Membesuk Eyang Soekarno di Blitar


DSCF6064

“Ada yang tahu kapan negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka, anak-anak?”

Seperti biasa, Rusminiwati begitu semangat setiap kali mengajar sejarah. Ia adalah wali kelas kami. Di sekolah dasar (SD), para murid kelas empat biasa memanggilnya Bu Rus. Perempuan berusia 50 tahunan itu, cukup renta secara fisik, tetapi tidak untuk semangatnya.

Lahir dan besar di era kemerdekaan, membuat Bu Rus tahu betul perjuangan para pahlawan melawan penindasan pemerintah kolonial. Ia bahkan kerap menyisipkan cerita masa kecilnya yang lekat dengan mengungsi, memasuki hutan, hingga menyeberangi sungai, dalam mata pelajaran sejarah. Semua disampaikannya dengan penuh penjiwaan.

Kami, sebagai siswa, termasuk saya, tentu amat terhibur, sekaligus takjub mendengar kisahnya dengan saksama. Nyaris tak ada yang menyela. Semua pandangan lekat ke arah Bu Rus bak pemain opera, memeragakan semua aksi heroik para pahlawan dengan tubuhnya. Sementara dengan tangan terlipat di atas meja, kami hanya bisa terpaku. Sesekali saya menolehkan kepala, melihat ekspresi wajah beberapa teman yang berbeda. Ada yang terbengong, ada pula yang melongo. Paling antusias adalah murid-murid yang berada di deretan bangku depan, termasuk saya.

Bu Rus memang berhasil menyihir kami semua. Memikat perhatian siswa sekelas, yang bandelnya luar biasa saat pelajaran lainnya. Padahal gurunya sama, tetapi Bu Rus begitu berkharisma saat menerangkan pelajaran sejarah. Dari semua yang disampaikannya, paling lekat di memori saya adalah Eyang Soekarno.

DSCF6060

Tiada yang saya ingat waktu itu, perihal pahlawan nasional kemerdekaan selain Eyang Soekarno. Bahkan, hampir semua murid di kelas ketika ditanya sejarah Indonesia, mampunya menjawab dua pertanyaan saja. Kalau bukan hari kemerdekaan Indonesia yang mudah diingat, lantaran 17 Agustus selalu tanggal merah, ya, Eyang Soekarno. Terlalu sulit bagi anak SD menyebut istilah proklamator. Istilah ‘bung’ pun tidak begitu familier di daerah kami. Maka supaya mudah diingat, Bu Rus selalu mengenalkan Sang Bapak Bangsa, sebagai Eyang Soekarno.

Ia digambarkan Bu Rus sebagai lelaki yang gagah perkasa. Berpakaian rapi dengan setelan jas dan peci. Pembawaannya tegas. Sigap berstrategi, cakap berdiplomasi, serta gigih  menumpas para penjajah secara gagah berani. Ia bahkan rela mati demi memerdekakan bangsa ini. Dengan deskripsi semacam itu, sontak yang ada di benak kami Eyang Soekarno adalah superhero sejati.

Bu Rus terus bercerita, sampai Tri Wulandari, salah satu murid terpintar di kelas kami menanyakan hal ini. “Di mana Eyang Sukarno sekarang Bu Rus?”

Pertanyaan Tri memang selalu tak terduga untuk nalar anak usia 10 tahun. Seketika, perhatian kami pun berganti jadi rasa penasaran seputar kehidupan Eyang Sukarno di masa sekarang. Apa ia masih hidup? Di mana kami bisa menemuinya? Sambil harap-harap cemas, kami menanti jawaban Bu Rus yang tampak terkesima dengan pertanyaan tak terduga Tri.

“Eyang Sukarno sekarang tinggal di Blitar. Kelak kalau kalian sudah dewasa, besuklah ia di sana,” jawab Bu Rus.

DSCF6095

Mungkin teman-teman yang lain lupa, tetapi ungkapan Bu Rus begitu mengena di benak saya. Rasanya saya ingin pergi ke Blitar. Menemui langsung Eyang Soekarno. Padahal, Blitar itu di mana, waktu itu saya tidak tahu. Naik kelas lima, Bu Rus tak lagi jadi wali kelas kami. Pelajaran sejarah pun kini diterangkan lebih formal oleh guru baru. Begitu serius, hingga rasanya mati selera untuk menyimaknya. Bahkan, saya mulai malas belajar sejarah.

Bagi saya, tak ada guru sejarah sepiawai Bu Rus. Hanya, usianya yang sudah senja, membuatnya sakit-sakitan. Jarak saya dan Bu Rus pun kian jauh lantaran saya harus pindah kota selepas SD. Sejak saat itu saya tak pernah lagi mendengar kabarnya, hingga masa SMA selesai.

Baru memasuki waktu kuliah, saya sempatkan mencari informasi tentang tempat tinggal Bu Rus sekarang. Lantas saya ingin berjumpa dan bercerita panjang lebar, termasuk akan mengadu jika guru-guru sejarah di SMP dan SMA saya tak ada yang seenergik Bu Rus. Sayang tak ada informasi berguna yang saya terima, selain kabar duka tentang Bu Rus. Dengan usia saya yang sekarang, Bu Rus kemungkinan sudah tiada. Namun, yang menyesakkan dada, tak ada yang tahu di mana ia dikebumikan.

Ada yang bilang Bu Rus dimakamkan di Blitar, tetapi tetap saja informasi tersebut tak bisa dibenarkan kevalidannya. Hanya, kata ‘Blitar’ membuat ingatan saya kembali berputar. Bu Rus begitu sering membicarakannya. Ia juga bilang, “Sejarah itu seperti kacang rebus, sekalinya makan enggan berhenti sampai benar-benar habis. Maka, jika ingin kenal lebih dekat dengan sejarah bangsa dan pendirinya, datanglah ke Blitar.”

DSCF6077

Lantas, akankah saya bisa berjumpa Bu Rus jika memutuskan pergi ke Blitar? Pertanyaan tersebut menyeruak begitu saja dalam benak, sebagai imbas kerinduan pada Bu Rus. Sembari menemukan hari yang tepat, saya kembali memahami sejarah kota Blitar. Begitu mengejutkan, karena selain berjuluk Kota Proklamator, Blitar ternyata juga pernah dijajah bangsa Tartar dari Mongolia, Asia Timur. Hanya Nilasuwarna dari Majapahit, mampu merebutnya dan menamakannya sebagai ‘Balitar’ yang bermakna pulangnya kembali bangsa Tartar.

Tak lama setelah itu, saya akhirnya bisa sungguhan menginjakkan kaki di Blitar. Tujuan utama saya pun satu, menjalankan petuah Bu Rus. Tak sulit menemukan kediaman Sang Bapak Bangsa yang begitu diidolakan oleh Bu Rus. Apalagi kompleks tersebut kini menjadi magnet wisata sejarah di Blitar. Selain museum dan perpustakaan, di sana terdapat kolam yang rampung dibangun 2004 silam.

Bu Rus benar, masuk ke sana tidaklah mahal. Bahkan, setelah belasan tahun lamanya sejak diceritakan pertama kali oleh Bu Rus, harga tiket masuknya hanya Rp2000,-. Setelah mengisi buku tamu, saya kemudian menapaki anak tangga hingga tiba di gapura utama. Dari sana terlihat pelataran, juga masjid di sebelah kiri pintu masuk. Tepat di depan saya, sebuah bangunan Joglo berdiri. Saung tersebut begitu ramai dipadati peziarah.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Perlahan saya melangkahkan kaki ke pusara, melepas alas kaki dan mulai bersila. Aroma sedap malam dan kembang tujuh rupa begitu semerbak di sana. Tak ada haru biru, hanya ketenangan bermunajat yang diimplementasikan dengan beragam cara. Ada yang memejamkan mata sambil memilin tasbih. Ada yang meratapi sambil sesekali sesenggukan. Ada pula yang merapal doa dengan lembut dan penuh kehikmatan.

Tertulis di batu nisan, Soekarno lahir di Surabaya 6 Juni 1901 dan meninggal di Blitar 21 Juni 1970. Begitu lama, wajar jika Bu Rus mengenalkannya pada kami sebagai Eyang Soekarno. Dengan bestarinya, Bu Rus tak pernah bilang Soekarno telah mati. Soekarno hanya istirahat di peraduannya, menunggu besukan ‘anak-cucunya’ setiap hari. Sayup saya mengamati pusara Eyang, membuncahkan kenangan juga kerinduan mendalam pada Bu Rus. Kesenduhan yang sedari tadi tertahan, akhirnya tumpah menjadi linang air mata. Tangan saya kaku, lidah saya kelu. Tiada mantra yang kuasa saya rapalkan selain kalimat, “Bu Rus… saya sudah membesuk Eyang Soekarno di Blitar.”

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

26 tanggapan untuk “Membesuk Eyang Soekarno di Blitar”

  1. Rest in Peace ya Tom…. dulu aku suka sejarah karena gurunya cakep n pinter ngajarin sejarah, sejarah dibikin kaya drama, jadi seneng dengarnya, si anu gini, terus si anu gitu, terus gini, gitu…

    Disukai oleh 1 orang

    1. Sepertinya karakteristik guru yang unik memang bisa membekas di benak murid²nya ya mas.

      Iya, kadang ada semacam penyesalan tersendiri, kenapa dulu tak sering main ke rumahnya, memanfaatkan waktu² tersisa. Mungkin sudah beginilah jalannya. 🙂

      Disukai oleh 1 orang

  2. artikel sejarah yang menarik, but masih terlalu berat untuk saya yang kurang fasih tentang sejarah hahaha. tapi saya selalu tertarik dengan sejarah , terkhusus indonesia dan wisata museumnya

    Disukai oleh 1 orang

    1. Ah, jangan merendah, ah, haha. 😀
      Tapi, sejarah memang perlu dipelajari dan dipahami berkali-kali agar bisa mengerti sepenuhnya. Sebab, kalau belajarnya setengah² memang masih berat dicerna.

      Disukai oleh 1 orang

  3. Lantas apakah dirimu bertemu dengan Bu Rus Mas, bagaimanapun keadaannya kini?
    Blitar itu kota yang penuh kenang-kenangan ya. Terima kasih sudah menyajikan sisi Blitar sebagai kota proklamator ini, Mas. Sangat menyentuh hati. Saya jadi berasa durhaka, sudah dua-tiga kali jauh-jauh bermotor dari Malang ke Blitar tapi belum pernah singgah di makam Bung Karno. Semoga Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk berkunjung ke kota ini.
    Ngomong-ngomong kuliner khas Blitar yang dirimu rekomendasikan apa, Mas?

    Disukai oleh 1 orang

    1. Belum pernah, mas. Hanya saat di makam Bung Karno, sepintas ada Bu Rus. Entah itu imajinasi atau bayangan, saya sulit mendefinisikannya. Itu juga yang akhirnya saya putuskan tidak saya luangkan dalam cerita lantaran agak abstrak.

      Datanglah mas, walau seumur hidup sekali. Apapun pro dan kontra yang terjadi dalam sejarah, Bung Karno tetaplah orang paling berjasa dalam kemerdekaan kita. Membuat hidup kita lebih damai dan tenang seperti sekarang. Semoga masih ada waktu ke sana.

      Kalau kuliner, Blitar dan Kediri sebenarnya memiliki kuliner yang nyaris sama. Baik orang Blitar maupun Kediri sama-sama suka pecel, jadi pecel masih jadi kuliner utama di Blitar, selain sayur tewel, semacam lodeh tewel, tahu kan?

      Terus lagi ada sambel wader, kopi bathok gathuk. Kalau yang otentik banget sih di Warung Mak Ti di Desa Jatinom, Kanigoro, Blitar. Cobalah, jika ada waktu ke sana. 🙂

      Sisanya ya sama, jamak seperti soto, bebek goreng, ayam goreng yang rasanya tak jauh beda dengan di beberapa daerah lainnya di Jawa Timur.

      Suka

      1. Wah, mungkin memang beliau datang menyambangi siswanya yang bertandang ke Blitar, Mas. Saya kirim doa pada beliau di mana pun beliau berada, ya.
        Amin, terima kasih atas doanya, hehe. Saya baru ngeh dengan istilah “tewel”, akhirnya googling dulu supaya tahu itu apa, ternyata nangka muda, haha. Sepertinya saya pernah lewat beberapa warung wader ketika ke Blitar dulu. Terima kasih Mas, berarti di kesempatan selanjutnya saya harus mampir. Sip, terima kasih banyak atas rekomendasinya!

        Disukai oleh 1 orang

      2. Silakan, monggo mas. Apapun bentuknya, bagaimanapun caranya, saya percaya segala doa bisa berpengaruh positif bagi si penerimanya. 😀

        Benar, tewel itu bahasa Jawa nangka muda. Cobalah biar kunjungan ke Blitar berikutnya bisa lebih istimewa. Selamat berjelajah, ya. 🙂

        Disukai oleh 1 orang

  4. Saya belum pernah sih ke Blitar.
    CUma kalo kesana kayaknya wajib ya datang kesini, itung2 sekalian belajar sejarah.
    Kalo dilihat kayaknya terawat banget ya.
    Biaya masuknya juga murah banget.

    Disukai oleh 1 orang

  5. Sedari dulu saya belum pernah kesampaian main ke Blitar dan singgah ke makam Bung Karno. Yang pernah cuma ke Kemusuk, tempat lahirnya Pak Harto dulu.

    Tulisannya menarik mas, mengingatkan saya kalau salah satu warisan yang tidak hilang setelah seseorang pergi untuk selamanya adalah nama baik. Ngomong-ngomong apa ada aturan khusus untuk singgah ke makam Bung Karno mas?

    Disukai oleh 1 orang

    1. Tak ada kok, hanya sebisa mungkin berpakaian sopan, juga tak banyak gaduh. Selain itu, kalau motret sih lebih baik tanpa flash, agar tak mengganggu pengunjung yang mungkin sedang khusyuk berdoa. 🙂

      Disukai oleh 1 orang

  6. Ngeliat “tanah” basah habis hujan gitu nyaman kali. Mana bersih pula jalanannya. Semoga bisa main ke sini. Dulu pernah foto sama beliau tapi versi patungnya hehe. Dan kayaknya lebih afdol jika bisa “membesuk” kayak Tomi gini.

    Disukai oleh 2 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.