Historia Porong: Reinkarnasi Sebuah Kawasan Industri


1
Potret bekas kawasan industri Porong dari atas tanggul [Foto: Metrotvnews.com]

Tenggelam akibat bencana, menjelma sebagai wisata alam bersejarah

Sepuluh tahun yang lalu kampung halaman saya bisa jadi belum dikenal banyak orang. Bahkan kabupaten tempat saya dilahirkan mungkin juga tidak ada yang tahu. Porong, itulah nama kampung halaman saya. Daerah yang berada di kabupaten Sidoarjo ini memang luasnya tidak seberapa. Jangankan Porong, Sidoarjo sendiri merupakan sebuah kawasan kecil, bahkan dianggap sebagai kabupaten terkecil di Jawa Timur.

Sebagai salah satu kawasan industri Jawa Timur, hampir sebagian besar daerah di Sidoarjo memfokuskan sektor perekonomiannya pada pembangunan industri. Tidak terkecuali Porong. Sudah sejak lama, Porong menjadi jujukan investor. Mulai industri kerupuk, makanan olahan, pemerahan susu, jam tangan, hingga kilang minyak. Seolah menjadi surga industri, beragam perusahaan berlomba-lomba membangun ‘wahana’ pendongkrak ekonomi masyarakat sekitar, seperti pabrik.

Sejauh mata memandang, jalan yang lurus hanya dihiasi pabrik yang berada di bagian kiri dan kanan. Lama hidup di tempat seperti ini, saya pun akhirnya bisa beradaptasi. Jalanan yang lurus seolah penuh sesak dengan buruh pabrik saat berangkat dan pulang di sore hari. Letak sekolah SMP yang kebetulan di kawasan industri, membuat saya terbiasa berbagi jalan bersama dengan para buruh pabrik ketika berangkat di pagi hari.

Beragam candaan kadang terdengar dari celotehan ibu-ibu pekerja pabrik sambil mengayuh sepeda ontel di jalan. Berbagi cerita sembari menikmati sungai besar dan beberapa lahan sawah yang masih tersisa khas panorama pedesaan. Saya pun cukup menikmati hari-hari selama menjadi siswa SMPN 2 Porong.

Satu pesawat Casa NC 212 milik Skuadron Udara 600 Wing Udara 1 Puspenerbal, melintas di atas pusat semburan lumpur panas Lapindo Sidoarjo, Rabu (26/11)
Sebelum terendam lumpur, dulunya daerah ini merupakan kawasan industri Porong [Foto: Antara via Okezone.com]

Jauh sebelum pabrik-pabrik berdiri, sekolah tempat saya belajar sebenarnya sudah lebih dulu dibangun. Menurut penjaga sekolah, dulu kiri-kanannya masih berupa sawah. Barulah satu per satu perusahaan mendirikan bangunannya. Karena dianggap masih cukup kondusif untuk kegiatan belajar-mengajar, pihak sekolah tidak merencanakan berpindah bangunan. Itulah asal-muasal sekolah tempat saya belajar berada di kawasan industri.

Seperti kebanyakan kawasan industri, tidak ada pemandangan menarik yang dapat dinikmati. Untungnya, mayoritas perusahaan yang ada di Porong masih memperhatikan kehijauan. Pohon-pohon besar dibiarkan menghiasi jalanan. Lingkungan pabrik juga banyak dihiasi dengan taman yang rimbun. Kesan kawasan industri yang padat, panas, bising dan berdebu pun akhirnya tidak begitu tampak di Porong.

Meski bagi saya hidup di kawasan seperti ini menyenangkan, tapi tetap saja tidak akan menarik minat wisatawan. Andai digerakkan wisata industri layaknya di Jepang, mungkin hanya segelintir perusahaan yang setuju. Lagi pula, mana ada perusahaan di Indonesia yang mau dengan gamblang menunjukkan detail proses produksinya kepada masyarakat umum. Adanya, perusahaan banyak yang khawatir kesalahan produksinya terlihat, hingga berdampak pada menurunnya penjualan hasil produksi.

Padahal jika dipikir mendalam, wisata industri sebenarnya bisa dijadikan sarana mengenalkan kualitas produk suatu perusahaan, sumber daya yang mumpuni dan juga evaluasi bagi semua pemangkunya agar selalu teliti dan tidak teledor dalam bekerja. Dampak positifnya, bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat selaku konsumen usai berkunjung. Namun, ini Indonesia bukan Jepang. Apalagi, di masa itu ponsel pintar saja belum begitu gandrung di Porong, Sidoarjo bahkan Indonesia.

2
Lumpur yang mengering dan surut, menampakkan bekas bangunan yang sempat tenggelam [Foto: Asian News]

Sementara, pertumbuhan industri di Porong semakin pesat, hingga pada tahun 2006 industri mineral mulai serius digarap di kawasan ini. Industri mineral dioperasikan oleh tiga perusahaan gabungan, yaitu PT Lapindo Brantas, Santos dan Medco Energi. Mayoritas masyarakat cukup menyambut baik. Hadirnya perusahaan besar dapat membawa angin segar untuk kemajuan ekonomi masyarakat di masa yang akan datang. Sementara saya hanya bisa takjub melihat sorotan lampu kilang minyak di malam hari. Bahkan, harapan saya sudah jauh ke depan, membayangkan gemerlap kilang minyak di Porong bakal seperti kota-kota minyak di Timur Tengah. Sebuah potensi wisata menarik jika bisa dikembangkan dengan baik.

Kenyataan pahit justru akhirnya membuat pupus mimpi dan harapan saya tentang Porong di masa depan. Bukannya berjalan lancar, masih di tahun yang sama, perusahaan pengeboran minyak justru membuat kesalahan. Kilang yang sejatinya dibuat untuk menghisap minyak, gagal beroperasi maksimal. Sebaliknya, luapan lumpur bertekanan tinggi justru muncrat dan menyebabkan genangan di sekitar pengeboran.

Awalnya warga menyangka itu adalah hal biasa dan lumpur bisa cepat mengering karena sedang berlangsung musim kemarau. Guncangan gempa Jogja dengan 6.4 skala Richter pada tanggal 27 Mei 2006 ternyata justru membuat semburan semakin besar. Memasuki tanggal 29 Mei semburan lumpur semakin menjadi-jadi dan meluber ke jalan raya. Bukan hanya perusahaan di kiri-kanan, buruh dan siswa kelas tiga – termasuk saya, yang waktu itu melaksanakan ujian nasional SMP mulai dilanda kekhawatiran.

Perlahan tapi pasti, lumpur mulai merendam wilayah di sekitarnya. Mulanya warga sekitar masih belum percaya atau tidak menganggap hal tersebut adalah sebuah bencana. Namun, ketika tidak ada kejelasan penanganan, masyarakat kecil hanya pasrah. Lumpur mulai meluber ke permukiman, bahkan meluas ke jalan tol yang melintasi kawasan industri ini. Secara bertahap warga diungsikan. Pabrik dan rumah-rumah warga mulai tampak kosong. Seketika kawasan industri Porong berubah menjadi ‘Kota Mati’. Tak ada keceriaan, selain wajah sendu sebagian warga yang ‘masih’ berusaha menyelamatkan harta bendanya.

Puncak kekelaman terjadi saat akhirnya kawasan industri Porong diputuskan untuk ‘ditenggelamkan’. Ketidaksanggupan menghentikan semburan lumpur, membuat pihak yang merasa bertanggungjawab memutuskan untuk membangun tanggul-tanggul raksasa. Menunggu luberan lumpur secara perlahan merendam hingga menenggelamkan semuanya. Sekolah satu-satunya yang berada di kawasan industri juga tak luput terendam, hingga mentasbihkan saya sebagai salah satu lulusan terakhirnya.

3.jpg
Patung instalasi, simbol 10 tahun korban bencana lumpur sekaligus ikon wisata lumpur [Foto: Geotimes]

Bak ‘Atlantis’, kini saya hanya bisa melihat puing-puing bangunan sisa gemerlap kawasan industi Porong dari atas tanggul. Saat lumpur mengendap, tanggul akan tampak seperti waduk raksasa yang berisi air jernih. Biasan sinar matahari menampakkan bangunan yang tenggelam di dasar lumpur. Walau tidak begitu jelas, dari atas tanggul saya bisa mengenali puing bangunan tinggi berjajar. Di depan sebuah garis lurus terdapat kompleks bangunan dengan puing yang lebih rendah. Itulah ‘bekas’ sekolah, pabrik-pabrik dan jalan raya lurus di kawasan industri Porong.

Sepuluh tahun berlalu, masih terbayang berangkat ke sekolah bersama-sama para buruh pabrik. Mendengarkan celotehan sambil mengayuh sepeda ontel di jalan yang sama. Mengingat wajah penuh semangat mereka – yang entahlah sekarang mengungsi ke mana. Meninggalkan sebuah kenangan (kelam), yang justru sekarang berubah menjadi wisata menyenangkan bagi banyak orang. Wisata Lumpur, begitu orang menyebutnya. Bekas bencana yang kini meninggalkan panorama indah. Bak waduk raksasa dengan kepulan asap di tengahnya.

Tidak perlu penasaran, karena pengunjung bisa menikmati wisata tur keliling tanggul. Tak mau merana berlama-lama, bekas warga kawasan industri Porong berswadaya memfasilitasi wisatawan dengan membonceng mereka ke tempat-tempat menarik dan aman untuk menikmati Atlantis-nya Sidoarjo. Sunset dan sunrise menjadi pemandangan favorit wisatawan. Bagi mereka, sunrise di gunung dan sunset di pantai sudah biasa, namun menikmatinya di atas sebuah tanggul raksasa menjadi pengalaman berbeda.

Sungguh, bayangan potensi wisata di kampung halaman yang pernah saya harapkan di masa lalu, kini menjadi kenyataan. Bukan wisata industri, bukan pula gemerlap kota minyak seperti di Timur Tengah. Namun, wisata alam yang bernilai sejarah baik bagi saya dan masyarakat kawasan industri Porong di masa lalu.

 

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

31 tanggapan untuk “Historia Porong: Reinkarnasi Sebuah Kawasan Industri”

  1. Hm ternyata dirimu juga termasuk korban dari lumpur lapindo itu. Ngeri juga membayangkan hal yang awalnya dianggap remeh justru menenggelamkan beberapa wilayah di sekitarnya. Saya prihatin melihat foto Masjid itu yang tinggal atap itu, serta kampung kampung yg kini tinggal kenangan.
    Tapi di balik itu, patung patung itu terlihat unik.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Sedih bgt Tom, aku butuh waktu lama buat ngomong, gak tau lagi harus bilang apa (*maaf kalo agak lebay) Aku bisa ngebayangin kalo sekolah aku sendiri, tempat bertahun2 belajar akhirnya harus menjadi kenangan. tapi kamu ‘beruntung’ bisa sekolah disitu dan menorehkan sejarah kalo kamu dan kawan2 adalah alumni terakhir sekolah itu.. terus gimana ujianmu? apakah gedung sekolahnya masih sanggup bertahan hingga pengumuman ujian selesai.. ? terus pindah ke Malang sejak mau masuk sma? *kepo…

    kalo di rumah, ibu menyebut teko tempat minum dengan sebutan porong.. porong itu kini benar2 berisi, lumpur, air, dan kenangan mendalam ya Tom T.T

    oya, gunung berpuncak dua yg nampak deket bgt sama porong itu gunung apa yah?

    Disukai oleh 1 orang

    1. Beruntung sepenuhnya sih nggak, karena habis UN siswanya udah mencar untuk mengungsi. Tanpa ada perpisahan, apalagi acara wisuda megah kayak anak SMP zaman sekarang.

      Orang Ijazah aja baru keluar setahun kemudian, itupun mengambilnya di kantor kelurahan desa tetangga yang masih aman.

      Sejarah? Ah, mungkin sejarah yang kelam tepatnya. Karena sampai saat ini saya belum pernah berjumpa lagi dengan kawan² SMP. Kenangan yang dipaksa sirna tanpa kehendak.

      Mereka pergi entah ke mana, sementara saya memutuskan merantau ke Malang. Sendirian karena orangtua memilih tetap di Sidoarjo.

      Ya, jadilah seperti sekarang ini. Porong yang dikenal orang. Oya, itu gunung Pananggungan dan Arjuno-Welirang mas. Monggo kalau mau daki. 😀

      Disukai oleh 1 orang

  3. bener, sejarah yang membuat kita untuk menjadi orang yang lebih baik kan.. 🙂
    #puk puk, tadi aku gugling… sekolahmu dulu smp 2 porong kah?
    lihat gunung suka, tapi kalo daki… daki ‘gunung’ yang lain aja deh #ditapuk sandal :p

    Disukai oleh 1 orang

    1. sejarah yang membuat kita untuk menjadi orang yang lebih baik kan –> semoga, semoga sejarah selalu seperti itu.

      Ya, itu sekolahku mas. Dulu kan nggak punya kamera apalagi hape berkamera, tinggal pun di desa. Jadinya nggak punya dokumentasi sama sekali, selain tulisan untuk menuangkan memori.

      Senengnya yang daki gunung kembar, halah.

      Disukai oleh 1 orang

    1. btw, ini sebenarnya esai yg menang kompetisi nasional 2014 silam sih mas. Lama aku ukep bersama karya fiksi lain macam novel dan cerpen. Biasa untuk keperluan publikasi.

      Cuma aku mengira, tulisan yang ini rasanya memang perlu diketahui dunia. Dan, baru tahun ini akhirnya aku mikir waktu terbaiknya.

      Dalam ya, ngomongnya, haha.

      Disukai oleh 1 orang

  4. setelah 10 tahun menunggu yah, Tom… kayak cinta nunggu rangga balik dr New York dong, halah, apalah ini hehe..

    wah, pantesan, ada kenangan, kemarahan dan rasa pilu di tulisan ini.. speechless.. selamat yah!

    Disukai oleh 1 orang

  5. oalah dirimu juga asli sana mas? tahun lalu saya juga mampir ke porong, melihat sendiri betapa sebuah peradaban bisa dilenyapkan oleh tangan manusia itu sendiri
    saya juga pernah menuliskan tentang porong, kalau sempat, di baca ya 😀

    Disukai oleh 1 orang

    1. Dari beton kalau dilihat mas, itu buatan anak ITS Surabaya. Semoga nggak ada lagi, tapi di Bojonegoro dan beberapa daerah lain di sebelah tenggara Jawa Timur sering muncul semburan macam itu.

      Suka

  6. Yang patut saya saluti dari masyarakat Porong (termasuk Mas, tentu) adalah bagaimana bisa “mengolah” keadaan menjadi bermanfaat bagi semua orang. Tuhan memang akan menunjukkan jalan ya. Dan dari “musibah” pun pasti ada hikmah yang bisa diambil dan ada titik terang yang bisa dipakai sebagai pemandu ke masa depan yang lebih baik. Saya sudah beberapa kali lewat kawasan lumpur ini. Kadang hati agak mencelos melihat bangunan-bangunan yang tinggal tembok atau jalan tol yang tinggal tiang, tapi kalau melihat spanduk wisata lumpur, semoga harapan itu masih ada.
    Tapi saya suka Porong! Kecamatan ini menurut saya banyak banget potensi wisatanya. Berhubung saya memerhatikan soal sejarah jadi tidak jauh-jauh dari candi. Sebagian besar candi di Sidoarjo ada di Porong, jadi menurut saya itu anugerah banget yang bisa diolah. Beberapa kali saya ke Jawa Timur dan saya malah selalu menginap di Sidoarjo, karena kota ini sudah jadi basis bagi saya untuk ekspedisi. Meskipun sudah berkali-kali kemari juga masih saja ada alasan untuk kembali, misalnya saja saya salah mengunjungi candi yang saya kira Candi Pamotan, haha.
    Sekarang, saat menulis ini, saya masih di Sidoarjo namun saya sudah tak sabar untuk bisa kembali lagi, haha.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.