Naik Gunung Tak Seindah Lagunya


DSCF0522
Naik Gunung Tak Seindah Lagunya [Fotografer: Iwan Tantomi]

Pernah sekolah TK kan? Jika pernah, pasti cukup familiar dengan lagu ‘naik-naik ke puncak gunung’. Betapa senangnya menyanyikan bait demi bait lagu tersebut sambil berimajinasi naik gunung. Nyatanya, imajinasi tak seindah aplikasi. Memang benar, kiri-kanan ada pohon cemara, tapi kalau mengharapkan naik gunung yang indah, nanti nunggu pemerintah pasang eskalator.

Kecuali mengkhayalnya di Swiss, sambil duduk manis di gondola sudah bisa sampai puncak Alpen. This is Indonesia, negeri di mana naik gunung tak seindah lagunya. Kalau mau menikmati indahnya puncak, ya, kudu siap gempor terlebih dulu. Namun, bagi yang hobi mendaki agaknya gempor nggak begitu berarti. Meski jalanan terjal, nyungsep di semak belukar, atau merinding disko karena lewat di jalan sempit kiri-kanan jurang, tetap nggak kapok naik gunung. This is Indonesian!

Nah, ketidakkapokan saya naik gunung juga saya alami kembali saat naik Arjuno yang kedua kalinya. Ada banyak ‘bumbu ketidakindahan’ yang turut mengiringi perjalanan saya ke puncak. Karena ceritanya cukup panjang, simak pelan-pelan sambil siapin gorengan.

CHAPTER 1: KEPERCAYAAN

Nggak seperti naik gunung sebelum-sebelumnya yang saya siapkan matang. Naik gunung kali ini cenderung asal-asalan. Bahkan, tubuh saya saja rasanya pas-pasan alias kurang waras (baca: kurang fit). Akibat demam semalaman, hingga hari H pendakian saya sempat mau membatalkan. Tapi, karena teman-teman bilangnya nggak perlu bawa hiking gear yang super berat itu, akhirnya saya mengiyakan daripada tanggal merah nggak ada kegiatan, sekaligus reunian bareng teman-teman karib saya selama kuliah biologi. Jadinya saya naik gunung Arjuno setinggi 3.339 mdpl cuma bawa ransel isi makanan, buku dan kamera, mirip orang piknik di taman kota.

Coba-Coba Rute Terpanjang

DSC03712.JPG
Vegetasi di sekitar jalur pendakian Tretes menuju Arjuno [Fotografer: Iwan Tantomi]

Sebelumnya, salah seorang teman ada yang bilang bila naik Arjuno kali ini via Jalur Tretes. Dari googling sana-sini, rute pendakian ini dikenal terjal dan panjang, yaitu Pos Perijinan – Pet Bocor – Kopkopan – Pondokan – Lembah Kidang – Watu Gedhe – Puncak. Saya sih nggak ada masalah dengan ‘terjal’, toh jalur Lawang yang pernah saya lalui juga terjal. Pikir saya, mungkin 11:12 lah alias nggak beda banget. Tapi, si ‘panjang’ ini jadi kepikiran, lantaran fisik juga lagi nggak fit.

FYI: Jalur Tretes dapat ditempuh dari Terminal Pandaan. Pendaki yang datang dari luar Jawa dan turun di Bandara Juanda, bisa ke terminal Bungurasih dan naik bus rute Surabaya-Malang, turun di Terminal Pandaan. Sementara, pendaki dari arah Jakarta yang naik kereta dan turun di Stasiun Kota Malang, naik angkot ADL menuju terminal Arjosari. naik bus rute Malang-Surabaya, turun di terminal Pandaan, Kab. Pasuruan. Dari sana, lanjutkan naik angkot ke Tretes. Bilang ke supir mau ke pos perijinan/pendakian gunung Arjuno-Welirang, nanti akan langsung diantarkan ke TKP. Sst, jangan lupa ditawar!

Tiket Masuk Yang Ambigu

DSC03689.JPG
Pos ijin pendakian Arjuno-Welirang via Tretes [Fotografer: Iwan Tantomi]

Setibanya di pos, kami membagi tugas. Ada yang repack logistik dan membagi rata bawaan, ada yang cari gas aerosol, ada yang pesan nasi bungkus dan saya kebagian mengurus ijin pendakian. Tiket masuk terdiri beberapa lembar, termasuk iuran asuransi jiwa, serta ada tulisan nominal tarifnya. Jika ditotal, per orang dikenai Rp 12.000,-. Enam orang harusnya Rp 72.000,-. Tapi, kami malah ditarik Rp 85.000,-.

Dan yang bikin saya agak ambigu, dengan entengnya si petugas juga menarik rombongan lain yang jumlahnya 3 orang dengan tarif masuk Rp 85.000,-. Owh, jadi dipukul rata. Lha, kasian yang mendaki sendirian dong? Untungnya teman sependakian saya nggak ribet atau perhitungan banget soal duit. Jadinya, usai beres semuanya, yang cowok pergi jumatan dan yang cewek jagain barang. FYI: jalur pendakian Tretes ini dikelilingi banyak hotel dan penginapan, banyak warung, restoran, ATM hingga minimarket, sehingga cocok buat pendaki yang dari jauh dan berbudget lumayan.

Disambut Hujan

DSC03706.JPG
Trek pendakian awal dari pos perijinan saat hujan [Fotografer: Iwan Tantomi]

Beres jumatan, kami memastikan kembali barang bawaan. Baru mau mendaki, tiba-tiba gerimis, makin banyak rintikannya, hujan deras, yah… yah… malah hujan badai. Bak anak ayam yang kedinginan, akhirnya kami mojok di warung sambil nyeruput kopi dan gorengan. Hampir satu jam kami disambut hujan, sambil berharap semoga nggak hujan lagi selama pendakian. Sementara sambil menyantap indomie goreng panas plus irisan cabai kering pakek telur, saya kepikiran: jalur panjang saja sudah terjal plus, apalagi ditambah hujan, bakal jadi terjal plus plus.

Tebak-Tebakan Pet Bocor

DSC03720
Trek berbatu dan terjal di sekitar pos pet bocor [Fotografer: Iwan Tantomi]

Tepat pukul 2 siang, hujan sudah reda dan kami mulai mendaki. Hampir 30 menit berlalu jalanan terus menanjak. Napas ngos-ngosan pun nggak bisa dielak. Dari yang awalnya segar bugar, satu sama lain sudah tampak memble – dan nggak lagi kece. Nggak dipungkiri naik gunung memang butuh stamina OK. Saya sendiri vakum hampir 3 tahun naik gunung, tapi masih rutin jogging dan latihan kardio. Itu juga yang bikin saya nggak asal nekat dan menerima pinangan mendaki kali ini.

Sampai akhirnya, terdengar suara air muncrat, dan sekonyong-konyong teman saya nyebut, Wah, kita sudah di pet bocor nih! Sementara saya ngeyel, karena nggak ada tulisan ‘Pet Bocor’. Akhirnya tebak-tebakan nggak jelas ini jadi semacam endorfin yang memberi pengharapan (palsu) ke kami jika puncak sudah dekat. Padahal khayal banget. Nggak mungkin jugalah, hanya satu jam sudah mau dekat puncak setinggi 3.339 meter. Dengan penuh kepercayaan, akhirnya kami memantapkan kaki melanjutkan pendakian.

CHAPTER 2: SOLIDARITAS

Saya akui, lama nggak mendaki, membuat saya balik seperti newbie. Setiap kali ada pos, rasanya seperti sudah dekat dengan surga. Begitu juga saat kami sampai di pos penjagaan pertama. Kami sempat debat, sebenarnya yang benar pos 1 jalur Tretes itu pet bocor atau bangunan pos tersebut. Namun, yang jelas, kami tambah bersemangat untuk menempuh pos berikutnya: kopkopan nun jauh di mata.

Ketemu Sodara

DSC03724
Di etape ini banyak dijumpai Lutung Jawa [Fotografer: Desy]

Usai pos penjagaan pertama, istilah ‘terjal’ benar-benar mulai terasa. Trek yang menukik naik dan nggak ada datar-datarnya kian berat saat jalan setapaknya berupa batuan terjal. Jika boleh saya bilang, jalur menuju kopkopan ini monoton, nggak ada variasi naik turun dan cenderung nggak indah karena kiri-kanannya bukan cemara, tapi belukar sambil sesekali ada yang terlihat bergelayutan. Iya, kamu, Lutung Jawa (Trachypithecus auratus).

Mari Sejenak Belajar Biologi: Lereng Arjuno merupakan salah satu habitat alami Lutung Jawa yang masih lestari. Meski begitu, keberadaan Lutung Jawa ini semakin langka karena perambaan hutan menjadi lahan di kawasan Perhutani, dan juga perburuan liar. Yang ‘dada-dada’ ke saya kemarin adalah Lutung Jawa jantan dengan ciri rambut warna hitam. Mereka hidup berkoloni, sekitar 3-5 ekor yang terlihat. Yang betina kelihatan, saat doi ‘pamer’ rambut keperakan di sekitar kelaminnya. Secara fisik, morfologi Lutung Jawa dapat diketahui dari panjang ekornya yang dua kali panjang tubuhnya. Mukanya melas nan iba. Lutung Jawa ABG lebih ngehits, karena mereka berambut oranye – tanpa semir seperti ABG manusia.

FYI: dalam dunia biologi, istilah ‘bulu’ hanya diperuntukkan Aves atau golongan unggas. Sementara Mamalia seperti Lutung dan kita *KITA???* menggunakan istilah ‘rambut’. Jadi, seperti Lutung yang sekujur tubuhnya ‘berbulu’, yang benar disebut ‘berambut’.

Jempol Kaki Kejedot Batu

DSC03722
Jempol kaki kejedot batu saat terperosok di trek berbatu terjal dan licin karena hujan [Fotografer: Iwan Tantomi]

Entah karena saya capek tapi terus memaksa kaki tetap jalan atau takjub habis ketemu sodara, tiba-tiba di jalanan yang masih miring, langkah saya mendadak gontai. Tubuh saya memang berhasil seimbang dan nggak jadi gelundung ke bawah, tapi kaki saya yang terperosok di bebatuan. Nggak cedera, cuma jempol kakinya kejedot keras bebatuan. Karena saya pakai sandal, jempol kaki saya langsung ‘berciuman-liar’ dengan bebatuan. Untungnya kuku sedang pendek, andai panjang mungkin sudah lepas, cuma mengalami pendarahan bagian dalam (baca: kuku menghitam). Apesnya, ini masih 1/3 perjalanan.

Kopkopan Jadi Pujaan

DSC03742.JPG
Melepas lelah di pos kopkopan [Fotografer: Fahruddin Arrozi]

Tepat jam 5.30 sore, kami sampai di pos kedua, kopkopan – yang ditandai dengan tanah lapang, beberapa tenda pendaki dan sumber mata air. Pas sampai di sana, kabut sudah mulai datang. Dan, yang bikin nggak indah, awan tebal penanda hujan juga ikutan menggumpal. Oya, di kopkopan juga ada one and only warung plus musala dari bambu. Nggak besar, cuma jelas menjadi pujaan lantaran di sanalah makanan-camilan-minuman hangat masih bisa dibeli. Di kopkopan kami nggak menggelar tenda, hanya istirahat sejenak, sambil memenuhi botol dengan air sumber, sebelum jam 7 malam melanjutkan pendakian menuju pos 3: pondokan.

Digeber Hujan di Tengah Kegelapan

DSCF0343.JPG
Pendaki berkumpul di tengah pendakian malam dan guyuran hujan menuju pondokan [Fotografer: Iwan Tantomi]

Baru beberapa meter dari kopkopan, eh, langit sudah mulai ‘bocor’. Sambil gelap-gelapan, kami pun melanjutkan pendakian, menapaki batuan terjal, bermodalkan senter seadanya, di bawah guyuran hujan. Kurang ‘indah’ apa coba? Mau berteduh, nggak ada pohon, selain semak belukar. Sekalinya ada shelter, sudah dipenuhi pendaki lain yang kayak anak kucing dusel-duselan kedinginan. Sambil mengenakan jas hujan, kami berenam mendaki pelan-pelan bak rombongan Frodo *eh, siapa Gollumnya?*

Makin lama, jalanan terasa semakin menanjak plus semakin miring. Sampai-sampai pas berhenti dan minum pun tubuh rasanya ikutan miring. Pikir saya, sama-sama kehujanan, daripada diam mending tetap jalan pelan-pelan biar cepat sampai. Tapi, rasa-rasanya kok makin lama makin hening. Saya yang kebetulan jalan paling depan, terus ingin berhenti dan menoleh ke belakang. Lho, kok, nggak ada orang? Lima orang lainnya ke mana? Diseret Gollum?

Hening, gelap, hujan, akhirnya diam di tengah jalur pendakian. Menyenter ke bawah, sangat jauh, nggak ada yang kelihatan. Menyenter ke atas juga nggak ada pendaki turun. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, dan saya diam sendiri ‘krik-krik’ di tengah hutan. Mulanya saya tunggu, tapi akhirnya saya teriak juga, Hoi… Rek… kalian di mana? Jujur bukannya saya takut hantu atau Gollum, tapi saya bingung kasih penjelasannya jika harus balik sendirian, terus dicerca Tim SARS, dan diberondong pertanyaan Enyak-Babe mereka *halah*

DSC03760
Dua di antara kawan yang tiba-tiba lenyap saat pendakian [Fotografer: Iwan Tantomi]

Walau jalan turun adalah tindakan buang-buang kalori selama pendakian, tapi akhirnya saya balik arah juga. Dan ketemulah mereka sedang ‘leyeh-leyeh’ nggak peduli rintikan hujan. Sepertinya, mayoritas sudah kehabisan stamina, mengingat kami belum makan nasi sama sekali. Akhirnya, demi memulihkan energi, di tengah jalan itulah plus di tengah guyuran hujan pula, kami makan nasi bungkus yang dibeli saat di pos perijinan.

Di sinilah survive dibutuhkan. Nggak peduli nasi bungkus mendadak berkuah karena air hujan, segala mendadak nikmat, demi terus hidup agar sampai puncak dan pulang kembali dengan selamat. Nggak habis pikir, gimana jadinya jika saya harus mendaki dengan orang yang menye-menye?

Bagaimana dengan sakit? Oya, sejak memulai mendaki, tubuh saya seolah mengacuhkan urusan ‘tubuh nggak fit’. Bahkan, karena ingin cepat sampai pondokan, saya sampai lupa jika jempol kaki saya terluka. Sebaliknya, gantian teman saya yang mendadak jadi nggak fit. Akhirnya kami mengubah formasi. Yang jalannya pelan, gantian ada di depan. Biar nggak mendadak lenyap lagi.

Hujan pun reda, tapi dinginnya angin gunung ganti balik yang kami terima. Sampai pukul 11 malam, akhirnya beberapa teman kami ada yang KO. Malah ada yang sampai kena hipotermia segala. Setelah menemukan tempat yang agak lapang dan datar di sekitar hutan pinus, akhirnya kami memutuskan mendirikan tenda. Menghangatkan diri dan memilih melanjutkan pendakian keesokan pagi. Bagaimanapun solidaritas harus tetap terjaga karena pendakian masih lama.

CHAPTER 3: KEBIMBANGAN

Pukul 7 pagi, kami sudah merasa fit satu sama lain. Usai sarapan dan mengemas tenda, kami langsung melanjutkan pendakian. Nggak jauh beda dengan jalan setapak berbatu terjal sebelumnya, trek menuju ke pos 3 ini juga terus menanjak. Sepanjang perjalanan, kiri-kanan hanya berhiaskan pohon pinus. Sesekali kamu bertemu rombongan lain. Terus mereka menyalip kami, kemudian kami menyalip mereka, lama-lama kami jadi salip-salipan sampai tiba di pondokan, pukul 8.30 pagi.

Pondokan ‘Hobbiton’

DSCF0402.JPG
Pondokan yang menyerupai Hobbiton [Fotografer: Iwan Tantomi]

Pondokan ini sebenarnya camp penambang belerang dari Gunung Welirang. Tempatnya nggak jauh beda sama kopkopan: ada warung one and only, sumber mata air, dan yang pasti tanah lapang yang agak datar. Beruntungnya, kami kemarin nggak bikin tenda di sini, karena cukup padat. Beberapa camp penambang ada yang sampai tertutupi rumput, sehingga kalau dilihat sekilas seperti Hobbiton alias kampung para Hobbit. Setelah memenuhi botol-botol dengan air sumber, kami melanjutkan perjalanan.

Lembah Kidang Tanpa Kidang

DSCF0416
Wajah-wajah girang di lembah kidang [Fotografer: Hamba Allah]

Trek dari pondokan ke Lembah Kidang adalah yang paling menyenangkan. Selain landai, juga bebas batuan terjal. Jalur ini dipenuhi cemara dan paku-pakuan mirip pos Cemoro Kandang di pendakian menuju Gunung Semeru. Jika pada trek sebelumnya, muka kami memble nggak keruan lantaran capek berat, di jalur ini kami mendadak sumringah. Tapi, hati-hati, di balik rimbunnya tanaman paku-pakuan, tersembunyi batang pohon malang-melintang.

Jangan seperti saya, dikiranya jalan mulus, enak-enak motret sambil jalan langsung ‘gedebuk’, tersandung batang pohon yang tertutup tanaman paku-pakuan. Untung baik-baik saja. Tepat pukul 10.30 pagi kami akhirnya tiba di Lembah Kidang. Sebagai pos terakhir, lembah kidang juga menjadi favorit berkemah para pendaki. Tempatnya sejuk dengan savana hijau yang cukup luas. Tapi selama saya di sana, tak menemukan kidang satu ekor pun. Sumber mata air terakhir sebelum ke puncak juga ada di sini.

Kami istirahat sejenak sambil diskusi enaknya pasang tenda di mana. Salah seorang menyarankan berkemah di Pasar Dieng. Karena sama-sama baru melewati jalur Tretes ini, kami mayoritas setuju – walau akhirnya tahu kenyataan pahit bila Pasar Dieng nggak masuk rute pendakian via Tretes. Walhasil, kala pendaki lain menuju puncak hanya bawa botol air minum, rombongan saya tetap bawa tas carrier yang beratnya bikin punggung encok.

Sementara Itu…

DSCN3204
Sementara itu… doi juga kebelet… [Fotografer: Iwan Tantomi]

Sebenarnya, sejak perjalanan mau ke pondokan, perut saya mules. Biasa boker pagi,  (dipaksa) harus absen hari ini. Harapan untuk menemukan toilet di setiap pos pun nggak terwujud. Kebayang, nahan boker di tempat datar saja sudah bikin muka sepet. Apalagi kalau ditahan sambil terus mendaki, menapaki jalan setapak berbatuan terjal. Antara pengin mual nggak jadi plus badmood level akut, begitulah yang saya rasakan.

Mau dibuang di rerumputan khawatir bikin savana mendadak gersang. Mau dibuang di sungai nggak tega sama yang minum airnya di bagian bawah. Argh! Pokoknya, bikin keindahan pendakian saya menuju puncak mendadak suram. Cara satu-satunya saat ekskresi zat padat nggak bisa dilakukan adalah memaksimalkan ekskresi gas. Jadinya, pas mendaki menuju puncak saya kentut terus-terusan. Harapannya, biar fesesnya menguap bareng gas yang dibuang dan perut nggak lagi mulas. And, it works!

Caution: perhatikan SIKON. Sebab, kentut yang mengandung feses ini niscaya baunya dapat membuat pendaki di bawah – yang mungkin sudah memble karena ngos-ngosan, mendadak pingsan.

Naik Gunung Rasa Outbond

DSCN3266.JPG
Trek yang paling geleng-geleng menuju Watu Gedhe [Fotografer: Iwan Tantomi]

Setelah memutuskan rencana kamping di Pasar Dieng, kami melanjutkan pendakian. Mananjaki tebing, menyusuri hutan pinus, membelah rerimbunan tanaman paku, hingga tiba di lembah super luas. Nguping pendaki sekitar, lembah ini disebut Alas Lali Jiwo (Bahasa Jawa, lupa ingatan). Dari sini, saya mulai menjumpai pendaki yang sudah turun. Nggak lupa saya tanya, Puncak masih jauh mas? Jawabnya, Owh, masih 4 jaman, mas.

Mendengar 4 jam saya langsung nggak pengin leyeh-leyeh lagi. Perjalanan berlanjut dengan menapaki tebing berbatu terjal segede gaban. Ya, kita jadi harus lihai seperti kambing gunung, yang piawai menjaga keseimbangan saat melompat dari satu batu ke batu lainnya. Habis melompat, berganti merangkak di cela-cela reruntuhan tanah, merayap sambil berpegangan akar, dan tiba di pos Watu Gedhe (Bahasa Jawa; batu besar). Saya sampai mikir, ini naik gunung apa outbond sih. Perasaan yang via Lawang, nggak gini-gini amat pendakiannya.

Drama Watu Gedhe

DSCN3270.JPG
Latar tempat drama pegunungan, Watu Gedhe [Fotografer: Iwan Tantomi]

Di Watu Gedhe kami menjumpai banyak pendaki hilir naik-turun. Berulang kali saya tanya, Pasar Dieng masih jauh atau dekat. Kebanyakan jawabnya 4 jam. Tapi, ada satu pendaki yang bilang bila pos Pasar Dieng itu ada di jalur Lawang. Jadi kalau mau ke sana, mending turunnya sekalian lewat jalur Lawang. Nah, lho?! Saya langsung menanyakan ke teman sependakian, bagaimana ini kelanjutannya?

Di sisi lain, beberapa teman ada yang nggak kuat dan meminta mendirikan tenda di sekitar Watu Gedhe, paling tidak untuk menaruk barang-barang yang berat. Karena tas carrier yang berat cukup menghambat pendakian menuju puncak. Tapi, ada pendaki lain yang menyarankan agar nggak membangun tenda di Watu Gedhe karena sepi dan rawan hilang. Yang satunya menanggapi, kalau bawa tenda ke puncak, misal hujan atau ada badai, bisa langsung dipasang dan nggak buru-buru balik turun ke Watu Gedhe.

Saya sempat pusing juga, apalagi badmood lagi level akut lantaran mules, jadinya malah pengin uring-uringan. Oke, kalau lanjut, ayo sekarang, mumpung belum hujan. Kalau memang nggak kuat, mending balik sekarang, mumpung belum jauh. Pikirkan kondisi tubuh juga. Jangan hanya karena eksistensi terus memaksakan diri ke puncak. Atau, kalau memang mau naik, silakan, tinggalkan barangnya di sini. Aku yang jaga di tenda, nggak papa.

Entah habis kerasukan apa, tiba-tiba saja kalimat dramatis tersebut keluar dari mulut saya. Intinya di pikiran saya waktu itu cepat naik dan turun cari WC dengan selamat. Dan setelah pertimbangan lama ini-itu, kami memutuskan tetap naik dengan membopong carrier dan kamping di puncak. Walau mungkin di antara kami masih dirundung kebimbangan.

CHAPTER 4: KETEGUHAN

Sejak dari Watu Gedhe trek pendakian makin cadas. Kontur tanah semakin miring. Kami benar-benar menapaki tebing sekarang. Tiba-tiba jempol kaki saya yang terbentur batu, terasa nyeri. Rasa sakit tersebut begitu terasa saat saya berhenti. Akhirnya saya jalan pelan-pelan dan secara tak langsung membuat jarak yang cukup jauh dengan kelima teman lainnya.

Menyesap Rumput

Selama menanjak saya sempat dehidrasi, karena botol minum saya terjatuh di tebing. Sesekali pas bertemu pendaki, saya beranikan minta seteguk – asli seteguk nggak sampek glekglek. Nah, yang susah pas nggak berpapasan dengan pendaki. Mau nggak mau saya harus memainkan naluri ‘biologi’ saya. Memilah satu demi satu jenis tanaman yang bisa dimakan. Aha! Ketemulah ilalang atau alang-alang (Imperata cylindrica). Saya ambil satu per satu batangnya, terus saya kunyah dan sesap airnya.

FYI: Sekitar 80% batang hingga umbi ilalang mengandung air dan zat gula, sehingga jika dikunyah dan disesap airnya, dapat mencegah dehidrasi plus menyuplai energi tubuh, khususnya saat harus bertahan hidup di alam liar.

Korban PHP

DSCN3292.JPG
Beberapa pendaki yang obral PHP [Fotografer: Iwan Tantomi]

Cukup lama menunggu, tapi teman-teman juga belum kelihatan. Saya akhirnya menunggu sambil jalan pelan-pelan. Tiap kali lelah dan bertemu rumput, saya berhenti dan menyesapnya, kemudian jalan lagi. Nggak usah tanya rasanya, yang jelas, lebih enak es cendol. Karena ini di hutan, kudu mengesampingkan rasa, dan memanfaatkan apa yang bisa dimakan. Eh, tapi jangan asal makan lho ya. Silakan googling: tanaman yang bisa dimakan di hutan, pelajari baru praktikkan.

Meminta air ke pendaki lain sebenarnya bukan hal yang tepat. Karena saat mendaki, kita harus bisa bertahan hidup sendiri-sendiri, walaupun rombongan. Tapi, dengan kondisi yang saya alami, paling nggak saya harus bisa bertahan sampai teman saya datang. Karena ada satu tas logistik yang mambawa cukup banyak air. Nggak lupa, ketemu pendaki yang turun, saya selalu bertanya, Puncak masih lama, mas?

Tahu jawabannya seperti apa? Selalu 4 jam. Perasaan Watu Gedhe sudah jauh, tapi kok kurang 4 jam terus. Wah, jadi korban PHP nih. Namun, semakin tinggi saya mendaki, semakin mendapatkan jawaban yang membuat mata berbinar bak mendengar ‘surga’ sudah di depan mata. Semangat mas, kurang 2 jam lagi. Terus, kurang 1 jam lagi. Hingga akhirnya tiba di punggung Arjuno.

Tiba di Punggung Arjuno

DSCN3302.JPG
Tapal batas Malang-Pasuruan di punggung Arjuno [Fotografer: Iwan Tantomi]

Jam 3.30 sore akhirnya saya tiba di tapal batas Malang-Pasuruan di punggung Arjuno. Saya memilih berdiam di sana, sambil menunggu teman-teman sampai ‘surga’. Betapa tidak, hampir 24 jam kami mendaki. Puncak Arjuno yang sebelumnya bisa saya daki lebih cepat, kini jauh lebih lama. Komplit dengan ‘bumbu ketidakindahan’ yang harus diterima. Cuaca buruk, medan terjal plus plus, kaki terluka, perut mules, dehidrasi, ditambah acara drama segala. Dah mirip film EVEREST, kalau dipikir-pikir.

CHAPTER 5: KENANGAN

Berulang kali saya tanya ke pendaki yang sampai di atas, mereka masih belum melihat teman-teman saya. Ada yang bilang masih jauh di bawah. Saya sempatkan juga berpesan ke pendaki yang turun, agar menyampaikan ke teman-teman bila saya menunggu di atas. Akhirnya tepat jam 4.30 sore, satu per satu teman sependakian saya tiba di tapal batas Malang-Pasuruan di punggung Arjuno.

Kamping di Kuburan

DSCF0603-001.JPG
Petilasan korban pendakian Arjuno [Fotografer: Iwan Tantomi]

Dari beberapa peta pendakian via Tretes, pos tertinggi setelah Watu Gedhe sebelum puncak Ogal-Agil adalah Pasar Setan. Terus pas tiba di area lapang di punggung Arjuno, saya bertanya ke beberapa rombongan pendaki yang mau membangun tenda di wilayah ini. Ini namanya apa, mas? Pasar Dieng bukan? Salah seorang pendaki jawab Bukan mas. Ini petilasan.

Wait, petilasan? kuburan dong?  pikir saya dalam hati.

Tenang aja, bukan kuburan sungguhan kok. Hanya monumen yang dibuat pendaki untuk mengenang pendaki yang gugur di Arjuno. Kalau Pasar Dieng ada di jalur Lawang. Ini biasa disebut Pasar Setan. Tapi, itu hanya mitos masyarakat. Kalau mau bikin tenda di sini sekarang aja mas. Mumpung belum hujan. Sekalian ramai-ramai.

Mendengar penjelasan itu saya hanya manggut-manggut dan langsung mengajak teman-teman membangun tenda. Kami langsung sepakat dan memasang tenda kuat-kuat dengan pasak, karena angin di puncak sudah berhembus heboh. Nggak lucu juga pas enak-enak tidur terus tenda kami miber dan nyungsep di jurang. Bisa-bisa dibikinin petilasan juga sama pendaki-pendaki sebelah. Setelah tenda jadi, kami memutuskan dusel-duselan dalam tenda, makan malam, istirahat dan ke puncak Arjuno saat sunrise keesokan hari.

Malam Yang Panjang

DSCN3313
Menyambut fajar [Fotografer: Iwan Tantomi]

Seperti dugaan saya, angin di punggung gunung super asoy geboy. Kami berenam yang tidur macam ikan pepes, harap-harap cemas, semoga saja tendanya nggak miber beneran. Karena kenyang plus lelah, akhirnya saya tertidur – dan sepertinya yang lain juga. Bangun-bangun tubuh rasanya sudah segar. Saya pikir sudah pagi atau dini hari gitu. Ternyata masih jam 11 malam.

Padahal saya tidur jam 7.30 malam, tapi rasanya sudah seperti tidur standar 8 jam. Sempat keluar tenda melihat bintang, tapi dinginnya nauzubillah. Malah balik-balik ke tenda, masuk angin. Akhirnya, grusak-grusuk di tenda sambil menunggu subuh tiba. Bukannya bisa tidur nyenyak kembali, tetangga sebelah – yang sepertinya ada emak-emaknya, rumpi terus sepanjang malam.

Sebuah Pencapaian

DSCF0499.JPG
Sebuah pencapaian [Fotografer: Hamba Allah]

Gara-gara suara rumpi ‘tetangga’ sebelah yang nggak neighbor-friendly, saya jadi terjaga sembari (terpaksa) mendengarkan pembicaraan mereka sampai subuh. Setelah lihat jam menunjukkan pukul 4 pagi, saya bangun. Baru mau membangunkan yang lain, eh, ternyata mereka bernasib sama dengan saya: nggak bisa tidur gara-gara suara ‘tetangga’ sebelah.

Kami langsung menyiapkan diri menuju puncak yang jaraknya sekitar 30 menit dari tenda. Namun, ada sedikit drama lagi, yaitu salah satu teman ada yang nggak mau ikut karena alasan dingin, lelah dan banyak versi menurut teman lainnya. Padahal ‘pencapaian’ ada di depan mata. Setelah dipaksa beragam cara, dia tetap keukeuh di tenda. Akhirnya, kami beneran meninggalkannya.

Padahal itu pilihannya sendiri, tapi teman saya yang lain malah merasa bersalah karena tak sukses ke puncak bersama. Lanjut mendaki! Puncak Arjuno perlu ‘diraih’ dengan menyusuri tebing berbatu yang terjal dan curam. Karena angin cukup kencang, pendakian perlu dilakukan dengan asas alon-alon asal kelakon alias hati-hati.

Beda dengan Jonggring Saloko atau Mahameru yang berpasir. Mendaki 5 langkah, mundur 3 langkah. Biar pelan menuju Ogal-Agil lebih pasti dan nyaman meski pakai sandal. Akhirnya, tepat jam 5 pagi, kami bergabung dengan beberapa pendaki lainnya, menyambut sunrise dari Puncak Arjuno. Sebuah pencapaian dari drama ketidakindahan selama proses pendakian. Di puncak inilah, apa yang disebut keindahan bisa dirasakan, dinikmati, sekaligus disyukuri.

Kenangan Terakhir

DSCF0580
Puncak Ogal-Agil [Fotografer: Iwan Tantomi]

Saat di puncak kami memang bahagia, ngefly. Mungkin beginilah rasanya berada di langit tertinggi yang dibayangkan orang sakaw saat ngefly. Namun, saya mendadak nggak selera ngefly saat menengok ke bawah. Di saat saya melihat wajah-wajah memble pendaki yang mengais-ngais bebatuan dan akar bak zombi di film WORLD WAR Z, di saat itulah saya merindukan gondola atau pengin mencoba paragliding!

Kenyataan bila perjalanan belum berakhir, harus siap saya, owh, kami, lakoni. Membawa diri kembali ke rumah dengan selamat. Karena itulah tujuan mendaki, selain menuju puncak. Setelah tiba di tenda pukul 7 pagi, kami langsung membereskan segala perkakas, mengganjal perut dan tentu diskusi: menentukan rute penurunan yang akan dipilih. Kami akhirnya sepakat balik ke Tretes, karena beberapa teman ada yang membawa motor dan dititipkan di pos perijinan.

Pukul 8 pagi saya mulai menurun. Jika saat mendaki, tumpuan ada di lutut dan betis, saat turun semua bagian kaki berfungsi menahan tubuh tetap seimbang. Nggak ketinggalan, pundak juga ikutan ‘tersiksa’. Apalagi bila membawa keril atau carrier 60 liter, isi tenda, nasting, sleeping bag, plus hiking gear komplit, punggung rasanya siap menerima encok plus plus.

Guna menghindari cedera, saya menggunakan teknik menurun zigzag. Selain lebih cepat, juga cukup mengefisensi stok energi selama penurunan. Sama seperti pas mendaki, saat turun saya juga berpapasan dengan pendaki lain – dan mereka bertanya, Puncak masih jauh, mas? Rasanya saya jadi paham, kenapa waktu itu saya menerima jawaban 4 jam. Tapi, saya enggan obral PHP. Jadilah saya jawab sok diplomatis, Dinikmati saja, yang penting selamat hingga puncak. Atau kalau malas ngomong panjang, biasanya saya jawab, Semangat saja, mas.

Pukul 10 pagi, saya tiba di Lembah Kidang. Dua teman sudah turun duluan dan memasak sarapan. Setelah semua turun, kami berswadaya membuat sarapan ala kadarnya. Mentok bikin indomie goreng: makanan idola sejuta pendaki. Karena ada sayuran, teman saya berinisiatif membuat bala-bala. Kami masak semua, biar bisa mengurangi beban bawaan. Kasihan punggung!

Pukul 12 siang kami lanjut turun dan sampai di pondokan 30 menit berikutnya. Selama perjalanan turun ke kopkopan, kami bergantian jalan dengan mobil jeep pengangkut belerang dari pondokan. Belum lagi kaki yang gempor karena berlompatan zigzag kayak kambing gunung saat menurun cepat, eh, hujan mulai turun. Nggak tanggung-tanggung 1,5 jam kami diguyur hujan lebat plus badai, plus halilintar.

Jalan setapak berbatu terjal berubah jadi aliran air bah dari puncak gunung. Saya sekuat tenaga menahan kaki yang diterjang air. Sampai akhirnya terperosok dan putuslah sandal gunung yang sudah menemani saya 5 tahun terakhir. Ya, rupanya Arjunolah kenangan terakhir saya menggunakan sandal ini. Saya sempat pinjam ‘sepatu TNI’ yang dibawa teman. Dia kebetulan sedang pakai sandal. Setelah saya coba sampai kopkopan, kaki saya tersiksa karena kesempitan plus berat.

DSCN3289
Sandal gunung kenangan berlatar gunung kembar [Fotografer: Iwan Tantomi]

Tiba di kopkopan pukul 2, saya langsung melepas ‘sepatu TNI’ dan mengikat sandal gunung yang putus dengan tali rafia. Karena khawatir lepas, akhirnya saya jalan pelan-pelan. Saking pelannya, saya sampai tensin sendiri ditanya bolak-balik pendaki yang turun menyalip. Sampai-sampai ada pendaki yang menawarkan ‘jasa mengikat sandal putus yang lebih kuat’, tapi udah keburu tanggung mau sampai. Misal ada yang nawarin gendong sukarela tentu langsung saya terima, eh.

Tiba pukul 5 sore, akhirnya saya tiba di pos perijinan Tretes dengan selamat. Saya pikir saya paling lambat, ternyata ada 3 teman yang belum sampai. Dan baru tiba pukul 6 sore. Kami pun saling ‘hahahehe’ – nggak pakek nangis haru plus pelukan, saat mengingat pendakian yang penuh ‘bumbu ketidakindahan’ ini. Kalau bukan karena rasa saling percaya, solidaritas bersama, kebimbangan yang dirembukkan bersama dan keteguhan yang bulat untuk menuju puncak, niscaya tak akan berbuah kenangan yang berkesan.

Yang jelas, segala ketidakindahan yang saya alami tersebut, kemungkinan juga bisa dialami setiap pendaki. Oleh sebab itu, selalu waspada, hati-hati dan menyiapkan segalanya sebelum mendaki secara teliti. Ingat, tujuan mendaki tak hanya puncak, tapi juga harus bisa balik dengan selamat. Jika ada yang bermanfaat boleh ditiru, yang nggak abaikan saja. Sampai ketemu di cerita selanjutnya. 🙂

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

31 tanggapan untuk “Naik Gunung Tak Seindah Lagunya”

  1. Enak kali malam male dengerin emak emak ngerumpi… daripada dengerin emak jadi jadian ngerumpi… kan berasa rame 🙂

    Salut buat ngambil fotonya di bagian yang ini “Tebak-Tebakan Pet Bocor” nggak diusir pendaki lain mas? ahhaha kayaknya butuh berguling guling di ladang batu buat ngambil momen EPIC kaya gitu *two thumbs up*

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.