
Perhaps you will think why I (have to) put ‘again’ between two words or why I (must) write like that? If you guess it’s just an art of writing, I give you my honest smile, but if you can think more till have a question like what I wrote, I will be keen to give you two thumbs up!
Anyway, penambahan kata ‘again’ yang kalau diartikan dalam Bahasa Indonesia bermakna ‘lagi’, memang bukan tanpa alasan. Batam sebagai salah satu magnet belanja barang murah memang telah saya sapa untuk ke dua kalinya. Masih dengan perjalanan saya di Bintan. Setelah muter-muter ke beberapa daerah yang teramat amazing, teman saya memutuskan untuk mengajak menyeberang ke Batam. Jika dilihat di peta jarak Bintan dan Batam memang cukup berdekatan, sehingga disayangkan juga jika sudah sampai di Bintan tapi nggak mampir ke Batam.
Saya memang sempat bikin list beberapa lokasi di Batam dalam itinerary. Tapi, itu saya anggap opsional atau sunnah, karena wajibnya adalah Bintan! Lagipula, seperti yang saya bilang sebelumnya, saya sudah pernah ke Batam, walau nggak bisa saya bilang sepenuhnya ‘saya sudah menjelajahi Batam’ karena kenyataannya waktu itu hanya muter-muter doang di Nagoya Hill dan Ocarina! Itupun hanya bonus dari sebuah event yang kebetulan dilaksanakan di Batam.
Alasan ke dua, kenapa saya nggak memprioritaskan Batam, karena faktor duit! Biaya hidup yang cenderung mahal dan ingar-bingar perkotaan yang buat saya pribadi sudah terlalu membosankan, sementara ongkos traveling (baca: jalan-jalan gembel) yang pas-pasan, bikin saya nggak lagi selera ke Batam. Ada sih pantai, tapi saya mempertimbangkannya cukup matang, mengingat Minggu ke Tiga di bulan Desember adalah libur panjang Natal dan Maulid Nabi yang kebetulan barengan. Bisa dipastikan Batam yang sudah terkenal, bakal dibanjiri lautan manusia yang ingin liburan. Dan… itu bukan momen yang saya idamkan!
Jauh-jauh dari Malang, saya hanya ingin menikmati pantai yang masih alami dan pastinya nggak terlalu ramai, syukur-syukur sepi. Karena itulah hakekat liburan, mencari ketenangan dan kembali menikmati alam. Daripada Batam, Bintan-lah yang menurut saya paling cocok dengan suguhan alam yang saya harapkan. Tapi, jika memang ada tawaran ke Batam, saya iyakan aja sih, asal destinasinya ke Batam Center dan Balerang Bridge. Dua ikon kondang yang nggak kesampaian pas saya lagi di Batam sebelumnya dan ingin saya wujudkan mumpung ada di Bintan, misalnya.
I still don’t believe My Optional Dreams will Come True
Mungkin setelah saya bercerita panjang lebar ingin ke Balerang dan kebetulan teman saya yang di Bintan juga belum pernah ke sana, akhirnya kami benar-benar memutuskan ke Batam. Sambil cengar-cengir, saya masih nggak percaya mimpi yang tadinya hanya saya angankan sebentar lagi kenyataan. Whoa! Mengawali perjalanan, kami berangkat dari Busung menuju Tanjung Uban. Karena mengejar kapal Roll On Roll Off (RoRo) keberangkatan 6.30 pagi, kami sengaja berangkat pagi-pagi sekali. Dengan kecepatan 60-80 km/jam dalam kurun waktu 30 menit akhirnya tiba di Pelabuhan Tanjung Uban.

Sekadar info, Tanjung Uban atau masyarakat Bintan biasa menyebutnya Uban saja, merupakan Kota Kecamatan di wilayah Bintan Utara. Bisa dibilang Tanjung Uban adalah pusat perekonomian masyarakat terbesar ke dua di Bintan setelah Tanjung Pinang. Di sana banyak dijumpai fasilitas publik yang cukup lengkap, seperti ATM, bank, toko pakaian, furnitur, otomotif, elektronik hingga kafe lumayan bertebaran. Meski landmark kotanya hanya berhiaskan ruko 2-3 lantai yang nggak begitu panjang layaknya di Kijang Kota apalagi Nagoya Hill Batam, tapi cukup mampu menjadi magnet perekonomian, khususnya di wilayah Bintan bagian Utara.
Selain karena infrastruktur yang memadai, Tanjung Uban cukup dikenal karena menjadi gerbang penyeberangan dari Bintan ke Batam, hingga ke mancanegara, seperti ke Malaysia dan Singapura. Tujuan kami ke Uban sebenarnya hanya lewat saja untuk menuju ke pelabuhan. Tapi, jujur, baru di Uban-lah saya menjumpai SPBU sungguhan – bukan SPBU mini ala pertamini yang kerap saya jumpai di Busung dan daerah lain di Bintan.

Sesampainya di pelabuhan, kami nggak langsung bisa naik kapal. Perlu beli karcis di loket yang sekilas saya lihat mirip pos ronda atau siskamling. Tiket atau karcis kapal RoRo dibedakan menjadi 2, yaitu tiket berdasarkan penumpang dan kendaraan. Penumpang dewasa ditarif Rp 20 ribu, sedangkan anak-anak Rp 15 ribu. Sementara tarif kendaraan dibuat seperti tarif tol dengan beberapa golongan. Paling murah golongan 1, mungkin untuk sepeda motor, dikenai Rp 16 ribu. Dan yang paling mahal golongan 8, mungkin untuk kendaraan barang ditarif hingga Rp 1 jutaan. Yang jelas nggak ada keterangan yang bisa menjelaskan masing-masing golongan tersebut.
Seriously, That Awkward Moment!
Setelah karcis didapat, kami pun langsung masuk kapal RoRo. Layaknya kapal feri, kapal RoRo dilengkapi pintu rampa yang berada di bagian haluan dan buritan kapal. Selama pelayaran, bunker kapal berubah jadi tempat parkir kendaraan, mulai motor hingga truk barang yang akan ke Batam. Tepat di atasnya terdapat anjungan yang difungsikan sebagai kabin baik untuk awak dan penumpang. Fasilitas di anjungan cukup lengkap, selain kafetaria, juga ada kamar mandi, WC, musala hingga barak untuk leyeh-leyeh juga ada. Setelah klakson kapal memekakkan telinga, perlahan kapal mulai berlayar menjauhi Tanjung Uban.

Nggak kalah dengan pesiar, setelah (menemukan) tempat duduk dalam kabin, saya langsung duduk manis menikmati pemandangan plus membiarkan telinga saya dirasuki alunan musik yang kedengarannya nggak klop dengan masa sekarang. Boro-boro ada Taylor Swift, sekeren Raisa dan Isyana Sarasvati yang (kayak) dikenal manusia seantero Indonesia saja nggak ada yang keputer lagunya. Lha, terus? Tahu sendiri, mayoritas penduduk Provinsi Kepulauan Riau adalah suku Melayu, otomatis lagunya juga Melayu. Nah, lagu Melayu-nya juga bukan yang masa kini, tapi seperti Isabella-nya Ami Search, Sinaran-nya Sheila Majid, Cindai-nya Siti Nurhaliza, Kanton-nya Zee Avi, yang memang booming era 90-an.

Ada sih band Indonesia, tapi, ya, yang diputar band-band yang sudah UZUR hingga nggak jelas keberadaannya, semacam Dadali Band, ST12, T2, dan Kangen Band. Yang terakhir saya sebutin, bikin saya keselek pas minum, kala VCD Player yang diputar menampilkan sosok vokalisnya dengan potongan rambut ikonis di layar TV yang kebetulan saya lihat! Mentok-mentok yang paling anyar adalah Selimut Tetangga miliknya Repvblik, itupun baru tahu setelah 3 kali diputar selama pelayaran!
Meski bagi saya dan mungkin kebanyakan kawula muda masa kini, lagu-lagu Melayu, selain Selimut Tetangga ini, sudah old-school banget, tapi bagi sebagian besar penumpang kapal RoRo adalah kekinian. Sebagai bukti, mulai nenek yang giginya tak lengkap, kakek-kakek yang gelundungan di barak, ibu menyusui, bapak tentara, bapak yang pakai kaus AREMA, mas-mas kasir kafetaria, segerombolan ABG alay, hingga anak-anak kecil usia SD, hafal total dan nyanyi bareng. Bener-bener, bikin saya tertawa garing melihat ke-absurd-an ini!
Demi mengalihkan perhatian saya dari awkward moment tersebut, saya memilih duduk di pinggiran kapal sambil menyaksikan dermaga, rumah apung dan kapal-kapal cantik sejak dari Tanjung Uban. Bahkan, dari atas kapal RoRo saya baru ngeh kenapa Tanjung Uban sering disebut kota pelabuhan. Karena ‘wajahnya’ memang baru tampak jika dilihat dari arah lautan, kota pelabuhan yang cantik dengan dermaga warna-warni. Dari semua kapal yang saya amati, ada satu kapal yang membuat nasionalisme saya serasa memuncak dan tersenyum bangga melihatnya. Kapal yang dinding lambungnya bertuliskan ‘WE LOVE INDONESIA’. Ah, cantiknya Indonesia-ku!
Setelah 55 menit berlalu kapal RoRo yang saya naiki mengarungi selat pemisah Pulau Bintan dan Batam, saya mulai melihat kapal-kapal besar, seperti kapal kargo, kontainer, tanker, tongkang hingga floating production bertebaran mendekati sebuah dermaga besar yang tampak modern. Whoa! There’s a Telaga Punggur’s harbour in front of me! Batam… Hello Again!
Bersambung ke Find Balerang, Help Me Google Maps!
saya aja mas, kalo ke batam paling ke nagoya hill sm ke megamall aja, soalnya di karimun nggak ada mall hiks.. jadi rindu, postinganmu bikin aku nostalgila lagi 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Yok, yok, pergi ke sana yok.
SukaDisukai oleh 1 orang