Coban Pitu, namanya mungkin masih kalah tenar jika dibandingkan Coban Rondo. Aksesnya apalagi, lebih sulit dari Coban Talun yang kerap dianggap masuk ke perkampungan, menyusuri hutan, hingga menanjaki tebing, menuruni lereng juga naik ke bebatuan. Namun, Coban Pitu lebih dari itu. Aksesnya boleh dibilang masih โperawanโ. Begitu menawannya sampai-sampai jadi buruan.
Namun, sebagaimana berlian yang mahal harganya, perlu usaha untuk menemukan sumbernya. Dinamakan Coban Pitu, sudah barang tentu ada banyak air terjun di situ. Rasanya sudah puluhan bahkan ratusan fotonya viral di mana-mana. โHijauโ dan โAsriโ, setidaknya dua kata itulah bisa dilontarkan saat melihat indahnya Coban Pitu lewat postingan foto di Instagram.
โLokasinya tersembunyi, perlu trekking beberapa jam agar bisa sampai ke sana,โ ucap seorang kawan, sebut saja namanya Roni. Ia mendeskripsikan Coban Pitu sebagai lembah berbentuk tapal kuda, dengan tebing dipenuhi rimba. Rimbunan tanaman rambat dari familia Piperaceae adalah salah satunya. Di sela-selanya, menyembul mata air yang terjun ke dasar lembah. Bukan hanya satu, tetapi ada tujuh โ yang dalam bahasa Jawa disebut pitu.
Mendengar penjelasan Roni yang pernah ke Coban Pitu untuk menjejakkan kaki, membuat saya antusias, juga gamang untuk sekali. Bukan, bukan karena Roni berkisah sembari mengurut kaki, sisa nyeri akibat terjatuh saat menapaki Coban Pitu. Lebih dari itu, saya justru mengintrospeksi diri. โNaik ke Panderman juga Arjuno mampu, masa Coban Pitu ngilu?โ
Hari itu Tiba
Hujan tiba-tiba yang mengguyur kota Batu, tak menyurutkan nyali saya untuk lanjut ke arah Pujon. Saya meyakini hari itu sedang terjadi hujan lokal, bukan hujan monsun. Meski di area kota sedang hujan, belum tentu di Pujon hujan deras.
Sekitar 30 menit berlalu setelah berteduh di mini market, saya melanjutkan perjalanan. Dugaan saya pun benar, memasuki Pujon, jalanan ternyata masih kering. Bahkan, baru mulai dijatuhi rintik hujan. Hanya hambatan berganti dengan kemacetan jalan di musim liburan.
Sampai di Patung Sapi, saya mengambil belokan kedua ke arah kiri, tepatnya ke arah Desa Wisata Pujon. Sebab, belokan pertama ke arah Coban Rondo. Dari gapura pertama tersebut, tinggal lurus mengikuti arah jalan ke Cafe Sawah, Desa Wisata Pujon Kidul. Namun, sebelum sampai di Cafe Sawah, tepatnya di Jalan Beringin, belok ke arah kiri. Meski tak besar, paling tidak terlihat papan penanda ‘Coban Pitu’ di gapura. Dari sana, jalan aspal berganti makadam.
Sepanjang perjalanan kiri-kanan hanya terlihat perkebunan sayur, hingga tiba di pos tiket di sebelah kiri jalan. Sebagai informasi, Coban Pitu ini dikelola Perum Perhutani KPH Malang. Biaya parkir masuk dikenakan Rp5 ribu, sementara retribusinya ditarif Rp10 ribu.
Perjalanan berlanjut menuju pos pertama pendakian menuju Coban Pitu. Namun, sebelum tiba di sana, kendaraan harus berjibaku dengan terjalnya makadam yang diapit pohon pinus di kiri-kanan. Tak sedikit pemotor yang jatuh lantaran tak sanggup menjaga keseimbangan.
Kira-kira 15 menit berlalu, tempat parkir akhirnya terlihat. Tersedia pula lahan untuk kamping, sebagaimana yang tertulis di tiket masuk, yaitu Bumi Perkemahan Coban Pitu. Kehadiran warung di sekitarnya, memudahkan pengunjung yang haus atau lapar selepas dari air terjun menemukan tujuan. Hanya jangan berharap ada nasi, lantaran yang dijual di sana hanyalah mie instan, aneka gorengan, juga beragam minuman kemasan.
Pendakian Dimulai!
Berbekal sebotol air mineral, juga beberapa gorengan dalam keresek kemasan seperempatan, saya mulai menapaki jalan ke Coban Pitu. Pintasan yang terjal, memaksa siapapun yang ingin melihat indahnya Coban Pitu harus berjalan kaki lebih dulu. Hadirnya undakan tanah yang ditopang dengan potongan kayu sebagai penyangga, membentuk beberapa tangga sederhana, memudahkan saya menapaki perbukitan.
Sesekali melewati puncak bukit, di mana dari sana bisa terlihat indahnya panorama kota Batu. Semakin jauh, lintasan berganti jalan di pinggiran tebing, dengan jurang menganga di sebelahnya. Namun, tak perlu khawatir tersesat, karena papan penunjuk jalannya tertulis jelas. Jika ragu tinggal bertanya ke beberapa pengunjung yang balik turun, setelah berhasil mencapai Coban Pitu. Tentu saja wajah mereka lebih semringah, dibandingkan saat mendaki yang begitu terengah-engah.
Di titik akhir penyusuran, saya harus melintas sejenak ke dalam hutan dengan medan naik-turun. Barulah setelah itu, air terjun terlihat. Rekahan senyum dan belalak mata yang membundar karena takjub pun tak dapat ditahan. Hanya, perlahan efek pikatan tersebut memudar lantaran balik berbuah pertanyaan. Roni tak bilang jika air terjun Coban Pitu ini hanya satu. Jikalau air terjunnya terpisah, tak membayangkan jam berapa saya baru tiba di coban ke tujuh. Apalagi pas sampai di sini, waktu sudah menunjukkan setengah lima sore.
Oleh karena Roni tak ikut pergi ke Coban Pitu, mau tak mau saya harus menerka rute dengan beberapa kawan baru yang berjumpa di parkiran. Ironinya kami sama-sama baru pertama datang ke sana. Walhasil, menanyai setiap pengunjung yang balik dari Coban Pitu menjadi momen yang tak bisa dielakkan. Dari situlah, saya mendapat kelegaan atau lebih tepatnya kepastian posisi Coban Pitu berada.
Rupanya, Coban Pitu bersebelahan dengan air terjun tunggal yang sebelumnya saya lihat. Hanya posisinya di sebelah kiri atas. Jadi, untuk bisa sampai ke titik utamaย perlu mendaki tebing sekali lagi dengan sudut elevasi sekitar 60 derajat. Sebenarnya dari air terjun pertama Coban Pitu sudah terlihat sedikit, maka untuk melihatnya secara keseluruhan mau tak mau harus meniti undakan tanah yang cukup tinggi. Meski disediakan tali sebagai pegangan, kewaspadaan tetap perlu dijaga lantaran kondisi medannya begitu curam.
Hadiah untuk Pluviophile
Napas yang memburu akhirnya berangsur mereda, setelah saya tiba di titik terakhir pendakian. Sesaat napas terasa berhenti sepersekian detik, terpana melihat satu, dua, tiga, hingga tujuh air terjun menyembul jatuh bersamaan dari balik rumpun Piperaceae yang begitu hijau. Begitu menyejukkan mata, hingga membuat mulut hanya bisa menganga, tak mampu berkata apa-apa.
Sesaat setelahnya, gerimis yang sedari tadi mengiringi saya mendaki, kian liar mengguyur. Hujan deras pun membuat sebagian besar pengunjung berhamburan, tunggang langgang mencari peneduh. Sementara saya, tak sedikit pun beranjak dari duduk bersandar di atas batu besar. Hanya lanjut menutup mata, merekahkan senyum selebar-lebarnya. Merentangkan tangan, membiarkan alam merengkuh diri, juga menikmatinya penuh kebahagiaan. Tak ada hadiah terindah bagi Pluviophile selain guyuran hujan di tempat yang serupa miniatur surga.
Maka benar kata Roni, jika air terjun dengan tinggi maksimal sekitar 49 meter ini tersembunyi di dalam lembah berbentuk tapal kuda. Dibandingkan Coban Sewu, Coban Pitu menurut saya lebih mirip Air Terjun Benang Kelambu. Saya setuju, air terjun ini dikelola Perhutani, karena dengan begitu Coban Pitu terbebas dari ide liar pengembang wisata kekinian.
Tak peduli Coban Pitu ini nihil spot berfoto artifisial, karena cukup Coban Rais yang dipersolek demikian. Cukuplah keasrian yang dinikmati di sini. Sebab, esensi berwisata alam kadang bukan sekadar memburu latar foto diri demi kepopuleran, tetapi menemukan kembali kedamaian. Dan keindahan Coban Pitu, cukup membayar lelah yang terasa, selepas satu jam lebih pendakian.
Ah, mungkin kalian meragu, jadi kapan mau langsung memburu Coban Pitu?
Segerrrrr banget lihatnyaaaa
SukaDisukai oleh 1 orang
Main ke sana, mbak. ๐
SukaSuka
adem, aksesnya cukup efektif buat olah raga (diet) hahaha
SukaDisukai oleh 1 orang
betul banget itu. ๐
SukaSuka
cakep! akhirnya ada foto diri haha.
aku setuju banget sama kamu. obyek wisata alam itu yang penting keasrian dan keamanannya. nggak perlu spot-spot foto artifisial itu.
aku nggak terlalu suka air terjun, tapi aku suka trekking di antara pepohonan kayak gitu. biarlah air terjun menjadi bonus dan pengobat lelah ๐
SukaDisukai oleh 1 orang
akhirnya ada foto diri —> kebetulan ada yang motoin. ๐
SukaSuka
hahaha, bukan pemuja selfie ya kak
SukaDisukai oleh 1 orang
Begitulah, lebih senang memainkan kamera, daripada menjadikan diri sebagai objeknya. ๐
SukaDisukai oleh 1 orang
Justru sing ganok panggen poto kekinian e ngene iki sing wapik
SukaDisukai oleh 1 orang
Harusnya kemarin kalau tak hujan mampir ke sini, ya. Dari rumah sidik kan dekat banget. ๐
SukaSuka
coban sewu itu berarti lebih banyak daripada coban pitu, ada 1000 aer terjunnya ๐
SukaDisukai oleh 1 orang
Gak seribu juga kayaknya, cuma karena banyak dan kecilยฒ alirannya kayak air pipis kuda, jadi diandai-andai jadi sewu ๐
SukaSuka
Pipis kuda kaya apa tuh? ๐ค
SukaSuka
Yak, kecil aja alirannya gak kayak air terjun pada umumnya.
SukaSuka