Nikmatnya Pecel Tumpang Kediri di Jalan Dhoho


DSCF6172
Pecel Tumpang Kediri di Jalan Dhoho [Foto: © Iwan Tantomi]

Hujan yang turun sedari pagi sempat memutuskan asa saya untuk lanjut berjelajah. Diam menanti, sembari duduk di tangga beranda Masjid Agung sambil mengamati Alun-Alun Kediri yang tampak sepi. Tak ada lalu-lalang orang, akibat gemuruh guntur dan halilintar yang menggelegar. Hembusan angin yang kencang, sesekali turut membuat beberapa pohan di alun-alun bergoyang. Namun, hal itu sepertinya tak berlaku buat Glodokan Tiang.

Melihatnya, saya langsung teringat Ferdie. Kami pernah berdebat panjang soal asal-usul pohon bernama ilmiah Polyalthia longifolia itu. Hanya karena sering melihatnya di sekitar Monas, Ferdie langsung mengklaim pohon itu asli Indonesia, Jakarta tepatnya.

Darah Betawi yang mengalir dalam tubuhnya, membuatnya kerap asal bicara jika segala yang tumbuh di Jakarta adalah hasil tanam leluhurnya. Bahkan, nama Glodokan Tiang menurut Ferdie diilhami sebagai asal mula penamaan daerah Glodok, di kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Konon, di masa kolonial Belanda, banyak Glodokan Tiang tumbuh di sana.

Sementara di semester itu, saya sedang belajar tentang Botani. Tentu saya tak bisa tinggal diam, saat mendengar pernyataan Ferdie yang kurang mendasar. Apalagi tertulis jelas dalam buku The Plant List: A Working List of All Plant Species, Polyalthia longifolia adalah pohon peneduh taman atau median jalan yang berasal dari India. Di negeri asalnya, Glodokan Tiang kerap disebut Ashoka, pohon yang nyaris tak bercabang serta bisa tumbuh hingga lebih dari 10 meter tingginya.

Alih-alih menang berdebat, kitab suci umat Biologi itu nyatanya tak mampu membuat Ferdie setuju sepenuhnya dengan penjelasan ilmiah saya. Ferdie tetaplah Ferdie. Baginya kebenaran adalah argumen yang bisa dipertahankan dari sebuah perdebatan. Prinsip idealis yang tampaknya dipegang teguh oleh sebagian besar mahasiswa hukum waktu itu.

Meski begitu, Ferdie adalah teman jalan yang asyik. Ia selalu punya cerita seru dan mampu menghidupkan suasana jenaka yang teramat lucu. Tak jarang ulahnya membuat gelak tawa hingga perut terasa kaku. Ia pula yang mengenalkan saya pada Kediri pertama kali. Sayang, sekarang Ferdie sudah bermetamorfosa menjadi pengacara kondang. Meninggalkan Kediri, balik hidup di Tanah Betawi.

Ah, sial. Petrichor dan kesendirian memang suka mengundang kenangan masa lalu. Mendatangkan Ferdie dalam bayang imaji, lantas menyadarkan saya kembali pada suasana hujan di Kediri. Duduk meringkuk di tangga beranda masjid seorang diri. Lapar. Begitulah reaksi berikutnya yang saya alami. Hawa dingin yang mulai merasuk, membuat suhu tubuh menurun. Menuntut saya untuk bergerak, mencari sesuatu yang bisa dinikmati. “Tapi, apa?” pikir saya.

DSCF6151
Masjid Agung Kediri [Foto: © Iwan Tantomi]

Belum juga bergerak, pelantang masjid sudah berbunyi. Menyuarakan qiraah sore hari, menandai jika waktu magrib tiba sebentar lagi. Tak lama, azan magrib berkumandang. Hujan yang mulai reda, menyilakan orang datang ke masjid satu per satu untuk salat berjemaah. Usai itu, hujan benar-benar reda sepenuhnya.

Kediri yang sore tadi sepi, mendadak ramai saat malam hari. Hujan rupanya meninggalkan beberapa genangan di jalan. Sebagian ada yang tampak berwarna, akibat bias cahaya lampu jalanan. Saya menikmatinya seraya berjalan kaki menyusuri Jalan Panglima Sudirman. Hingga perempatan ke arah Jalan Dhoho, nyaris tak satu pun saya temukan ATM BCA. Padahal ada banyak sekali jajanan yang ingin saya coba. Apa daya uang tunai di dompet ternyata habis tak tersisa.

Seorang tukang parkir, lantas mengarahkan untuk lanjut ke Jalan Dhoho setelah saya tanya. Menurutnya di sana ada ATM BCA. Saya pun menguatkan diri untuk jalan sedikit lagi. Namun, lelah akhirnya terbayar, setelah ATM BCA yang saya jumpai ternyata satu lokasi dengan Hotel Penataran Kediri, penginapan di Jalan Dhoho yang juga sedang saya cari. Akan tetapi, alih-alih check-in dulu, saya justru tertarik dengan kerumunan pedagang pecel-tumpang Kediri di sepanjang Jalan Dhoho.

Ada satu warung yang cukup ramai. ‘Lesehan Dhoho Mbak Anik’, begitu nama spanduk yang tertulis di belakang seorang perempuan berkerudung. Sambil bersila, ia cekatan melayani para pelanggannya. Sesekali ia berucap, “Sabar, nggih.” Guna merespon para pembeli yang saling adu keras melantangkan suaranya saat memesan.

DSCF6157
Lesehan Dhoho Mbak Anik [Foto: © Iwan Tantomi]

Tiba giliran saya, Mbak Anik bertanya, “Sekul pecel nopo tumpang, mas?” (nasi pecel apa tumpang, mas?)

“Bedane nopo, bu?” (Bedanya apa, bu?)

Mbak Anik sepertinya tahu saya bukan orang Kediri. Dengan tenang ia menjelaskan, jika pecel berbahan dasar sambal kacang. Sementara tumpang, adalah sambal tempe yang sudah difermentasikan. Sementara untuk sayurannya sama. Sama-sama menggunakan kubis, kacang panjang, taoge, sawi, kembang turi yang sudah dikukus sebelumnya.

“Angsal dicampur nopo mboten, bu?” (Boleh dicampur apa tidak, bu?)

“Angsal. Namung mangke rasane campur mboten karuan. Kulo salap pinggir-pinggir ngoten mawon nggih?” (Bisa. Tapi nanti rasanya campur aduk. Saya letakkan bumbunya di bagian pinggir saja, ya?)

“Oh, inggih, ngoten mawon, bu, kulo pengin ngincip kale-kalene soale, he-he.” (Oh, iya, begitu saja, bu, saya ingin mencoba kedunya soalnya, he-he.)

Mbak Anik kemudian membanjurkan satu sisi nasi yang sudah dikasih sayuran dengan sambal pecel. Sementara bagian sisi lainnya dengan sambal tumpang.

“Lauke nopo? Monggo dipendet piyambek.” (Lauknya apa? Silakan diambil sendiri.)

Hasrat lapar yang bergejolak sempat membuat saya ingin memungut semua lauk. Ada dendeng ragi, sate telur puyuh, sate usus, sate hati dan ampela ayam, telur ceplok, babat goreng, ayam kari, telur asin, ayam goreng sampai ayam bakar. Rasanya semua begitu menggugah selera. Tapi, saya tahan dengan hanya mengambil sate usus, babat goreng, dan telur ceplok.

Saya lantas duduk bersila di tikar plastik yang digelar di atas trotoar Jalan Dhoho. Kemudian, terlihat serombongan satpol PP berpatroli di hadapan saya. Agak waswas, apakah nanti akan ada penggerebekan oleh Satpol PP? Namun, melihat Satuan Polisi Pamong Praja itu berlalu, juga pembeli lain yang begitu tenang dan menikmati pecel serta tumpangnya dengan lahap, sepertinya Jalan Dhoho memang dikhususkan sebagai sentra kuliner malam di Kediri.

Barulah, saya mulai melahap perlahan nasi tumpang, nasi pecel, kemudian mencoba menikmati campuran keduanya. Senyum saya langsung mengembang. Begitu pas di lidah. Gurihnya, pedasnya, juga harganya yang tak lebih Rp20.000,-. Rasanya, kesal akibat hujan seharian tergantikan dengan nikmatnya pecel tumpang Kediri di Jalan Dhoho.

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

40 tanggapan untuk “Nikmatnya Pecel Tumpang Kediri di Jalan Dhoho”

  1. Suasana hujan itu memang selalu sangat berhasil membawa perasaan menjadi sendu dan syahdu ya Mas, haha. Apalagi ditambah makanan yang mungkin bagi sebagian orang juga memiliki nilai kenangan tersendiri, wah lautan nostalgia yang menyenangkan. Saya belajar beberapa hal di tulisan ini, tapi yang paling penting untuk saat ini adalah referensi kuliner dan sepotong botani dibumbui bahasa Jawa. Terima kasih, hehe.

    Disukai oleh 2 orang

    1. Sama², kak. Senang sekali tulisan macam gini ada yang mengapresiasi. Karena sebagian orang ada yang menganggap membosankan. Tapi saya berusaha memperbaikinya terus, biar tak sekadar narasi, tetapi juga sarat informasi baru, dengan tetap melestarikan gaya penulisan sastra klasik. Biar kayak tulisan kak Gara yang sarat informasi sejarah itu. 😀

      Btw, suka makanan pedas pula, macam sambal tumpang Kediri?

      Suka

    1. Makanya itu, soalnya di Malang, Satpol PP kerap gerebek pedagang yang jualan di trotoar. Apalagi pengalaman juga pas coba pecel semanggi di Surabaya, lagi enak², eh, pedagangnya langsung ngacir karena didatangi Satpol PP. Kan jadi gak tenang kulinerannya. 😂

      Suka

    1. Astaga, item dekil 😂
      Tapi, gitu² enak sih mas, walau gak baik kalau kebanyakan, kan jerohan.

      Masih, mas. Jawa Timur area Selatan dan Barat masih kental bahasa Jawa krama Inggilan. Baru kalau utara macam Surabaya, Gresik, Jombang, Mojokerto itu sudah ngoko alias bahasa Jawa kasar. 😀

      Disukai oleh 1 orang

      1. Tapi, kalau dicermati Bahasa Jawa orang Jawa Timur dan Jawa Tengah itu ada perbedaan, khususnya penggunaan kata dan pronunciation, macam American English and British English. Terus aksennya juga beda. Kayak ada ‘kae’, di Jawa Timur tak ada preposisi macam itu. Makanya, kadang aku juga suka gak nyambung kalau sudah ngomong bahasa Jawa Inggil sama anak Jawa Tengahan, atau Jogja, padahal sama-sama orang Jawa. Haha.

        Disukai oleh 1 orang

  2. Kenapa was-was sama satpol PP, agaknya pengalaman mangkal ini. 😀
    Terima kasih sudah mampir Kediri, mas. Sering-seringlah datang, ada banyak kuliner lain yang menunggu diicip, salah satunya nasi goreng jagung lengkap dengan ikan asin di daerah Dholo- Besuki.

    Disukai oleh 1 orang

  3. eh, eh, barusan aku cek di wiki, daerah sekitar Madiun smp Kediri dulunya wilayah kerajaan Medang, pindahan dari kerajaan Mataram Hindu di Jateng n Jogja… Mungkin karena itu daerah itu masih kuat pengaruh bahasa Krama Inggilnya 🙂

    Yaps, aku punya sodara di sragen yang beberapa kata dan dialeknya lebih mirip jawa timuran ketimbang bahasa Solo, misal “ogak”, “mari” hehe 🙂

    Disukai oleh 1 orang

    1. Maka itulah di Jawa Timur sendiri, muncul istilah Dialek Arekan (Suroboyoan) dan Dialek Kulonan yang sudah mirip dialek Jawa Tengahan.

      Kayaknya seru deh, riset dan nulis sejarah bahasa Jawa di wilayah Timur dan Tengah ini, haha. Kalau Barat, sudah kecampur Sunda dan Betawi, Ngapak, Tegal dan lainnya.

      Suka

  4. Yups, menarik ya 🙂 bahasa Jawa di jawa barat, jawa tengah, jawa timur bisa beda banget. Bahasa jawa di daerahku (dialek solo) pun agak beda beberapa kata dengan bahasa jawa di tempat istriku (dialek semarang) hehehe..

    Disukai oleh 2 orang

  5. pecel, apapun versinya selalu suka, bahkan di tempat tinggalku yang notabene tiap hari ada yang jualan tetap saja ga bikin bosan…, cuma kalau di Banjarnegara sajian pendampingnya ya aneka gorengan tempe,tahu, bakwan dkk

    Disukai oleh 1 orang

  6. Kayaknya salah banget ya pas kesini lagi belum makan malam, soalnya jadi lapar lihatnya. Hahaha.
    Itu lauknya menggugah selera banget.
    Kalo dekat udah saya samperin sih tempatnya, wkwkwk 😀

    Disukai oleh 1 orang

  7. Waduhhh…postingan ini berbahaya. Berbahaya karena bisa bikin lapar. Saya sebenerya nggak pernah ke Kediri om, tapi temen sebelah rumah orang kediri. Oleh2nya dia bawa pecel buat kami. Nah sekarang kalo di mau pulkam, saya selalu nitip buat dibeliin pecel Kediri. Soalnya pedesnya pas sesuai selera saya…

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.