
Happy Birthday Kota Malang ke-102!
Sudah 10 tahun berlalu rupanya saya tinggal di kota Malang. Dibilang nggak terasa sih bohong banget, karena sejak SMA, kuliah hingga kerja ada banyak cerita silir berganti mewarnai hari-hari saya selama tinggal di kota Malang.
Sepuluh tahun mungkin relatif singkat, jika dibandingkan usia kota Malang yang sudah lebih seabad. Nggak sedikit pula, tempat-tempat menarik di kota Malang yang sudah pernah saya singgahi. Entah sekadar seliweran di depannya hingga yang paling anti-mainstream biasanya iseng alias coba-coba pengin masuk ke dalamnya.
Dari beberapa tempat di kota Malang yang pernah saya kunjungi, tiga di antaranya karena ‘faktor ketidaksengajaan’. Di mana saja? Gelar tikar dan baca baik-baik, ya.
Kelenteng Eng An Kiong

Orang Malang mungkin cukup kenal kelenteng satu ini. Tapi, dari 10 orang, saya yakin hanya 1 yang pernah masuk ke dalam. Sisanya, boleh ditebak: hanya sering lewat di depannya doang.
Bisa dimaklumi sih, bagaimanapun juga kelenteng adalah rumah ibadat, jadi agak tabu bagi orang yang beragama selain Konghucu, masuk ke sana. Awalnya saya juga berpikir demikian, tapi gara-gara rasa penasaran saya ingin mencicipi lontong Cap Go Meh yang asli, akhirnya membawa saya ke kelenteng ini.
Pas sampai di gapura kelenteng Eng An Kiong yang ada di Jalan Martadinata, saya sempat celingukan antara jadi masuk atau nggak. Sampai akhirnya mendatangi satpam dan tanya, “Permisi, boleh melihat-lihat ke dalam kelenteng?”
Si satpam melihat saya atas bawah, mungkin dia berpikir muka saya nggak ada Chinese-Chinese-nya, mau ngapain coba ke kelenteng. Setelah diam sejenak, akhirnya satpam bilang, “Boleh, tapi jangan sampai mengganggu ibadat, ya, Mas.”
Setelah dapat lampu hijau, saya langsung masuk. Seperti dugaan saya, muka saya yang nggak semestinya ada di kelenteng, jadi pusat perhatian. Sesekali saya melempar senyum, meski kebanyakan nggak ada yang menanggapinya. Begini ya, rasanya jadi minoritas. Flash kamera saya matikan, biar nggak mengganggu aktivitas ibadat.
Satu hal yang akhirnya bikin saya pede seliweran ke dalam kelenteng, saat ada bule masuk, cuek aja meski dilihat bejibun orang Tionghoa. Saya akhirnya menirukan gaya bule itu, anggap saja sedang berwisata budaya. Eh, nggak tahunya pas ketemu si Akong, saya diberitahu bila kelenteng Eng An Kiong ini memang terbuka untuk umum, bagi siapa saja yang ingin belajar budaya Tionghoa Malang.
Bareng si Akong, saya diajak Selisik Budaya Tionghoa Malang di Eng An Kiong.
Museum Malang Tempo Doeloe

Ketika ditanya soal museum apa yang kamu tahu ada di Malang? Paling banter orang Malang mungkin akan menjawab Museum Brawijaya. Itu masih mending.
Pernah saya coba tanyakan kepada teman-teman yang bukan asli Malang, sebagian besar malah menjawab Museum Angkut, Museum Satwa, dan Museum Bagong Adventure.
Padahal museum-museum itu jelas-jelas ada di Kota Batu. Tapi, maklumlah namanya juga bukan orang asli Malang. Jangankan orang lain, ketidakpahaman tentang museum-museum yang ada di kota Malang juga masih saya alami kok.
Kalau bukan karena iseng dan ketidaksengajaan, mungkin saya nggak akan pernah menemukan museum di Malang yang bernama Museum Malang Tempo Doeloe. Tahunya, Malang Tempo Doeloe itu adalah nama sebuah event yang digelar tahunan di Jalan Besar Ijen, tapi belakangan sudah tak ada lagi.
Nah, ketidaksengajaan saya menemukan museum ini saat menghadiri Ultah Blogger Ngalam yang ke-8. Rupanya selain acara kopdar, panitia mengajak peserta, termasuk saya, touring lintas zaman dalam museum. Yes, di museum yang terletak di Jalan Gajahmada atau belakang Balaikota Malang inilah sejarah Malang dari waktu ke waktu bisa saya kenali.
Karena saat masuk ‘gratisan’ saya sampai Dusel-Duselan di Museum MTD
Alun-Alun Kota Malang

Alun-alun segede lapangan juga menemukannya karena ketidaksengajaan? Bagi orang Malang mungkin konyol jika beneran mengalaminya. Tapi, kan saya bukan orang Malang. 🙂
Iya, pas awal-awal ke pusat kota Malang, tepatnya tahun 2007, saya memang penasaran dengan Masjid Jami Kota Malang. Rupanya konsep Alun-Alun Malang mengadopsi arsitektur lanskap kolonial di mana lokasinya tepat di depan Masjid Jami.
Nah, Alun-Alun Kota Malang ini sekarang sudah banyak berbenah. Di masa lalu, Alun-Alun Malang masih banyak dijumpai beragam pedagang kaki lima, yang juga menjajakan beragam kuliner khas Malang.
Tapi, di masa sekarang, atau lebih tepatnya sejak selesai direnovasi, Alun-Alun Kota Malang lebih bersih. Bebas dari pedagang kaki lima. Di akhir pekan atau malam hari, Alun-Alun Kota Malang sangat ramai, sehingga kurang begitu nyaman untuk sekadar melepas penat.
Namun, pada kesempatan yang nggak disengaja, senin pagi pas dari kelenteng Eng An Kiong, saya sempatkan mampir di Alun-Alun Kota Malang. Sepi, nggak banyak orang, saya pun bisa bebas merasakan apa yang disebut taman kota yang sebenarnya. Bersih, segar udaranya dan yang pasti nyaman.
Sampai-sampai saya Ketemu Lee Min-ho di Alun-Alun Malang
Ketiga tempat tersebut memang kurang begitu ngehits jika dibandingkan dengan Matos, MOG atau Pasar Besar. Tapi, percayalah, jika ingin menikmati wisata yang anti-mainstream dan kamu mengaku bangga dengan pariwisata kota Malang, tiga tempat tersebut layak kamu jadikan jujukan.
Yuk, dukung terus pariwisata kota Malang dengan meramaikan beragam destinasi wisatanya. Sekali lagi, “Selamat Ulang Tahun Kota #Malang102”.
klenteng itu bayar ngga sih?
SukaDisukai oleh 1 orang
Gratis gratis gratis 🙂
SukaSuka