Kita Orang Cerdas kan?


monster inc
Kita Orang Cerdas kan? [Sumber Foto: jalebestan.net]

Don’t Hate What You Don’t Understand

Meski banyak orang mengidolakan John Lennon, tapi nggak banyak kayaknya yang tahu tentang salah satu petuah Bang John tersebut. Soal hakim menghakimi, saling menganggap benar satu sama lain memang nggak akan hilang sepertinya hingga akhir zaman.

Entah siapa yang paling benar, atau siapa yang paling salah. Yang jelas, saya selalu membatin, “Nggak ada pekerjaan lain yang lebih bermanfaat gitu?” Saya sendiri tipikal orang yang cuek. Jarang tersindir, karena buat saya ‘sindiran’ itu hanya muncul ketika kita ‘merasa’.

Mari berpikir sejenak tentang ‘cuek’. Hampir kebanyakan perang sindir terjadi jika salah satu ada yang menanggapi. Misalnya ada ujaran kasar begini, “Hei kamu, jelek amat sih!” Jika yang diteriaki memang ‘merasa’ jelek – terlebih doi hobinya berpikiran negatif mulu, pasti akan balas menyolot. Jadilah drama kehidupan yang dialognya cuma: ‘APA LO… APA LO… APA LO…’. Kalau mau agak ektrem dikit biasanya berakhir memar, lebam, atau bahkan masuk bui.

Coba si Cuplis, ibaratkan namanya begitu, tadi cuek, nggak merasa dirinya jelek. Pasti doi nggak perlu buang-buang energi untuk adu teriak ‘APA LO’ di tempat umum. Yang paling penting, doi yang sudah merasa wajahnya ganteng atau cantik (kalau nama lengkapnya Sri Cuplis), nggak perlu sampai babak belur, dimarahi orang tua, mengundang musuh, dan sebagainya.

Singkat kata, ‘cuek’ hanya bisa berlaku untuk orang yang bisa berpikir. Menelaah penting nggaknya segala hal yang ingin dikerjakan. Jika kita cerdas, niscaya enggan masuk bui, cari masalah, mengundang musuh, babak belur atau diomelin emak. Makanya, jika ‘merasa’ cerdas, cuek aja lagi. Bahkan, ada orang bijak yang berkata: Cuek Kunci Kedamaian. Sebab, jika kita nggak ngeladenin tuh oknum, doi bakal lelah dan nyerah sendiri.

Tapi, secuek apapun sikap yang kita miliki, nggak akan bisa 100% membuat kita bebas dari cipratan riak perang sindir. Termasuk di media sosial. Saya sendiri bukan social media junkie, dan nggak main di semua aplikasi. Paling intens, ya, twitter. Itupun yang saya follow sebagian besar akun media online. Harapannya sih agar saya lebih cepat mendapatkan informasi terbaru, sebagai penunjang pekerjaan.

Bermula dari Retweet

Cuma, hadirnya fitur retweet membuat timeline saya kadang mau nggak mau harus dipenuhi tweet war – istilah perang nyinyir di twitter. Seperti biasanya, saya berusaha cuek. Tapi, karena retweet-nya istikamah dan rutin banget, lama-lama saya jadi terusik. Bukan ikutan perang juga, tapi coba saya carikan ‘pencerahannya’ di sini.

Tweet tersebut hanya salah dua dari beberapa retweet yang nyasar di timeline saya. Seperti diketahui, isi tweet-nya adalah Ramadan. Jujur karena berentet, akhirnya saya tertarik membaca. Sebatas hanya ingin tahu pangkal permasalahannya. Tapi, enggan ikut campur, karena saya orang cuek – dan, kalian nggak perlu terprovokasi ya, sebagai contoh saja. Kita orang cerdas kan? Hehehe.

Kemudian saya menelaah sendiri. Seumur-umur hidup sebagai muslim, saya damai-damai saja berkawan dengan orang non-muslim. Tak pernah sedikitpun ada teman yang rasial, baik soal keyakinan atau ras. Bisa jadi karena kecuekan saya, tapi jujur nggak ada satu pun teman saya dari Sabang-Merauke yang beragama ‘warna-warni’ yang sengaja menyindir.

Saat Ramadan, kami saling ‘memahami’, tak sebatas ‘menghormati’. Karena menurut teman saya yang beragama Budha, istilah ‘menghormati’ masih ada unsur ‘terpaksa’. Namun, dengan ‘memahami’ satu sama lain bisa mengerti dari lubuk hati. Mengerti bila keyakinan atau aktivitas ibadat kita nggak mau diganggu orang lain, maka sepatutnya kita menyilakan mereka beribadat secara hikmat. Gampang kan? Bukankah kita cerdas?

Pencerahan dari Sebuah Iklan

Usai manggut-manggut sendiri sambil bilang ‘OOO’ karena mengetahui pokok perang di twitter tersebut, saya beralih ke media sosial lain. YouTube jadi pilihan. Niatan awal ingin melihat video Isyana Sarasvati – Mimpi, mata saya malah mematung duluan pada video iklan buatan Google. Dari judulnya, saya tertarik untuk melihatnya. Sebuah film pendek. Jarang-jarang Google bikin video kayak begini. Kata hati saja berujar. Jari telunjuk pun refleks menekan tombol kiri tetikus. PLAY!

Saya sendiri saja yang merasa, atau kalian juga ikut tersenyum manggut-manggut, setelah baca ulasan saya di awal, dilanjut melihat video tersebut? Sebuah ‘pencerahan’. Begitu saya menyebutnya. Ada banyak nilai positif yang bisa didapatkan dari film pendek tersebut. Bagaimana sebuah kesempatan yang besar harus dijemput, bukan ditunggu. Bagaimana persahabatan bisa mendukung satu sama lain, tanpa harus disekat ‘perbedaan’.

Pemahaman seperti dalam film pendek itulah justru yang perlu direnungkan. Dijadikan pelajaran hidup di tengah masih merebaknya sebuah ketidakpahaman dalam bertoleransi. Betapa indahnya jika satu sama lain bisa memahami. Dan, persahabatan seperti itulah yang dulu sempat saya alami. Nggak ada masalah dengan hadirnya ‘perbedaan’. Justru ‘perbedaan’ hadir untuk mewarnai keberagaman.

Apalagi sebagai masyarakat Indonesia yang notabene dikenal berbudi luhur. Seyogyanya kita sadar bahkan paham, bila ‘perbedaan’ telah lama menjadi bagian dari hidup berdampingan di negeri ini. Bukan sekali atau baru kemarin saja Ramadan terjadi di Indonesia. Dan, tidak sekali pula Natal, Waisak, Nyepi, Imlek juga terjadi di Nusantara. Toh dari waktu ke waktu juga sama.

Belajar PPKN atau lihat ‘Monster University’?

Marilah berpikir dewasa. Buka kembali pelajaran PPKN jika perlu. Pahami bab Tenggang Rasa. Lebih-lebih, kalian melihat film animasi ‘Monster University’. Amati! Betapa satu sama lain dari karakternya berbeda. Bahkan lebih ‘jelek’ dari kita-kita sebagai manusia. Tapi… mereka punya kelebihan. Nggak rasial dalam bersosialiasasi. Masa bodoh alias cuek dengan fisik masing-masing. Sebuah film, yang jika boleh saya katakan, wajib ditonton sebagai pembelajaran. Agar kita bisa mengenang kembali pelajaran PPKN, khususnya tenggang rasa, kerukunan beragama, dan toleransi dalam kehidupan sosial.

Berakhir sebagai John Lennon

John Lennon yang bukan orang Indonesia saja bisa ‘paham’ kok, masa kita yang cerdas-cerdas ini tidak bisa? πŸ™‚

Let’s see John Lennon’s quote again:

Nggak perlu buru-buru menyalahkan segala hal yang belum kita pahami secara keseluruhan. Mari belajar ‘memahami’ satu sama lain. Jika memang ada in-toleransi, cukuplah kita – yang cerdas ini – sebagai penonton saja. Oya, penyebutan tokoh Cuplis hanya fiktif belaka, cuek aja lagi. Nggak usah tersindir jika saya tak sengaja menulis yang kurang berkenan. Anggap saja, kalian ganteng-ganteng atau cantik-cantik semua. Dan, selamat menjalankan ibadat Ramadan bagi yang menjalankan. Babai.

Iklan

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

4 tanggapan untuk “Kita Orang Cerdas kan?”

  1. welehhhh tugas ku berarti sebagai guru PPKN..oh my god..
    menanamkan nilai tenggang rasa, kerukunan umat beragama, toleransi, keberagaman dll..

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.