
Kala orang-orang ramai menyambut gerhana matahari, saya justru teringat mendiang kakek. Beliaulah yang gemar bercerita tentang gerhana matahari. Apalagi saya cucu pertama yang selalu diajak ke mana-mana. Sekalinya ke sawah, mencari dahan bambu kering untuk kayu bakar, atau sebatas dibonceng sepeda kumbang berkeliling desa, kakek tak pernah melupakan cerita tentang kekalutannya, atau kalau menurut anak muda zaman sekarang dikenal sebagai hectic, saat melihat langsung gerhana matahari untuk pertama kali.
Seperti kebanyakan orang Jawa, apalagi Jawa Kuno, yang mengakui secara baik mitos di balik terjadinya gerhana. Kakek saya percaya, bila adanya gerhana sebagai tanda peristiwa buruk yang sedang atau bakal terjadi. Menurut kakek, gerhana merupakan ulah Batara Kala. Karakter yang hingga saat ini masih saya kenal sebagai tokoh legenda ini, sekali lagi menurut kakek diceritakan sebagai sebuah kepala yang menelan Dewi Ratih; sosok yang tak lain jelmaan dari bulan di malam hari dan matahari di siang hari.
Saya yang kebetulan dianugerahi pikiran yang tidak gampang usang alias pelupa, ingat betul bila dari semua gerhana, kakek menyebut gerhana mataharilah yang paling menyeramkan. Akibat ulah Batara Kala, bumi tak lagi bercahaya. Siang yang sejatinya terang benderang, mendadak gelap gulita layaknya malam. Nah, bagian yang tak pernah saya lupa, untuk mengusir kegelapan akibat gerhana matahari tersebut, masyarakat sekampung Glagaharum, desa di mana saya dilahirkan, saling beradu bebunyian. Bapak-bapak membuat bunyi-bunyian dengan menabuh timba dari seng dan kentungan bambu yang biasa dibikin untuk meronda. Sementara, ibu-ibu ikut meramaikan dengan menabuh alat-alat dapur, seperti panci, dandang, wajan hingga lesung yang dibunyikan secara ramai-ramai.

Sebagai anak yang berusia 10 tahun, pertanyaan yang saya sampaikan waktu itu tampaknya cukup tepat, soal kenapa tak ada anak-anak yang ikut membuat bunyi-bunyian pula? Menurut kakek, Batara Kala suka memakan anak-anak, sehingga saat terjadi gerhana, kebanyakan anak-anak disuruh sembunyi di kolong-kolong ranjang besi khas zaman dulu. Termasuk ibu saya yang waktu itu usia 12 tahun, diminta Kakek tetap sembunyi di dalam kolong melindungi enam adiknya. Ibu saya terpaksa menjadi kakak tertua, setelah kakaknya yang merupakan anak pertama dari delapan bersaudara meninggal dunia karena demam berkepanjangan pada usia 10 tahun.
Selayaknya anak usia 10 tahun yang mendengarkan kakeknya bercerita dengan mimik dan gimik yang menggebu-gebu, saya hanya terkesiap percaya, melongo dan pastinya manggut-manggut menyimak secara saksama perjuangan warga desa agar terbebas dari kutukan Batara Kala. Walau cerita tentang gerhana – yang diingat kakek dari peristiwa gerhana matahari total tahun 1983 – ini sudah berulang kali diceritakan, tetapi kakek selalu menyelipkan pesan yang sama pada saya. Pesan yang akan saya ingat kelak, jika benar-benar bisa menyaksikan gerhana matahari total sungguhan, yaitu jangan pernah menatap langsung ‘Batara Kala yang memakan Dewi Ratih di siang hari’ atau gerhana matahari. “Kenapa kek?” Tanya saya. “Matamu bisa diambil Batara Kala, karena dia sendiri sebenarnya buta!” Jawab Kakek.
Terlepas dari benar-tidaknya cerita yang disampaikan kakek, saya tak pernah bisa melupakan cerita itu. Sebab, setiap kali saya membahas tentang gerhana, seketika itu pula kenangan manis bersama mendiang kakek terlintas dalam benak saya. Hingga fakta yang ada benar-benar saya ketahui dari ensiklopedia, bila apa yang disampaikan kakek tidak salah. Hanya dengan interpretasi berbeda. Radiasi sinar ultraviolet yang dihasilkan dari gerhana matahari cukup kuat, hingga bisa membakar kornea mata atau menyebabkan kebutaan saat dilihat secara langsung.

Rupanya, seiring dengan modernitas zaman, pola pikir terhadap gerhana matahari total yang bakal kembali terjadi 9 Maret 2016 nanti, ikut berubah. Kisah Batara Kala yang memakan Dewi Ratih tak lagi menakutkan. Sebaliknya, justu mengundang banyak perhatian, hingga objek minat khusus bagi wisatawan. Belitung sebagai salah satu destinasi wisata dengan pantai bersih, berair jernih dengan batuan granitnya yang khas, bakal menjadi salah satu titik lokasi untuk menyaksikan fenomena alam langka ini.
Terlebih, menurut lansiran detikTravel, untuk menyambut aksi Batara Kala, Belitung bakal menggeber serangkaian acara, seperti event Belitung Ultra Beach Run, Belitung Lantern Run hingga Belitung Photography Trip. Bagi setiap travel blogger, fenomena ini bakal menjadi suguhan momen menarik yang layak untuk dijadikan topik ulasan berkualitas, apalagi bisa jalan bareng detikTravel yang oke punya. Hmm… pastinya bakal menjadi traveling unik yang tak pernah saya lupa, jika memang saya beneran salah satu 20 blogger terpilih, misalnya.
“Kakek, doakan saya cukup usia, menyaksikan langsung teater alam antara Batara Kala dan Dewi Ratih, seperti yang Engkau elu-elukan.” Ah, andai Engkau masih hidup, niscaya aku akan mengajakmu melihat langsung gerhana matahari total, yang tak membutakan, yang lebih aman, tahun ini. Terimakasih kakek.
Diundang? Tah ikutan? 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Diundang untuk ikutan 😀
SukaSuka
wah asik juga tuh.. kakeknya masih menyimpan cerita yaaa…
SukaDisukai oleh 1 orang
Kakek saya gemar membaca soalnya, jadi ingatannya cukup kuat, apalagi untuk sebuah fenomena alam, waktu pas cerita juga masih usia 48 tahun, tapi saya sudah kelas 1 SD 😊
SukaSuka
Itu daerah mana kakeknya kakak? Jadi pingin ikut nulis cerita begituaan…
SukaSuka
Daerah Sidoarjo, sebelah selatan Surabaya, sekarang jadi area genangan lumpur lapindo. Dari ensiklopedia yang pernah saya baca, gerhana matahari total ’83 memang melintasi Surabaya, jadi terlihat dan terasa jelas bagi penduduk di wilayah Jawa Timur, khususnya Surabaya dan sekitarnya, termasuk Sidoarjo.
SukaSuka