Sebuah mobil chery hitam ternyata sudah lebih dulu menanti di depan rumah singgah Pak Anshori. Homestay tempat saya menginap di Gubugklakah. Di dalam ruang tamu, terlihat seorang pria berkaus putih dengan logo dan tulisan “Pesona Indonesia”. Tentu saja langsung menyita perhatian saya. Perawakannya sedang, kulitnya berwarna sawo matang. Apa bapak ini orang Kemenpar? Selidik saya, dalam hati.
“Selamat malam, mas,” tiba-tiba ia menyorongkan tangan. Tanda jabat tangan perkenalan. “Malam, Tomi,” sambut saya seraya mengenalkan diri. Pria paruh baya bertopi putih tersebut lantas membalas dengan menyebutkan namanya, “Choirul.”
Tahu maksud kedatangan Pak Choirul untuk menjemput, saya lantas bergegas meminta izin membersihkan badan. Jelajah Gubugklakah seharian memang cukup membuat pakaian kuyup, terlebih usai river tubing yang begitu berkesan. Jika tidak ditanggalkan, bisa mati kedinginan, mengingat desa berikutnya yang akan dituju ada di lereng Gunung Semeru.

Selesai berkemas, saya lantas berpamitan dengan Pak Anshori, selaku pemilik penginapan. Mengikuti langkah Pak Choirul, menuju sebuah mobil yang sedari tadi diparkir. Benar, chery hitam tadi rupanya tunggangan saya menuju desa wisata di Kabupaten Malang berikutnya, Desa Wisata Poncokusumo.
Sepintas modifikasi pintu di sebelah kiri dengan bangku memanjang berhadapan cukup mudah untuk menengarai mobil ini sebagai angkutan desa. Chery hitam ini lantas melaju sedang. Menyusuri Jalan Raya Gubugklakah. Pintasan familier bagi siapapun yang ingin menuju Gunung Bromo atau Gunung Semeru dari Malang. Hanya gelapnya malam membuat jalan beraspal di ketinggian antara 1200-1400 mdpl ini jadi sulit dikenali.

Tak begitu lama, 30 menit kira-kira dari Desa Gubugklakah, chery hitam akhirnya tiba di Balai Desa Poncokusumo. Mengharuskan saya turun dan langsung bersua dengan warga. Terlihat Pak Choirul mengenalkan diri kembali. Choirul Anam (42 tahun) begitu nama lengkapnya. “Tapi panggil saja Pak Mbah,” pintanya setengah berkelakar, “Di sini banyak yang namanya Choirul Anam, jadi biar beda.”
Rupanya, Pak Mbah adalah salah seorang penggawa Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wisata Poncokusumo. Singkat ia menjembatani perkenalan saya dan juga rekan tim #EksplorDeswitaMalang kepada warga. Ia lantas memaparkan profil desa. Mengenalkan potensi desa wisata yang bisa dieksplorasi. Sekaligus menegaskan kepada kami, jika Desa Wisata Poncokusumo bukan sekadar pintasan menuju Bromo.
Singgahlah, Ada Homestay Layak Huni
Malam kian larut, lelah jelajah seharian di Desa Wisata Gubugklakah tak bisa ditutupi. Acara rembuk bersama warga pun akhirnya diakhiri. Dari balai desa, saya lantas diantar ke homestay. Sebagaimana di Desa Wisata Gubugklakah, rumah singgah di Desa Wisata Poncokusumo juga diberdayakan Pokdarwis.
Demi menggerakkan perekonomian desa berbasis wisata, warga yang punya hunian layak berpartisipasi menyediakan penginapan. Rumah singgah yang saya tempati cukup besar. Fasilitasnya juga memadai. Kasur tipe springbed dan water-heater shower bagi saya malah cukup mewah untuk sebuah kamar di pedesaan.

Namun, terlepas dari itu, satu yang saya sukai dari menginap di homestay desa wisata. Bukan hanya nuansa desa yang terasa. Kita juga bisa membaur langsung dengan penghuni rumah. Bercengkerama bak keluarga. Dijamu dengan kuliner pedesaan khas lokal. Semua bisa dinikmati di homestay Desa Wisata Poncokusumo dalam harga terjangkau, Rp150 ribu semalam, termasuk sarapan.
Daripada menginap jauh di pusat kota, lokasi yang dekat dengan Bromo dan Semeru menjadi alasan lain homestay di Desa Wisata Poncokusumo patut dipertimbangkan. Apalagi infrastruktur desa sudah tertata apik. Bukan hanya jalan beraspal mulus, minimarket seperti Indomart pun sudah bisa dijumpai. Inilah bukti jika Poncokusumo memang siap menjadi desa wisata. Singgahlah!
Pagi Hari, Waktunya Petik Apel
Nyenyak istirahat di homestay, keesokan paginya Pak Mbah menjemput saya untuk mulai mengeksplorasi pesona Desa Wisata Poncokusumo. Udara sejuk yang menyergah, membuat saya semangat berjelajah. “Kita ke kebun apel dulu, ya, mas,” pinta Pak Mbah.
Tanpa basa-basi, saya langsung mengiyakan. Pak Mbah menyilakan saya masuk sebuah mobil – yang sudah terparkir depan homestay. Familier. “Ini mobil yang kemarin, ya, pak?” tanya saya ke supir sembari memosisikan duduk yang nyaman dan menutup pintu depan. “Betul, mas,” jawab supir, riang.

Usai menjemput saya dari Gubugklakah semalam, rupanya chery hitam yang sama menjadi pengantar saya berkeliling desa. Sementara Pak Mbah memandu di depan dengan menggunakan motor menuju agrowisata petik apel. Destinasi pertama andalan Desa Wisata Poncokusumo.
Sebagai informasi, desa Poncokusumo dan Gubugklakah menjadi duo desa penghasil apel di kecamatan Poncokusumo, kabupaten Malang, selain kota Batu. Sesampainya di lokasi, Pak Mbah langsung menyilakan saya masuk ke kebun apel seluas lebih kurang ½ hektare.

“Pemiliknya bernama Pak Teguh,” terang Pak Mbah, “Beliau memang mengkhususkan kebun ini sebagai agrowisata.” Ia lantas menerangkan jika sistem budidayanya menggunakan okulasi. Tak heran, jika setiap pohon akhirnya bisa menumbuhkan beragam varietas buah apel.
Sebagian besar dari jenis Malus sylvestris dengan beberapa varietas seperti Manalagi atau Sweet M. Cart, Anna atau Red Fuji. Kemudian ada Rome Beauty yang ditandai dengan garis merah, hingga yang menyita perhatian Royal Red dengan warna merah seutuhnya. Semua buah ada dalam satu pohon apel dengan tinggi tak lebih dari dua meter.

Uniknya, agar pohon apel bisa berbuah, butuh digugurkan manual. “Ini karena pohon apel tidak bisa meranggas alami, karena di Indonesia tidak ada musim gugur,” sambung Pak Mbah. Dalam setahun pohon apel di sini bisa berbuah dua kali. “Sementara masa panen pertama pohon apel di sini rata-rata setelah berumur tiga tahun,” pungkasnya.
Tentu ini menjadi pelajaran berharga bagi saya. Bukan sekadar memetik dan memakan apel segar langsung sambil berteduh di bawah pohonnya, di agrowisata petik apel Desa Wisata Poncokusumo ilmu baru tentang budidaya apel juga bisa diserap. Boleh dibilang, beginilah rasanya traveling sambil belajar.
Nikmatnya Makan Jeruk Segar di Siang Hari
Matahari mulai tegak lurus di atas kepala. Siang di Desa Wisata Poncokusumo ternyata lumayan terik. Namun, Pak Mbah paham bagaimana menyiasati hal itu. Ia pandu chery hitam yang saya tumpangi berpindah dari kebun apel ke kebun jeruk.
Di kebun jeruk, Pak Mbah mengenalkan saya dengan Pak Kustanto (48 tahun). Ia merupakan pengelola salah satu kebun jeruk yang ada di Desa Wisata Poncokusumo. Banyak hal yang begitu menarik perhatian saya di tempat ini.

Salah satunya aktivitas yang sedang dilakukan ibu-ibu di kebun, yaitu mengecat pohon jeruk dengan larutan batu gamping. “Itu kami sebut sebagai pengapuran,” terang Pak Kustanto, “Tujuannya untuk menangkal hama lumut agar tidak menumbuhi batang pohon jeruk.”
Selain pengapuran, menggosok pohon dengan sabun cuci ‘Cap Kodok’ juga dilakukan untuk menghindarkan tanaman dari hama kutu. Terlihat pula perangkap serangga dipasang di beberapa pohon, tentu dengan tujuan sama, meminimalkan serangan hama serangga khususnya lalat buah (Drosophila melanogaster). Sebelum itu, duri pada pohon jeruk dihilangkan, sehingga aman bagi pekebun untuk melakukan perawatan.

“Dengan proses perawatan yang baik seperti ini, pohon jeruk bisa bertahan hingga 20 tahun,” ungkap Pak Kustanto. Ia lantas menjelaskan jika di kebun seluas dua hektare ini tumbuh sekitar 1000 pohon jeruk. “Proses panen pertama biasanya setelah pohon berumur dua setengah tahun,” sambungnya, “Setiap pohon bisa menghasilkan 30kg buah jeruk selama tiga bulan masa panen.”
Pohon jeruk baru berbunga kembali untuk pembuahan, sembilan bulan setelahnya. “Lalu, jenis jeruk apa saja yang ditanam di sini, pak?” tanya saya. Mayoritas ia jawab dari jenis ‘Keprok Siam’ (Citrus nobilis). “Jeruknya punya kulit tipis dan airnya banyak,” jelas Pak Kustanto sembari memetikkan satu buah jeruk dan meminta saya mencobanya.

Benar saja, rasanya sangat segar. Tidak begitu manis, juga tidak terlalu asam. Pas. Selain itu ada pula jeruk jenis ‘Keprok Batu 55’ (Citrus reticulata). Sesuai namanya, jeruk ini asli dari kota Batu. Ciri kulitnya berwarna kuning, lebih tebal dan punya rasa lebih manis.
Kualitasnya yang bagus menjadikan jeruk di kebun ini banyak dijadikan pasokan di supermarket, terutama di Yogyakarta dan Jakarta. Itulah alasannya wisatawan yang berlibur ke Desa Wisata Poncokusumo bisa dibilang begitu beruntung. Sebab, dapat merasakan segarnya jeruk petik langsung dari pohonnya.
Mengumbar Senyum di Kebun Krisan
Puas menikmati jeruk segar, chery hitam berlanjut mengantarkan saya ke destinasi berikutnya. Agroindustri lain yang juga andalan di Desa Wisata Poncokusumo. Lokasinya tak begitu jauh dari dua destinasi sebelumnya.
Setibanya di lokasi, Pak Mbah mengenalkan saya dengan Pak Misnan (65 tahun). Ia adalah pemilik ‘Kelompok Tani Kusuma’, sebuah agroindustri bunga krisan di Desa Wisata Poncokusumo.

Pak Misnan mengajak saya masuk ke dalam sebuah ‘bangunan’ berkerangkakan bambu dan berselimut plastik. Tak megah, tetapi sudah cukup syarat menjadi rumah kaca. Meski begitu, jangan salah, di balik kesederhanaannya, green house ini menyuguhkan hamparan krisan yang langsung bikin senyum merekah.
Beberapa lajur tanaman krisan tampak di depan mata. Menurut Pak Misnan, setiap lajur punya jeda dua minggu penanaman. Tujuannya agar bisa dilakukan pemanenan berkala. “Kalau total waktu yang diperlukan untuk budidaya bunga krisan, dari bibit sampai panen biasanya sekitar 14-16 minggu,” imbuhnya, ramah.

Lebih lanjut, Pak Misnan lantas menjelaskan proses pemanenan yang ternyata bukan sekadar dipetik bunganya, melainkan batang pohon dicabut sampai akarnya. Bunga krisan bisa bertahan sampai tiga minggu pasca dipanen asal cukup air penyimpanannya.
Dari jumlah bunga, krisan ternyata bisa dibedakan dua jenis. “Ada yang berbunga tunggal, ada yang berbunga banyak dalam satu tangkai,” jelas Pak Misnan. Di pasaran, jumlah bunga inilah yang menentukan harga per tangkai. “Kalau yang satu bunga harganya seribu (Rupiah), sementara yang banyak (bunganya) Rp900,- per tangkai.”

Tentu saja menyeruakkan sebuah pertanyaan. Namun Pak Misnan lebih dulu menjelaskan, “Yang satu bunga biasanya diameternya lebih besar dibandingkan yang banyak bunga.” Dari sini saya jadi tahu jika bisnis bunga krisan ternyata mempertimbangkan faktor seremeh ini. Lewat bisnis ini pula Pak Misnan mengaku bisa meraup Rp25 juta setiap tiga setengah bulan.
Selama pengamatan, ada banyak warna krisan yang saya jumpai. Namun, komoditas yang paling diminati pasar justru warna kuning dan putih. Krisan-krisan yang sudah dipanen biasanya dikirim ke kota Batu, Bandung juga Bali. Sementara untuk perawatan, Pak Misnan dibantu dua orang pegawai. Di antara tugas mereka menyirami tanaman krisan pagi dan sore.

Meski sering dijumpai di toko bunga, tetapi menyaksikan langsung hamparan bunga nasional Jepang ini tumbuh berlimpah, tentu jadi momen tak biasa. Betapa tidak, sekali berlibur ke Desa Wisata Poncokusumo indahnya bunga bernama lain seruni (Chrysanthemum indicum) ini bikin hati semringah tanpa perlu terbang dulu ke Negeri Sakura.
Berteduh di Bawah Gugus Pinus Ledok Ombo
“Habis ini kita ke mana lagi, pak?” Tanya saya ke supir chery hitam. “Kata Pak Mbah ke Ledok Ombo, mas.” Ledok ombo? Terka saya bakal ada arung jeram, susur sungai atau atraksi yang berkaitan dengan sungai lainnya, mengingat “ledok” sendiri bermakna sungai – dari asal kata bahasa Jawa.
Kebingunan makin bertambah, sebelum saya sempat bertanya, tetapi supir sudah menginstruksikan tanda, “Sudah sampai, mas.” Ledok Ombo ternyata sebuah camping ground di antara gugus pinus yang menjulang lurus.

Menurut Pak Mbah, luas ekosistem taiga berdaun jarum ini sekitar 12 hektare. “Kalau tiket masuknya Rp5 ribu per hari,” sambungnya. Selain dijadikan lokasi kamping, Ledok Ombo juga menjadi arena kegiatan downhill. Selain itu, sebagai objek wisata, fasilitasnya juga cukup lengkap. Mulai aula, musala, toilet, rumah pohon, hingga Pinus Café yang cukup diminati wisatawan.
Dari Pinus Café inilah sebuah aliran sungai tampak dari atas tebing. Ternyata itulah Ledok Ombo, atau sungai Ombo. Sebagai wanawisata, Ledok Ombo juga tak kalah dengan Hutan Pinus Mangunan. Ada beberapa spot yang menurut saya cukup instagram-able, sehingga wajar jika memikat wisatawan muda-mudi.

Kehadiran Ledok Ombo ini pun menjadi pungkasan bukti jika Desa Wisata Poncokusumo bukan sekadar menawarkan wisata berbasis agronomi. Lebih dari itu, Desa Wisata Poncokusumo benar-benar siap menampakkan diri sebagai destinasi wisata unggulan, sekaligus pembuktian agar tidak dikira sekadar pintasan menuju Bromo.
Tambahan: untuk keperluan reservasi homestay maupun informasi wisata di Desa Wisata Poncokusumo Kabupaten Malang bisa menghubungi langsung Pak Choirul Anam atau Pak Mbah: 085105025770.
Yang aku suka adalah saat ke kebun apel dan jeruk, rasanya kayak sekolah tapi itu langsung ke narasumber yang emang sudah paham betul seluk beluknya,
Mungkin pengemasan kegiatan ekskursi harusnya seperti ini ya…
Harusnya ada agenda buat camp di Ledok Ombo ya..ahahaha
Eh itu homestay yang itu ya……
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah ekskursi sekeren ini dijamin sekolah formal gulung tikar. 😂
Harusnya, tapi sayang waktunya mepet.
Hooh, homestay bu suri, haha, mau aku kenalin astralnya biar hits. 😎
SukaSuka
Jangan dikenalin, nanti kamu kalah hits….ekwkwk
SukaDisukai oleh 1 orang
Bahaha, aku wes ngedraft tulisan astral behind #EksplorDeswitaMalang, tapi belakangan aja publikasinya, nanti aku kena perkusi, eh, persekusi. 😂
SukaSuka
hayooo ada cerita astral apa ini tom? ceritain dong
aku seneng dengerin cerita cerita model gini
SukaDisukai oleh 1 orang
Ssst, tunggu tanggal tayangnya, ya. 😀
SukaSuka
itu mas Ghozaliq sama Halim, lagi bisik-bisik dan ngetawain apa ya? sekarang ini wisata petik buah juga mulai marak di sekitar kabupaten Banjarnegara walau masih terbatas jambu air, biji dan buah strawberry saja
SukaDisukai oleh 1 orang
Biasa tukang gosip. 🙄
Huum, gak papa daripada wisata yang kayak Tornado, bianglala, roller coaster, mending yang alami kayak petik makan buah gitu, sudah sehat pinter kenyang pula, hahaha.
Ah, Banjarnegara, tunggu aku!
Terus kamu kapan ke Malang bos? 😎
SukaSuka
Oh gitu….asline bnyk kisah unik ya saat rame2 jln brg…alias dibuang sayang dr sebuah postingan blog
SukaDisukai oleh 1 orang
Belum, nanti yang unik² itu masuk postingan sendiri, biar gak ngerusak informasi yang barangkali berguna bagi hamba Allah.
SukaDisukai oleh 1 orang
😂😂😂
SukaSuka
Aku ra ngapa-ngapa lho ya….
Mung lagi diskusi baen mengenai efek tax amnesty terhadap potensi penerimaan negara. Hahahaa
Sebelah ndi ya Banjarnegara ana petik buahe ya? Uwis suwe ora balik Mbanjar kieh, Lebaran tahun iki juga ora mudik Mbanjar…
SukaSuka
Perbtsan sih…nang karangcengis bokateja ya cepak rakit lah 😁
SukaSuka
komen lagi, hasil jepretannya selalu bening-bening dan aku suka : )
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahaha, sebening cintaku padanya, halah.
SukaSuka
Oke lirik lagu ….. 😂
SukaSuka
Ra ngerti sih, setiap jepret itu selalu nutupin kameranya orang lain….wkakwwkwk
SukaDisukai oleh 1 orang
Lho justru itu rahasia kebeningannya, hahaha
SukaSuka
Wewww moso sih? 😂😂
SukaSuka
Oh mas, kamu masi sempat mengabadikan rumah itu 😭.
Paling terkesan pas ke Poncokusumo adalah main di Ledok Ombonya, karena lahannya luas, jadi belum ke sentuh semua 😭
SukaDisukai oleh 1 orang
Ko Halim yang sempet, ia sempet ngobrol pula bareng bu Suri. 😁
SukaSuka
Yg plg kuingat dr desa ini. Keripiknya Pak Mbah enakkkk….😂😂😂 *dikeplak
SukaDisukai oleh 1 orang
Pikiranmu selain libur mulu, makan mulu terus, kak. 😑
SukaSuka
Makan jeruk saat siang yang terik, segaaaar. Sebenernya mau mbungkus bawa pulang hahaha
SukaDisukai oleh 1 orang
Tapi, gak boleh, hahaha
SukaSuka
Uniknya pas di Poncokusumo itu kayak di kota. Jalannya besar dan luas. Hahahhahahha
SukaDisukai oleh 1 orang
Lha itu, kayak negara sendiri. Tapi, itu bukti desa ini memang siap menyambut wisatawan.
SukaSuka
Ternyata pengusiran hama pohon jeruk ataupun apel masih alami. Dari mulai dari batu kapur sampai digosok pakai sabun 🙂
Aku termasuk yang jika makan apel kulitnya jarang dikupas… Kalau misal kebanyakan disemprot pestisida kan bukannya sehatt tapii malah nganuu 😦
Iya setuju, fotonya bening-bening kaya membawa pembaca ke lokasi langsung, melihat langsung 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Nganu opo mbak? 😁
Kulit apel kaya flavonoid, antioksidan dan zat gizi lainnya, sayang kalau gak dimakan. Manfaatnya juga besar bagi kesehatan. Tapi tetap cuci dulu ya, jangan langsung geragas, hahaha.
Sebening hatiku, ya, eaaa.
SukaSuka
Sueneng yaaa, aku cuma lewat aja sih memang klo ke sini kalo mau ke Bromo. Tapi hawanya uadem, suka di sini.
SukaDisukai oleh 1 orang
Gih bikin rumah di sana, terus buka homestay 😁
SukaSuka
Will do, Tom! Cariin cukong dulu hahahha
SukaDisukai oleh 1 orang
Kalau cupang banyak di splendid 😅
Eh, blog baru buat diisi apa nih?
SukaSuka
Aku mau ke sini 😤😤😤😤😤😤
SukaDisukai oleh 1 orang
Main main main main, jangan di rumah aja. 😏
SukaSuka
Serius 150 rb? Kok lumayan murah ternyata.
Bisa diagendakan kalo ke bromo mampir kesini 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Yaktul, mampirlah, biar gak capek di jalan, tapi juga dapat banyak kesan dan pengalaman liburan. 🙂
SukaSuka
Seru banget perjalanannya, bisa menikmati makan buah apel, jeruk langsung dipetik dari pohon. Dari artikel ini jadi baru tahu tentang potensi wisata Poncokusumo sebab sebelumnya yang saya tahu dulunya desa ini sebagai titik awal pendakian Gunung Semeru sebelum dibukanya Desa Ranu Pani
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul, dulu memang hanya sempat dijadikan pendakian awal gunung Semeru, tapi perlahan masyarakat sadar jika ada potensi meningkatkan perekonomian warga, jadilah digagas sebuah desa wisata oleh warga dengan memanfaatkan potensi wisata yang ada.
Mampir lagi ke sini, bang, pas mau ke Semeru atau Bromo.
SukaSuka
Ide perangkap lalatnya boleh juga ya itu. Dan aku baru tahu kalau di sana juga ada jeruk *lha iyalah ya hehe, kukira dominasinya apel aja.
SukaDisukai oleh 1 orang
Ada kok, Om, Jeruk Keprok yang banyak di Supermarket itu asli Malang Raya kok. 😀
SukaSuka
Aku bukan penikmat jeruk *eh
Jadi kurang perhatian sama jeruk. hihi.
SukaDisukai oleh 1 orang
ku kira rumah pohon itu gak ada tembusannya, wkwkkwkw ngakak jebule ada pintu di atas wkkwk
SukaDisukai oleh 1 orang
Eh, mbak Maria, apa kabar? Iya, ada pintunya. Yang di pohon itu penunggunya.
SukaSuka
Foto kamar homestay gak ada ya mas
SukaDisukai oleh 1 orang
Gak sempat motret, mas, itulah sayangnya 😥
SukaSuka
Sekarang poncokusumo maju banget ya mas, jadi pengen main-main kesana lagi. Dulu sering kesana nganter adek ke pondok atau kalo pas lewat doang mau ke bromo hehe…
Kayaknya emang kudu syukur jadi orang malang, buat nyari seger-segeran kalo males ke batu bisa nyobain sisi lainnya ini hehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Pondok? Owh, yang di Gubugklakah itu ya?
Betul, bersyukur banget jadi orang Malang, gak perlu jauh-jauh apalagi sampai keluar kota hanya sekadar cari kesejukan. 🙂
SukaSuka
Jahat sekali diriku, selama ini Poncokusumo cuma sekadar pintasan, cuma sekadar lewat saja 😦
Kudu dicoba khusus berwisata di sana 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
kamu memang jahat, mas!
SukaSuka
pesona di malang poncokusumo emang bagus kok, banyak yang bisa kita jadikan tempat beristirahat dan mencari suasana hiburan baru ….
Salam Arema ..
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah, pernah jelajah poncokusumo nih?
Cakep! Salam satu jiwa. 😀
SukaSuka
Foto bunganya bagus bener, keliatan cerah banget dan detail bunganya nampak abis… Kelas wallpaper windows banget
SukaDisukai oleh 1 orang
Heee, terima kasih, yuk langsung main ke Desa Wisata Poncokusumo. 😀
SukaSuka
Arghh..foto2 closed up object e *iri
SukaSuka
Wah tempatnya keren sekali. Sepertinya pemerintah setempat juga mengelola desa wisata mereka dengan baik. Pengen deh kesana.
SukaDisukai oleh 1 orang