Gubugklakah dalam Sehari, Apa yang Bisa Dinikmati?


wp-image-265188331jpg.jpg

Malam telah berlalu, matahari perlahan beringsut keluar dari peraduannya. Menerangi perlahan Gubugklakah. Membangunkan kami, setelah semalam mendengarkan cerita menarik Pak Anshori, pemilik homestay di sini.

“Pagi mas, bagaimana tidurnya?” tanya Zaka. Ia merupakan anak sulung Pak Anshori. Tubuhnya yang tegap berisi, seakan menjadi bukti dirinya memang pekerja lapang sejati.

Sepanjang hari Zaka akan menemani saya dan kawan-kawan menjelajahi Gubugklakah. Menikmati pesonanya. Mengenal beragam potensinya, sambil sesekali memberikan solusi, masukan, atau bahkan kritik demi kemajuan Desa Wisata Gubugklakah (DWG) pada warga yang bertanya. Benar, kami memang diundang untuk itu, tergabung dalam kegiatan bertajuk #EksplorDeswitaMalang.

[baca juga: Sebelum Pagi Menjelma di Gubugklakah]

“Nyenyak, mas. Pagi ini kita ke mana dulu?” tanya saya. Dengan ramah, ia menjelaskan akan mengajak ke agroindustri sentra pemerahan sapi. “Nusa Pelangi,” begitu ia menjawab.

Sentra Pemerahan Sapi “Nusa Pelangi”

Sekitar lima ratus meter dari rumah singgah Pak Anshori, berdiri sebuah Agroindustri. Di depannya, berdiri sebuah patung sapi. Boleh dibilang itulah ikon Nusa Pelangi, nama sentra pemerahan sapi di Gubugklakah. Tak besar, tetapi di sinilah susu segar di kecamatan Poncokusumo berasal.

“Di sini wisatawan tak hanya bisa melihat sapi,” terang Zaka, “Tapi, juga bisa ikut memerah susu, memberi makan ternak. Kami menyediakan paket wisata edukasi.”

WhatsApp Image 2017-05-02 at 16.55.19 (7)
Sebelum diperah, pemerah akan terlebih dulu memandikan sapi. Salah satunya untuk mempermudah proses pemerahan susu [Foto: Iwan Tantomi]

Zaka melanjutkan jika wisata edukasi di Nusa Pelangi mencakup proses pengolahan pakan ternak, termasuk pemintalan jagung, memerah susu, hingga pengolahan susu menjadi beragam sajian, seperti keripik dan yoghurt. Sebagai seorang pemandu wisata wawasannya terbilang luas, termasuk karakteristik sapi itu sendiri.

“Sapi kalau tidak diperah susunya, akan sakit,” tuturnya. Dalam sehari, sapi-sapi di Gubugklakah diperas dua kali. Sore dan pagi. Sekali peras 5 liter susu bisa terpenuhi. Menurutnya, masa produksi sapi perah dari usia 3-8 tahun. Namun, tak sedikit sapi yang berusia setahun mampu hasilkan susu.

WhatsApp Image 2017-05-02 at 17.18.52
Sekalipun terlihat mudah, kenyataannya memerah susu perlu keuletan dan kesabaran [Foto: Iwan Tantomi]

Demi hal itu, sapi pun harus dikembangbiakkan dengan cara inseminasi buatan. Jika sapi jantan yang lahir, maka akan dijual atau dijadikan pedaging. Sementara, jika terlahir betina, akan dijadikan regenerasi sapi perah berikutnya. “Kasihan mereka, diperah terus susunya, tapi tak pernah dikawinin,” kelakar Zaka.

Tak jauh dari kandang sapi perah, ada kandang khusus untuk pedet. Di situ, Silvi (silviananoerita.com), blogger asal Kediri dalam rombongan kami, terlihat asyik bermain dengan Fhugi Kartini. Anak sapi berusia sekitar 5 bulan tersebut memang terlihat menggemaskan. Tak ayal tingkahnya yang lucu, mampu menarik perhatian setiap wisatawan, termasuk kami.

“Habis ini kita ke Coban Pelangi,” ucap Pak Anshori yang juga sedari tadi ikut bergabung bersama kami.

Coban Pelangi

“Gubugklakah ini punya pesona wisata yang komplit,” ungkap Pak Anshori. Kali ini ia bergabung dalam satu jeep bersama kami. “Coban pelangi ini adalah salah satunya. Lokasinya sebenarnya di Desa Ngadas, tetapi warga dari dua desa sepakat mengelola bersama,” imbuhnya.

Sekitar 4km berkendara dari Gubugklakah, jeep merah akhirnya tiba di gapura awal Coban Pelangi. Tertera tegas tulisan harga tiket masuk, Rp8 ribu untuk wisatawan lokal, serta Rp15 ribu untuk turis internasional. Coban Pelangi dikelola Perhutani. Lokasinya juga masuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), wajar jika statusnya sebagai daerah konservasi.

WhatsApp Image 2017-05-02 at 16.55.19 (6)
Jembatan bambu, ikon Coban Pelangi. Bersama mereka, kami menikmati indahnya Gubugklakah dalam sehari [Foto: Hannif Andy | insanwisata.com]

“Kenapa dinamakan Coban Pelangi,” Aji (lagilibur.com), blogger asal Boyolali, bertanya saat kami trekking bersama. Saya lantas menerangkan, setahu yang saya mampu, cahaya matahari kerap terbiaskan oleh percikan air dari air terjun setinggi 110 meter ini. Biasan cahaya itulah yang lantas membentuk beberapa spektrum cahaya warna-warni serupa pelangi. Itulah kenapa dinamakan Coban Pelangi. “Bukan begitu, mas Zaka?”

“Betul sekali, pelangi itu akan muncul biasanya dari jam 10 pagi hingga 2 siang,” timpalnya. Sekitar 15 menit menyusuri tebing dan perbukitan, sebuah jembatan bambu melintang di atas sungai. Kami sempatkan foto bersama. Terlihat Alid (alidabdul.com), blogger asal Jombang, paling antusias menikmatinya.

WhatsApp Image 2017-05-02 at 16.55.19 (1)
Coban Pelangi menjadi salah satu spot terbaik di Gubugklakah untuk berpose diri, seperti ini. [Foto: Iwan Tantomi]

Dari sana, gemuruh air terjun kian lantang terdengar. Seakan tak mau ketinggalan momen, kami pun berhamburan. Membidik angle lewat view finder, mencari posisi demi foto terbaik, atau sekadar berswafoto bersama demi abadikan momen berharga. “Ayo, selfie dulu,” ajak Hanif (insanwisata.com) lewat action camera miliknya.

Di lain tempat, mas Ghozali (ghozaliq.com), blogger asal Semarang dan mas Sitam (nasirullahsitam.com) memilih langsung terjun ke sungai. Mengambil foto ala mereka. Slow-speed adalah salah satunya. Saya sempat belajar langsung ke mereka. Butuh kesabaran, tapi hasilnya memang memuaskan.

Lewat Coban Pelangi, siapa pun bakal tergugah jika pesona alam Desa Wisata Gubugklakah memang indah. Lantas, Zaka berujar, “Basah-basah nanti saja, mas, sekarang motret-motret dulu.”

Tubing di Ledok Amprong, itu, ya?” balas saya. Sambil tersenyum, Zaka hanya menyorongkan jempolnya, penanda jawaban saya benar adanya.

River Tubing di Ledok Amprong

“Orang tahunya Ledok Amprong saja, mas. Kalau Gubugklakah hampir sedikit yang tahu,” cerita Zaka.

Di Malang, nama Ledok Amprong memang belakangan tenar, berkat media sosial salah satunya. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wisata Gubugklakah (DWG) memberdayakan Ledok Amprong untuk aktivitas susur sungai (river tubing) dan juga arung jeram (rafting).

Secara harfiah “ledok” bermakna “cekungan” dari asal kata bahasa Jawa. “Kalau Amprong itu nama sungai di sini, sejak dulu,” tutur Pak Anshori. Hampir saban waktu, wisatawan hilir mudik berdatangan, walau sekadar ke sungai untuk seru-seruan. Berteriak selantang yang mereka bisa, sebatas mengusir kejenuhan pun melipur lara.

WhatsApp Image 2017-05-02 at 17.43.37
Sebelum memulai river tubbing, peserta wajib mengikuti briefing dan tentunya berdoa. [Foto: Iwan Tantomi]

Beruntung, kami diberi kesempatan mencoba river tubing. Di Ledok Amprong Adventure, wisatawan diberikan pilihan susur sungai sesuai jarak. Paling pendek 750 meter (Rp75 ribu per pax). “Paling panjang sekitar 1,5km (Rp135 ribu per pax),” terang Zaka.

Sebagaimana olahraga ekstrem pada umumnya, pengamanan standar diberlakukan oleh pemandu wisata di Ledok Amprong Adventure. Helm dan life jacket wajib dikenakan.

Arahan  dijelaskan instruktur, gamblang. “Nanti tak usah panik. Sandarkan badan pada ban. Posisikan tangan di paha. Kaki arahkan lurus ke depan. Usahakan badan nyaman. Kalau merasa ada batu di bawah ban, angkat sedikit pantatnya, biar ban tetap jalan, mengikuti aliran. Beberapa tim rescue tersebar di titik-titik rawan. Jadi, tak usah khawatir. Nikmati saja. Paham?” jelasnya, tegas.

Kompak kami mengiyakan, karena sedari awal memang sudah tak sabar basah-basahan. Tubing pun dimulai. Arusnya lumayan deras. Cukup menguji adrenalin dibandingkan susur sungai di Goa Pindul. Sesekali saya terjebak batu, tetapi berhasil mengalir kembali usai dibantu tim rescue.

WhatsApp Image 2017-05-02 at 17.37.49
Selain rafting, Ledok Amprong menjadi surga river tubbing di Gubugklakah [Foto: Ghozali | ghozaliq.com]

Namun, satu momen yang tak terlupakan. Saat ban menabrak batu, membuat saya terbalik seketika itu. Arus bawah yang deras, rasanya menghunjam kepala. Sejenak saya membuka mata. Melihat keruhnya sungai dan bebatuan, seraya menahan napas dalam-dalam. Rasanya, waktu seolah memelan.

Beruntung, kaki dan tangan menemukan pijakan. “Jangan panik,” sebuah teriakan samar terdengar. Tak selang lama, sebuah tangan tiba-tiba merangkul tubuh saya dari belakang. Menarik kuat, memberikan kesempatan bagi saya kembali menghirup udara. Sempat kami gontai diterjang arus kembali, tapi pengalaman penyelamatan oleh tim rescue yang mumpuni, membuat saya tak terjerembab di bawah sungai dua kali.

Dari pengalaman ini, saya baru percaya, jika tim rescue di Ledok Amprong Adventure benar-benar terlatih. Membuat saya tak sangsi, untuk menjadikan river tubing di sini sebagai rekomendasi. Cobalah!

Masih Ada Yang Lain

“Bagaimana, mas, tubing-nya?” tanya Zaka sembari menghampiri saya yang tampak basah kuyup. “Seru, mas! Salut buat tim recue-nya, profesional,” jawab saya, sambil menggigil kedinginan.

“Setelah ini, lanjut sekalian ke kebun apel, ya?” pintanya. Dalam hati saya mengelak, karena ingin segera beralih pakaian, sayang tak bawa baju ganti. Namun, demi alasan efisiensi, kami akhirnya sepakat langsung ke Agrowisata Petik Apel di Gubugklakah. “Sekalian, sejalur, agar tidak wira-wiri,” pungkas pemilik nama lengkap Zakaria tersebut.

Sekalipun bernama “wisata petik”, bukan artinya wisatawan bisa memetik sembarangan. Ada aturan. “Pohonnya harus berusia minimal 5 bulan, baru bisa dipanen,” ungkap Zaka. Memetiknya pun juga tak boleh asal. Melainkan memutar salah satu buah apel yang diinginkan sampai lepas dari rantingnya. “Biar apel yang lain nggak ikut berjatuhan, mas,” imbuh Zaka.

Wisatawan bebas memakan langsung apel segar, atau memetiknya sendiri untuk dibawa pulang. [Foto: Iwan Tantomi]

Sementara untuk jenis apel, Zaka mengungkapkan bila mayoritas dari varietas manalagi. “Per kilonya Rp15 ribu sampai Rp20 ribu,” terangnya. Kendati ukurannya tak sebesar apel Australia, tetapi rasanya tak kalah manis dan segar dibandingkan Apel Fuji. Sebagai informasi, apel Manalagi sudah lama menjadi apel varietas endemik di wilayah Malang Raya.

“Habis ini, kita ke mana, mas?” tanya saya. Zaka lantas mengajak saya ke Gunung Sari Sunset (GSS), dengan kondisi sama, kuyup dan kedinginan.

Seperti namanya, tempat ini digadang jadi spot menikmati matahari terbenam andalan di DWG. Sayang, kabut tebal menyelimuti perbukitan sekitar, sore itu. Namun kami tak langsung kecewa, karena GSS dikonsep apik dan tertata. Beberapa spot instagram-able terlihat berderet di sana. Wajar jika wisatawan belia begitu menggandrunginya.

Sebagai pelipur lara, dihadirkan Tari Klono oleh pengelola. Tak banyak yang bisa saya tanyakan, mengingat waktu yang kian mendekati malam. Saya hanya menikmati pertunjukan. Seorang penari pria bertopeng dengan gerakan tegas mengunjuk kebolehan di depan kami.

WhatsApp Image 2017-05-02 at 16.55.19 (3)
Pertunjukan Tari Klono bisa dinikmati di Desa Wisata Gubugklakah. Tari Klono punya kemiripan dengan Tari Topeng khas Malang. [Foto: Iwan Tantomi]

Gerakannya yang lugas, sepintas mengingatkan saya pada Tari Topeng Malangan. Dugaan saya pun benar. Tari Klono ternyata memang masih sealiran dengan Tari Topeng khas Malang. Di pendopo GSS, Tari Klono kerap ditampilkan. Kadang tunggal, kadang pula kolosal. Tergantung permintaan.

Sekitar 30 menit berlalu, gerakan Tari Klono perlahan memelan, menyudahi peragaannya. Menandai pungkasnya agenda panjang kami, menikmati Gubugklakah dalam sehari. Apiknya pengelolaan dan fasilitas, terutama transportasi yang memadai, membuat beberapa destinasi yang berjauhan di DWG tak sampai menimbulkan masalah berarti.

Sejatinya, apa yang kami rasakan di Gubugklakah juga bisa kalian jajal sendiri dengan langsung memesan paket jelajah DWG ke Pak Anshori (087859478177). Atau, bisa pula melihat daftar paketnya di sini. Jadi, tak perlu gamang jika hendak main ke sini.

Selepas dari GSS, jeep merah pengantar kami akhirnya tiba di rumah singgah kembali. Dari teras atas homestay milik Pak Anshori, ternyata mentari lebih kentara sosoknya. Menyiratkan guratan halus senja, sembari perlahan beringsut ke singgasananya. Meninggalkan pesan untuk kalian semua, “Kapan mau main ke Gubugklakah?”

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

49 tanggapan untuk “Gubugklakah dalam Sehari, Apa yang Bisa Dinikmati?”

  1. Yang belum pernah itu tari klono dan gunung sari sunset. Selainnya sudah pernah ding, beberapa yang berbau sungai kalau sudah hujan pasti ga bisa diakses kalau disana. Jadi kalau mau berkunjung baiknya ga musim penghujan sih.

    Oh ya, Mohon penjelasan tari klono dan gunung sari senja itu, eh apa ada post lain setelah ini ya? 😀

    Disukai oleh 1 orang

    1. Hoiyo, mas. Aku merasakannya dekat, apa karena aku suka jalan itu, ya. Tapi setelah kutanyakan ke yang lain, lebih setuju pendapatmu mas. Jadi, sudah aku revisi, biar lebih seragam. 😅

      Suka

      1. Kasihan pula, tapi kata pemerahnya, produksinya memang berlebih, jadi nggak habis kalau hanya disusu pedet aja. Karena sapi² perah memang hasil pembiakan buatan, dan memang dikloning agar air susunya lebih banyak.

        Boleh dibilang mereka Android, Sapi Android. 😅

        Suka

      2. ooo kirain itu sapi macam indukan sapi pada umumnya, ternyata ada sapi khusus yang bisa menghasilkan banyak air susu toh, syukurlah, si anakannya ga kekurangan susu walau ia tak tahu mana susu dari induknya sendiri

        Disukai oleh 1 orang

  2. Pas ke Coban Pelangi aku lari duluan, niatnya pengen main air di sana. Sekali nempel air kok dingin banget hahahahhahah.

    Asyik sih bisa latihan motret di Coban Pelangi, bisa makan apel sepuasnya (jujur banget), main air dan sempatterlepas pelampungku, dan apa lagi ya? Yang jelas aku kangen suasana santri di sana.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Setekah basah-basahan dan naik 4WD dengan medan setengah off-road, Tari Klono itu penutup yang keren banget. Jarang-jarang bisa lihat tari yang masih melestarikan Topeng Malangan. Masih penasaran dengam rafting di Gubugklakah. Next time temani ke sana ya, Tom. 🙂

    Disukai oleh 1 orang

  4. Kalau salak pondoh di daerah turi, sleman, diy, setelah bibitnya dijual sampai ke luar pulau malah sekarang harganya jadi berantakan. Paliing murah bisa jadi 2ribu per kg.
    Salak pondoh tidak lagi hanya bisa didapatkan di turi, sleman.

    Tapi kalau apel malang tak bisa begitu mas? ga bisa tumbuh ya kalau misal ada yang beli bibitnya terus ditanam di luar malang?
    Tulisanmu menarik ituu, aku jadi pingin tau kan :p

    Gubugklakah paket lengkap 🙂

    Disukai oleh 1 orang

    1. Kamu mau tanam apel Malang di Jogja mbak? 😂

      Apel Malang endemik di Malang. Pernah tahu ada yang coba membawa bibitnya dan ditanam di luar Malang, jatuhnya memang bibit tak bisa tumbuh sampai dewasa. Apalagi jika iklimnya tak sesejuk Malang.

      Andai bisa biasanya belum tentu berbuah. Itulah sebabnya di Kebun Raya Bogor nyaris nggak ada pohon apel Malang.

      Suka

  5. klo ke sini mesti habis pulang dari bromo
    jadinya ngantuk terus bubuk di perjalanan
    padahal dengar cerita ini tempat bagus banget, jadi harus nawaitu ingsun dolen sedino

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.