Banyutibo. Pacitan juga punya wisata alam berupa Gua Gong, Gua Tabuhan, juga susur Sungai Maron yang berair jernih. Pesonanya pun kian terlengkapi dengan Monumen Jenderal Sudirman ini. Makanya tak lengkap rasanya, berjelajah di Pacitan jika tak mampir ke sana, kendati lokasinya jauh dari pusat kota.

Benar saja, seperti penjelasan Aji, wujud Patung Jenderal Sudirman di Pacitan benar-benar besar. Terlihat raksasa saat saya pandang dengan mata kepala. Posisinya pun kian megah, lantaran di pasang di puncak pelataran berbentuk trapesium. Kegundahan saya akan Idrus dan kakeknya, sempat tergantikan dengan rasa takjub dengan komplek monumental yang dilengkapi perpustakaan dan ruang audio visual ini. Apalagi di sini juga ada pasar seni, kafetaria, juga beragam diorama perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949 melawan Belanda.

Monumen Jenderal Sudirman
Komplek Monumen Besar Jenderal Sudirman di Pacitan [Foto: Iwan Tantomi]

Aji lantas menginformasikan jika sebuah rumah yang ada di komplek tersebut pernah ditempati Jenderal Sudirman saat melakukan perang gerilya. Menurut informasi yang tersedia di sana, rumah tersebut didiami Jenderal Sudirman selama 107 hari. Terhitung dari 1 April 1949 hingga 7 Juli 1949. Menariknya, delapan gerbang yang ada di komplek ini menginterpretasikan delapan provinsi di awal kemerdekaan Indonesia pada kurun 1948-1949, yaitu provinsi Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Kalimantan dan Sulawesi.

Lalu, kami menuju puncak patung Jenderal Sudirman yang ternyata terdiri tiga undakan. Menurut Aji, masing-masing terdiri dari 45, 8, dan 17 anak tangga, merefleksikan tahun, bulan dan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia. Sejenak, saya menenangkan hati, sembari melihat langsung Patung Jenderal Sudirman raksasa ini. Bagaimanapun saya harus bersiap membuat Idrus kecewa, lantaran gagal menyampaikan amanatnya. Namun, setelah menuruni anak tangga yang terakhir, saya dikejutkan dengan sebuah teriakan dari depan.

Komplek Monumen Jenderal Sudirman Pacitan
Patung Jenderal Sudirman di Pacitan ramai dikunjungi wisatawan [Foto: Iwan Tantomi]

“Pak Misran, ngapunten wau wonten sing madosi panjenengan. Lare jaler kale, setunggale ndugi Batam terose,” ucap seorang perempuan paruh baya. (Pak Misran, permisi tadi katanya ada yang mencari-cari Anda. Dua lelaki, satunya katanya dari Batam)

Mendengar nama Pak Misran dan Batam, sontak saya langsung berlari dan mendatangi keduanya. Selain perempuan paruh baya, tampak seorang lelaki tua mengenakan celana kain gelap dan baju takwa putih. Peci hitam yang menutupi rambut ubannya turut melengkapi penampilannya. Parasnya begitu bersahaja. Matanya tampak teduh. Mengingatkan saya dengan masyarakat agamis di Natuna.

“Maaf mengganggu, apa benar kakek ini Pak Misran, kakeknya Idrus yang hapal Quran?” tanya saya lugas bak menunggu kepastian yang begitu lama dinanti.

Tak langsung menjawab, kakek tersebut justru memandang saya lekat selama beberapa saat. Ia lantas tersenyum, sembari menjawab, “Injeh, kulo mbahe Idrus.” (Benar, saya kakeknya, Idrus).

Mendengar jawaban tersebut, saya langsung menoleh ke Aji. Dengan napas yang masih tersengal usai berlarian, kami pun langsung spontan berkata, “Alhamdulillah.” Aji melakukannya dengan mengangkat tangan dan menutupkannya ke wajah. Sementara saya mengucapkan hamdalah sambil tertawa dan berlinang air mata dalam waktu bersamaan. Entah, perasaan macam apa ini. Yang jelas, saya begitu terharu ketika orang tersebut benar-benar Misran, Pak Misrani, kakeknya Idrus.

shutterstock_746105563-01
Rumah Misrani, kakenya Idrus di Pacitan [Foto: Iwan Tantomi]

Waktu pun sudah mulai sore, kami berpamitan setelah dijamu oleh Pak Misran di rumahnya yang tak jauh dari Komplek Monumen Jenderal Sudirman di Pacitan. Ia begitu terkesima dengan cerita dan perjuangan saya dari Natuna di ujung utara Indonesia hingga Pacitan di pesisir selatan Pulau Jawa. Ia pun tak lupa meminta maaf karena sudah merepotkan. Sebetulnya, Idrus sudah memberitahunya, jika akan ada temannya yang datang menyampaikan bingkisan. Tanpa merahasiakan, Pak Misran pun lantas membuka dan menunjukkan pada kami isi sebenarnya dari kotak berwarna merah tersebut. Rupanya sebuah tasbih yang pernah diberikan Misran pada cucunya.

Menurut Pak Misran, Idrus berjanji akan mengembalikan tasbih tersebut ke kakeknya jika ia sudah hapal 30 juz isi Quran. Begitu takjubnya saya, bahkan Aji yang tak kenal Idrus pun begitu kagum dengan sosoknya, usai diceritakan oleh Pak Misran. Perihal nama Misrani, dirinya mengaku lebih akrab disapa oleh masyarakat sekitar sebagai Pak Ahmad, yang tak lain nama depannya, Ahmad Misrani. Sembari menyilakan saya dan Aji masuk mobil, lelaki berusia 63 tahun itu pun berpesan pada saya, “Jangan berhenti menjelajahi Nusantara.” Tanpa banyak kata, saya hanya membalasnya dengan senyum dan salam.

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

24 tanggapan untuk “Jangan Berhenti Menjelajahi Nusantara”

    1. kemaren sama temen barusan ke pacitan juga sih, seru banget.. yang gak enak nya mereka ternyata jadiin tempat itu buat nembak, sial ak jadi obat nyamuk 😦

      Disukai oleh 1 orang

  1. Oalah, syukurlah! Senang rasanya begitu tahu bahwa Pak Misran, eh, Pak Ahmad, bukan salah satu dari dua orang yang sudah tidak ada tadi. Syukurlah, amanah bisa dilaksanakan, kenang-kenangan didapat, tidak lupa ada cerita dari lokasi dan kejadian yang dilalui. Memanglah, perjalanan membawa cerita, cerita membawa pelajaran, pelajaran membawa pendewasaan. Terima kasih sudah membawakannya kepada kami dengan begitu apik, Mas. Dari Natuna ke pelosok Pacitan, sepanjang di Indonesia, pasti ada benang merahnya. Saya tak sabar memakai pandangan baru yang saya dapat dari tulisan ini ke perjalanan-perjalanan saya selanjutnya. Saya jadi belajar menarik makna dari perjalanan, melalui tulisan ini. Sekali lagi terima kasih, dan semoga berhasil dengan lombanya!

    Disukai oleh 1 orang

    1. Sama² mas, terima kasih kembali karena sudah sudi meluangkan waktu untuk mambaca cerita panjang ini. Hehe.

      Awalnya saya juga tak menduga, kenapa semua terjadi begitu berkaitan. Seolah pepatah ‘manusia hanya bisa merencanakan tetapi Tuhanlah pada akhirnya yang menentukan’ memang benar adanya di cerita ini.

      Dan sebenarnya masih banyak cerita perjalanan semacam ini yang belum saya ceritakan. Rasanya masing² menunggu waktu tepat untuk ditetaskan, bahaya soalnya kalau masih telur sudah dipublikasikan. Masih prematur, tulisannya pun jadi jelek dan tak memberikan manfaat bagi sang pembaca.

      Terima kasih sekali lagi, semoga doa mas Gara diterima Tuhan. 🙂

      Suka

      1. Semangat selalu ya, Mas. Saya yakin dengan niat yang baik dan tulus yang Mas miliki, Tuhan akan menunjukkan jalan terbaik dan memberikan hadiah-hadiah terindah. Amin.

        Disukai oleh 1 orang

      2. Amin. Sebenarnya Tuhan tiap hari sudah kasih kita hadiah, hanya kitanya yang kurang peka menyadarinya. Semoga Tuhan tetap peduli dan tak memalingkan muka ke kita, ya. 🙂

        Suka

  2. mas Iwan, artikelnya keren banget!
    tulisanmu membawa saya ikut menjelajahi nusantara 🙂

    saya tertarik banget dengan bagian cerita tentang Natuna.
    cantik dan saya baru tau lewat artikelmu >.<

    makasih buat infonya ya mas, keep sharing.

    salam kenal,
    ceritaliana.com

    Disukai oleh 1 orang

    1. Senang jika tulisan ini bisa bermanfaat bagi orang lain. Betul, soal jelajah Nusantara, jangan pernah puas. Karena Indonesia itu luas. Perlu dicari tahu satu per satu. :))

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.