Selisik Budaya Tionghoa Malang di Eng An Kiong


DSCN2937.JPG
Selisik Budaya Tionghoa Malang di Eng An Kiong [Fotografer: Iwan Tantomi]

Akhir pekan memang bakal berujung garing bila hanya dihabiskan di dalam ruangan sempit sambil menonton TV atau film seharian. Bosan, sudah barang tentu menghinggapi jika kegiatannya seperti itu-itu saja. Biasanya, jika harus berakhir pekan di rumah, anggap saja karena hujan, saya memilih menyibukkan diri untuk mengkhatamkan novel, menulis cerpen sambil berkhayal ke sana-kemari atau membuat ulasan perjalanan di blog.

Nah, soal review di blog nih, jika satu per satu tempat yang saya kunjungi sudah terulas semua, lama-lama stok ide menulisnya bakal habis juga. Mau nggak mau saya harus melalang buana dulu. Nggak selalu jauh hingga berhari-hari traveling. Kadang banyak tempat unik di sekitar yang belum sempat dikunjungi, namun berpotensi menawarkan keunikan tersendiri. Setelah menimbang-nimbang, enaknya pergi ke mana, akhirnya laju kaki saya membawa berkunjung ke Eng An Kiong.

What’s that?

Dilihat dari namanya, Eng An Kiong, bisa dipastikan berhubungan erat dengan segala hal yang berbau Chinese. Alright! Eng An Kiong merupakan nama sebuah kelenteng yang berada di Kota Malang. Lebih dari rumah ibadat biasa, kelenteng ini sudah berusia 191 tahun. Inilah yang menjadi keunikannya, hingga saya tertarik datang melihat langsung peninggalan budaya Tionghoa tertua di Kota Malang ini.

Find the Location!

Kelenteng Eng An Kiong berlokasi di dekat perempatan Jalan RE Martadinata Malang. Jika membawa kendaraan pribadi, bisa menyusuri Jalan Pasar Besar hingga ke perempatan belok kanan ke arah Jalan Martadinata. Atau jika dari arah Stasiun Kota Malang, bisa menyusuri Jalan Trunojoyo, bersambung ke Jalan Gatot Subroto, hingga perempatan Jalan Pasar Besar, lurus ke arah Jalan Martadinata. Tepat di sebelah kiri jalan, dekat Poslantas Martadinata, ada bangunan berwarna serba merah. Itulah kelenteng Eng An Kiong.

Bagi yang ingin memanfaatkan transportasi umum, dari Terminal Arjosari bisa naik angkot trayek Arjosari-Borobudur-Gadang (ABG). Angkot yang juga melintasi Stasiun Kota Malang ini, dapat langsung membawa penumpang turun tepat di depan gapura kelenteng. Jika baru pertama kali naik angkot (ini), tinggal bilang ‘turun di kelenteng’, nanti supir akan memberitahukan jika sudah sampai.

Sayangnya, nggak ada angkot dari arah Terminal Landungsari yang bisa turun tepat di depan kelenteng. Namun, penumpang bisa naik angkot trayek Landungsari-Dinoyo-Gadang (LDG) dari terminal Landungsari dan turun di Pasar Besar. Dari sana tinggal jalan sekitar 100 meter menyusuri trotoar ke arah perempatan Poslantas Martadinata. Bila kurang yakin, bisa tanya ke beberapa orang di sepanjang trotoar arah kelenteng. Baru setelah sampai di perempatan Jalan Martadinata, di seberang jalan terlihat Eng An Kiong.

Back to Eng An Kiong’s History

Tiba-tiba pengin ke kelenteng bukan lantas saya pengin diramal atau biar dapat lontong Cap Go Meh – walau saat itu di kelenteng lagi ada persiapan perayaan Cap Go Meh untuk keesokan harinya, 22 Februari 2016. Namun, saya hanya ingin belajar langsung apa yang menjadi keunikan budaya di kelenteng ini. Dari beberapa tanya-jawab yang saya lakukan pada salah seorang sesepuh kelenteng, saya mengetahui bila kelenteng ini didirikan oleh seorang Letnan bernama Kwee Sam Hway.

DSCN3033
Gerbang kelenteng Eng An Kiong di Jalan RE Martadinata [Fotografer: Iwan Tantomi]

Tanpa saya minta lanjut, si Akong yang kebetulan habis berdoa, tancap bercerita. Wah, saya yang antusias langsung saja menyimaknya dengan saksama. Menurut si Akong, konon setelah 400 tahun berlalu setelah Laksamana Cheng Ho berhasil datang ke Pulau Jawa, ada seorang Jenderal dari Dinasti Ming yang berkuasa di Tiongkok. Jenderal tersebut memiliki keturunan hingga masa kekuasaan Dinasti Jing.

Karena terus ditekan oleh penguasa Dinasti Jing, keturunan jenderal tersebut akhirnya terpaksa melarikan diri dan mendarat di Jepara, Jawa Tengah, Indonesia. Di Tanah Air, salah seorang keturunan jenderal tersebut menikah dengan seorang putri di Sumenep. Diketahui putri tersebut merupakan keturunan Tionghoa yang leluhurnya dulu mendarat kali pertama di Pulau Madura.

Dari pernikahan itulah Kwee Sam Hway lahir. Ketika besar, Kwee Sam Hway yang merupakan seorang Letnan sekaligus keturunan ke tujuh Jenderal dari Dinasti Ming, memutuskan berkelana dari Sumenep. Sampai akhirnya menemukan sebuah tempat di Kota Malang. Lantas, di sanalah Eng An Kiong mulai didirikan pada 1825.

DSCN2935.JPG
Eng An Kiong yang bermakna Istana Keselamatan Dalam Keabdian Tuhan ini kini dikelola pihak yayasan [Fotografer: Iwan Tantomi]

Nama ‘Eng An Kiong’ sendiri bermakna Istana Keselamatan Dalam Keabdian Tuhan. Sepeninggal Kwee Sam Hway, tempat ibadat yang juga dijadikan kediaman keluarga ini, diteruskan oleh keturunannya. Hingga sekarang, kelenteng ini dikelola oleh Yayasan Eng An Kiong. Setelah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya, Eng An Kiong pun nggak lagi sebatas rumah ibadat, melainkan destinasi budaya dan peninggalan sejarah yang masih lestari di Kota Malang.

Eng An Kiong Right Now!

Sejak diresmikan sebagai cagar budaya oleh Pemkot Malang, semua orang dari beragam latar belakang kini bisa bebas seliweran berkunjung ke kelenteng ini. Hanya saja, kita yang nggak menganut keyakinan Tri Darma (Konghucu, Tao dan Buddha Mahayana), kudu respek dan bisa menghormati setiap umat yang sedang berdoa di Eng An Kiong ini. Termasuk nggak gaduh, jeprat-jepret semaunya sendiri apalagi sampai selfie seenak hati.

DSCN3018
Sekalipun tidak dikenakan tarif masuk, sebisa mungkin pengunjung menghargai aktivitas ibadat di kelenteng [Fotografer: Iwan Tantomi]

Perhatikan kondisi dan situasi jika ingin mengambil dokumentasi – bukan artinya mengendap-endap. Jikalau ingin memotret, saran saya non-aktifkan suara shutter dan sebisa mungkin nggak menggunakan flash. Karena bagaimana pun Eng An Kiong adalah rumah ibadat. Jika kita bisa menjaga sopan santun, menghargai aktivitas ibadat dan menghormati keyakinan satu sama lain, mereka pun akan balik menyambut kita dengan ramah.

Sekadar informasi, masuk ke sini nggak dikenakan tarif biaya masuk. Cuma, kudu lapor ke satpam perihal kepentingan datang ke sana. Seperti kebanyakan bangunan kelenteng, setelah gapura akan langsung memasuki area halaman depan yang luas. Fungsinya pun nggak sebatas sebagai area parkir, namun juga untuk menggelar beragam upacara keagamaan, seperti Cap Go Meh maupun atraksi barongsai. Nggak ketinggalan tungku pembakaran kertas (jin-lu) dan sepasang singa batu menghiasi halaman Eng An Kiong.

DSCN2934
Halaman Depan kelenteng dihiasi jin-lu, dua singa batu dan tentunya nok atap berhiaskan naga yang unik khas arsitektur Tionghoa [Fotografer: Iwan Tantomi]

Dari halaman depan, ada bangunan utama kelenteng yang biasa dikenal sebagai Ruang Suci Utama. Bangunan ini merepresentasikan arsitektur Tionghoa yang sangat detail dan indah. Yang paling mencolok adalah bentuk nok atap yang melengkung ke bawah bagian tengahnya serta meruncing ke atas bagian ujungnya. Tambahan hiasan naga yang saling berhadapan di atas nok atap kian menguatkan unsur Tionghoanya. Menurut si Akong, kedua naga tersebut sedang memperebutkan ‘mutiara surgawi’ – hiasan di nok yang berada di antara hiasan naga yang saling berhadapan.

DSCN2991
Struktur Rangka Atap Terbuka, ciri khas arsitektur Tionghoa [Fotografer: Iwan Tantomi]

Saya sangat takjub melihat detail arsitektur kelenteng ini. Kelihaian arsitek Tionghoa dalam menukangi sebuah bangunan tampak jelas di Eng An Kiong. Mulai bangunan teras yang mengadopsi elemen struktural terbuka khas rumah-rumah orang Tionghoa pada umumnya. Sebut saja rangka atap yang biasanya ditutupi asbes, struktur rancang bangun Tionghoa justru membiarkan langit-langit terbuka, terlihat begitu saja rangka atapnya.

DSCN2972
Dari teras Ruang Suci Utama, altar utama yang berisikan pedupaan, terlihat. [Fotografer: Iwan Tantomi]

Tentunya rangka atap yang terbuka tersebut dirancang sedemikian rupa, sehingga tampak indah. Ciri lain struktural terbuka ini juga bisa diamati pada penyangga atap yang dibikin detail dengan beragam ornamen. Sementara di bagian dinding, terdapat lukisan timbul para dewata. Semuanya didominasi warna merah yang menurut si Akong menyimbolkan warna api dan darah. Kedua unsur tersebut dihubungkan dengan kemakmuran, keberuntungan, kebajikan, kebenaran dan ketulusan.

 

Ruang Suci Utama ini nggak begitu luas. Dari teras bahkan terlihat altar utama yang berisikan pedupaan di atas meja. Selain batang hio yang selalu mengepulkan asap, juga bisa dijumpai sesajen berupa buah-buahan dan kue. Menurut si Akong, karena mau merayakan Cap Go Meh, jadi banyak sesajen untuk para dewa. Yang menarik ada gian-tong atau vas kayu yang biasanya digunakan untuk meramal. Gian-tong ini berisi bilah kayu (bu-qian). Apabila dikocok, bu-qian yang bernomor ini akan jatuh. Kemudian, mengambil secarik syair dalam kertas sesuai nomor pada bu-qian. Nah, syair itulah yang dianggap jawaban dari dewa – menurut kepercayaan Tionghoa.

DSCN2988
Meja di altar, selain berisi hio juga patung Buddha dan Dewata [Fotografer: Iwan Tantomi]

Sementara altarnya sendiri berisikan beberapa patung dewa yang merepresentasikan kelenteng ini. Menurut si Akong, patung yang menempati altar utama Eng An Kiong merupakan Dewa Bumi. Hal ini karena mata pencaharian penduduk di sekitar Eng An Kiong waktu itu sebagian besar bertani. Arsitektur kelenteng ini juga menghadirkan courtyard. Nggak tepat berada di tengah, melainkan di bagian kiri dan kanan Ruang Suci Utama.

 

Masing-masing courtyard menampilkan beragam ‘patung dewata’, begitu kira-kira yang disampaikan si Akong . Namun, yang jelas, detail taman yang ada courtyard ini sangat indah. Bahkan, courtyard sebelah kanan ada ikan koinya pula. Praktis, memberikan kedamaian tersendiri saat memandanginya. Selain bagian dari ciri khas arsitektur Tionghoa, kehadiran courtyard juga difungsikan sebagai ventilasi dan sirkulasi.

 

Apabila diamati desain rancang bangun kelenteng ini dibuat segiempat. Dan menurut si Akong, beberapa di antaranya merupakan ruang tambahan yang dibangun seiring perkembangan zaman, sesuai kebutuhan. Meski begitu, saya nggak sampai masuk ke dalam-dalam banget. Mengingat pas masuk saja, seisi kelenteng menatap saya ujung rambut sampai ujung kaki – gimana nggak, orang yang bukan Tionghoa saya doang.

Cap Go Meh Celebration

Keesokan harinya (22/2), di Eng An Kiong ada perayaan Cap Go Meh. Melalui informasi yang saya peroleh dari Pak Polisi – yang tiba-tiba bertanya ke saya saat sedang motret plang jalan RE Martadinata, Cap Go Meh bakal digelar pagi-pagi sekali. Apalagi perayaan tahun ini bakal menampilkan atraksi barongsai terpanjang dari yang sebelum-sebelumnya. Pastinya, bakal menjadi event menarik yang nggak boleh dilewatkan, di samping kenikmatan lontong Cap Go Mehnya sendiri.

DSCN3031.JPG
Plang Jalan RE Martadinata [Fotografer: Iwan Tantomi]

Saya yang memang nggak pernah berkesempatan menyaksikan Cap Go Meh, sudah barang tentu antusias ingin menyaksikan langsung perayaan hari ke-15 pasca Imlek ini. Namun, rencana datang pagi buta nggak berjalan semestinya. Macet di awal pekan membuat saya akhirnya baru tiba di depan kelenteng jam 7.30 pagi. Nggak ada penutupan jalan, nggak ada barongsai atau apapun yang merujuk ke Cap Go Meh. Mungkin saya telat! Hanya itu yang saya pikirkan sambil tertunduk kecewa meneruskan langkah ke arah kerja.

Setelah saya pikir Cap Go Meh sudah selesai, nggak tahunya teman saya bilang sedang ada di Eng An Kiong menyaksikan perayaan Cap Go Meh. Rupanya, saya salah informasi. Cap Go Meh baru dimulai pukul 10 pagi. Mau ke sana posisi sudah duduk manis di kantor, nggak mungkin juga tiba-tiba nyelonong kabur hanya untuk mencicipi lontong Cap Go Meh sambil lihat barongsai. Akhirnya, saya hanya memantau live tweet acaranya saja.

Dari laman media diinformasikan Cap Go Meh di Eng An Kiong tahun 2016 menyajikan 2500 lontong Cap Go Meh. Menariknya, hidangan ini disajikan halal, sehingga semua elemen masyarakat, baik yang beragama Konghucu, Kristen maupun Islam, bisa datang mencicipinya. Saya jadi ingat perkataan si Akong, Cap Go Meh di Eng An Kiong selalu antusias dinanti semua warga sekitar. Tak ada kecurigaan satu sama lain, sehingga suasana yang terbentuk selalu aman dan nyaman. Itu pula yang menjadikan kunci sukses Eng An Kiong bisa bertahan di Kota Malang hingga 191 tahun. Sayang, saya belum bisa menghadirinya langsung.

Meski begitu, saya patut berterimakasih, karena mereka begitu toleran sekaligus menghargai umat lain yang ingin mengenal budayanya. Andai saya hanya memilih bermalas-malasan saja, mungkin hal-hal unik nan berbeda seperti Eng An Kiong ini nggak akan pernah saya kenali. Satu lagi, jangan berpikiran picik jika ingin mengenal hal baru. Itu!

Iklan

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

6 tanggapan untuk “Selisik Budaya Tionghoa Malang di Eng An Kiong”

    1. Jiyaaah, panjang umur amat ni orang, baru aja stalk ig-nya yg gelayutan di Tangkahan, eh, udah muncul di sini, hahaha.

      Ngomongin cap go meh, lontongnya doang gue yang kesampaian mas.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.