Memandang Metari Ayun-Temayun di Ufuk Jombang


DSCF1752

Usai menunggu giliran, sepincuk nasi pecel akhirnya berhasil saya pegang. Saya amati saksama, tak ada yang berbeda dengan sajian pecel pada umumnya. Isinya nasi dan sayuran rebus yang sudah berlumur sambal kacang. Ada taoge, kacang panjang, daun singkong, kubis, juga kembang turi. Khusus nama terakhir, rasanya begitu lekat di memori.

Sewaktu kecil saya tinggal bersama nenek dan kakek. Tanah yang subur, membuat pekarangan belakang rumah kami ditanami banyak sayuran dan tanaman obat, termasuk kembang turi. Bunganya yang beraneka warna merah, putih dan ungu, pikir saya hanyalah penghias semata kala itu.

Sampai suatu ketika, nenek memasaknya. Ia rebus dulu kembang turi itu, sebelum dibanjur dengan sambal pecel di atasnya. Pecel kembang turi. Begitu nenek menyebutnya. Dari wujudnya amatlah menggoda, tetapi lain rasanya ketika sudah di lidah. Sejak kunyahan pertama, lidah saya langsung getir. Ingin rasanya melepehnya, tetapi nenek begitu sigap menyela.

โ€œOjok dilepeh, langsung leken nek gak pait, isok dadi obat iku, supoyo awakmu sehat.โ€ (Jangan dikeluarkan, langsung telan saja biar tidak pahit. Bisa jadi obat itu, supaya tubuhmu sehat)

โ€œObat nopo niku mbah uti? Pait nemen rasane, mboten eco.” (Memang obat apa itu eyang putri? Rasanya pahit sekali, tidak enak.)

“Akeh khasiate. Salah sijine, awakmu engkok isok sehat bugar, koyok mbah uti karo mbah kakung. Westalah panganen, bismilah.” (Banyak khasiatnya. Salah satunya, tubuhmu nanti bisa sehat bugar, seperti nenek dan kakek.)

DSCF1766

Bermula dari paksaan itulah, saya jadi terbiasa menikmati tanaman yang bernama ilmiah Sesbania grandiflora itu. Terlebih selepas saya belajar Etnobotani dengan kitab kondangnya Vegetables for Health and Healing karya Hean Chooi Ong, saya semakin yakin jika nenek tak pernah bohong soal khasiat tanaman yang dalam bahasa Bengali disebut Agati ini.

Karena itu, saat sarapan pecel di Jombang, saya mengiyakan saat penjualnya menawarkan kembang turi. Sebab saya tahu, jika bunga turi ternyata dapat berfungsi sebagai tonik, atau penambah tenaga. Terlebih hari itu saya akan berkelana seharian di Jombang. Penting kiranya untuk mengonsumsi banyak asupan bergizi, termasuk kembang turi ini, agar bisa menunjang stamina.

Kendati berada di pinggir jalan, pembeli pecel tersebut sangat ramai. Saking penuhnya, tak jarang pengunjung perlu duduk di trotoar Jalan RE. Martadinata, Jombang. Kebetulan saya menginap di penginapan yang berada di jalan yang sama, yaitu Hotel Netral Jombang. Jadi, dari hotel tinggal menyeberang jalan ke arah BRI. Nah, warung pecel berada di sampingnya. Tepatnya di pojok pertigaan Jalan Urip Sumoharjo Jombang. Dengan tambahan lauk yang beragam, pecel ini tak bikin gamang soal pengeluaran. Cukup murah, tak lebih Rp20 ribu.

Kenikmatan memakan pecel kian terasa, saat pawai Hari Jadi Jombang berlangsung pagi itu. Anak-anak dengan beragam kostum, terlihat menggemaskan dengan aneka rupa dandanan. Hingga suap terakhir pecel saya tandaskan, pawai tetap berlangsung penuh kemeriahan. Sementara Alid, rekan saya dari Jombang, langsung mengajak berpindah tempat. Hanya butuh melangkah sekitar 250 meter menyusuri Jalan RE Martadinata, kami langsung masuk warung Es Bubur Kacang Ijo Klenteng.

DSCF1586

Tak salah? Batin saya menduga. Alih-alih menyangkal, saya justru yakin jika Alid bukan tanpa alasan mengajak saya ke sini. Benar saja, Es Bubur Kacang Ijo Klenteng merupakan salah satu kuliner legendaris Jombang yang ada sejak 1980 silam. Dinamakan demikian, karena lokasinya berdekatan dengan Kelenteng Hok Liong Kiong Jombang.

Sekalipun namanya bubur, nyatanya hidangan ini tak begitu berat. Selain disajikan dalam mangkuk kecil, tekstur kacang hijau dan ketan hitamnya begitu lembut, sehingga tak perlu energi ekstra untuk mengunyahnya. Dengan harga tak lebih Rp10 ribu, manisnya susu manis juga segarnya es serut membuat kuliner satu ini cocok dijadikan hidangan pencuci mulut. Lebih-lebih di tengah teriknya sang surya di Jombang yang sudah menimbulkan kegerahan.

Secara geografis, wilayah Jombang terpisah dua bagian oleh Sungai Brantas. Pusat keramaian Jombang berada di wilayah utara dengan topografi tak lebih dari 500 mdpl. Wajar jika kelembapan udaranya rendah serta memiliki hawa yang panas. Kendati demikian, saya bersyukur lantaran tak hujan, sehingga saya bisa menyinggahi beberapa destinasi di Jombang.

Dari Ringin Contong, sebuah markah tanah yang menjadi ikon Kabupaten Jombang, saya beranjak ke Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Mojowarno. Gereja yang dibangun sejak 1879 ini menjadi salah satu cagar budaya di Kabupaten Jombang. Beruntung saat itu sedang tidak ada aktivitas ibadat, sehingga saya diizinkan masuk dan melihat langsung interior gereja. Bahkan, saya diajak pula oleh Alid naik ke menaranya untuk melihat langsung lonceng tua GKJW.

DSCF1774

Jombang memang cukup dikenal dengan keislamannya yang kental. Bahkan kiprahnya sudah dikenal sejak zaman penjajahan. Sebut saja KH Hasyim Asyari, yang andil besar dalam perintisan kemerdekaan Indonesia, di samping sebagai pendiri NU. Beliau berasal dari Jombang. Begitu pula puteranya, KH Wachid Hasyim yang merupakan anggota BPUPKI termuda sekaligus Menteri Agama RI pertama juga dari Jombang. Dan tentu saja Presiden Ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Hingga wafat, ketiganya bahkan dimakamkan di Jombang. Tepatnya, di Pondok Pesantren Tebuireng yang kini telah menjelma sebagai magnet wisata religi di Jombang.

Menariknya, fakta tersebut tak lantas menjadikan Jombang hanya dipenuhi masjid dan pondok pesantren. Di Jombang juga banyak kelenteng, maupun rumah ibadat lainnya, termasuk GKJW yang sudah saya kunjungi. Hal itu pun membuktikan jika Jombang adalah daerah yang toleran.

Sampai pukul tiga sore, beberapa tempat menarik di Jombang sudah saya kunjungi. Pun kulinernya juga sudah saya cicipi, termasuk Nasi Kikil Bu Tandur yang cukup tenar di Jl. KH. Hasyim Asy’ari No.144, Balong Besuk, Diwek, Kabupaten Jombang. Alid lantas menawari saya memandang surya tenggelam di langit Jombang. Dengan bahasa Jawa-nya yang cukup egaliter, ia mengajak saya ke Muara Kali Brantas.

Sejenak saya terdiam, berpikir. Apa bagusnya sunset di daerah dataran rendah yang tak punya pantai? Muara Kali Brantas ini benar-benar jauh dari pusat kota. Bahkan, sampai menembus terowongan di bawah tol Kertosono-Mojokerto. Jika bukan orang yang sering kelayapan, seperti mustahil bisa menemukan rute menuju lokasi tersebut. Sepanjang perjalanan hanya disambut dengan sawah dan ladang di kiri-kanan jalan.

DSCF1732

Dari ufuk barat, sang surya sudah mulai merengsek ke peraduannya. Saya mulai gamang, lantaran tak kunjung sampai di tujuan utamanya. Sampai akhirnya, kami tiba di sebuah tanggul. Gersang. Sesekali lalu lalang kendaraan membuat debu jalanan beterbangan. Sementara saya terbatuk-batuk, Alid sudah langsung naik ke atas tanggul tersebut.

โ€œHeh, mreneo, ojok meneng ae ndek kono!โ€ (Heh, kemari, jangan diam saya di situ!)

โ€œIyo, sek, onok montor liwat.โ€ (Iya, sebentar, ada mobil lewat)

Sambil menutup hidung agar tak semakin banyak debu jalan yang terhirup, saya menyusul Alid untuk menanjaki tanggul tersebut. Tak begitu tinggi, tetapi begitu mengejutkan saat sampai di puncaknya. Amboi! Alangkah indahnya panorama yang tersaji di depan mata. Sungai Brantas yang begitu lebar dan panjang, begitu istimewa dengan balutan senja. Begitu banyak orang rupanya yang berada di sana. Mereka memandangi rakit yang berlalu lalang sebagai transportasi sungai. Pemandangan yang cukup langka bagi orang kota. Alid lantas mengajak saya untuk coba menaikinya.

โ€œKoen gak pengin nyoba numpak getek iku ta?โ€ (Kamu enggak ingin mencoba naik rakit itu kah?)

โ€œEnggak, wes, aku ndek kene ae, ndelok sunset.โ€ (Enggak deh, aku di sini saja, melihat sunset.)

Alid lantas sungguhan menyeberang, sementara dari atas tanggul saya memotretnya menggunakan tustel yang sedari tadi di genggaman. Ia tampak begitu ceria dengan melambaikan tangannya. Membuat saya tertawa, hingga membersitkan pikiran tentangnya. Sesungguhnya ia adalah orang baik. Begitu gumam saya dalam sukma. Saya pun berterima kasih, karena sudah disambut di Jombang dengan sepenuh hati.

Setelahnya, pandangan saya pun memaku, kala langit benar-benar merona. Begitu merah muda, melebihi keindahan sunset di samudera. Tak ada hal lain yang saya lakukan, selain membiarkan senyum yang terus mengembang, seraya memandang metari ayun-temayun di ufuk Jombang.

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

21 tanggapan untuk “Memandang Metari Ayun-Temayun di Ufuk Jombang”

  1. Wkwkwk. Pas banget ya, bru td siang aku makan pecel kembang turi di Cilacap dan malemnya nemu tulisan ini.

    Tulisanmu bkin aku inget ttg Jombang, saat sering diajak ibu pulang kampung ke Ploso, Jombang. Tp sayang skrg sudah gk prnah k Jombang krna rumah dah dijual ๐Ÿ˜„

    Disukai oleh 2 orang

  2. Hihi, perjalanan yang seru, Mas. Sungai Brantas mendadak jadi penutup yang sendu kalau pemandangan senjanya seperti itu. Tapi keren banget. Ini tulisan yang lengkap Mas, ada kulinernya, ada heritage-nya, ada juga wisata alamnya. Saya mengira kalian berakit berdua, haha. Sepertinya seru juga ya naik rakit di saat senja, alamak betapa romantisnya.
    Ngomong-ngomong, di daerah Jombang dan sekitarnya itu ada sewa motor nggak, sih? Haha.

    Disukai oleh 2 orang

    1. Nggak berdua mas, gempar kalau sama Alid berdua doang. Haha. Ini hanya sengaja aku bikin satu penokohan agar lebih fokus alur ceritanya. Biar asyik aja ceritanya. Aslinya sih ramai. ๐Ÿ˜‚

      Banyak, mas, penyewaan motor di Jombang. Apalagi wilayahnya gak besar banget, jadi lebih maksimal jelajahinya.

      Disukai oleh 1 orang

  3. Perjalanannya seru banget ya.
    Ini Alid kayaknya aku kenal deh mas.
    Blogger Jombang itu kan? Semoga nggak salah. Hahahha.
    Ah, jadi pengen makan pecel malam2 gini mas,

    Disukai oleh 2 orang

      1. Owh, gitu. Semoga kapanยฒ dipertemukan, yas. Biar gak hanya kenal secara virtual. Dijamin ngakak kalau jalan sama dia. haha.

        Btw, domisilimu di mana hans?

        Suka

    1. Hei, orang Jombang juga, mas? :))
      Wah, Jombang ternyata punya banyak bibit unggul selain Alid, ya. Haha.

      Salam kenal juga, mas Fajar? Rois?

      Ah, kalau Alid semua netizen juga sudah tahu kedoknya, baik maksudnya. ๐Ÿ˜€

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.