Senandung Pompong ke Pulau Kelong 2


DSC03396
Senandung Pompong ke Pulau Kelong [Hak Milik Foto: Iwan Tantomi]

Begitu terasa 45 menit berlalu, mengarungi lautan sembari diiringi musik latar etek-etek, akhirnya pompong yang saya naiki merapat ke badan pompong lainnya. Saya pikir kenapa, ternyata teman saya memberi tahu bila sudah tiba di Pulau Kelong. Bagi orang yang awam melaut seperti saya, akan selalu berpikir jika perahu atau kapal berlabuhnya di dermaga atau pelabuhan, layaknya kereta api di stasiun atau pesawat di bandara. Nggak tahunya, pompong bisa merapat di mana saja, mirip angkot yang ngetem seenak hati supirnya.

Setelah melompat dan berpegangan badan pompong lain, kaki saya benar-benar menginjak daratan merah bata Pulau Kelong. Sekadar informasi: di peta Provinsi Kepulauan Riau, nama Kelong ada dua. Keduanya adalah sebuah pulau di mana yang satu bernama Kelong saja dan satu lagi bernama Pulau Kelong. Jika menggunakan pompong dari Kijang Kota, jarak ke Kelong lebih dekat dari Pulau Kelong. Itulah yang sempat bikin saya mikir, kenapa pompong yang saya naiki nggak sampai-sampai. Rupanya teman saya tinggal di Pulau Kelong yang memang butuh mengitari beberapa pulau-pulau kecil sebelum sampai di sana.

Mirip Pulau Tasmania

Saat diberitahu teman saya yang ada di Bintan bila Pulau Kelong ini terisolasi, saya langsung membayangkan aneh-aneh. Terlebih, posisi Pulau Kelong berada di sebelah selatan Pulau Bintan – yang kalau dilihat saksama, mengingatkan saya pada Pulau Tasmania yang berada di sebelah selatan benua Australia. Negara bagian Australia yang beribukota di Hobart ini sempat menjadi pulau terisolir. Apalagi di sana terdapat hewan endemik berupa mamalia karnivora berbentuk tikus segede anjing, bergigi tajam serta bermuka seram bernama Tasmanian Devil (Sarcophilus harrisii). Sontak, langsung membuat saya menyamakan wajah Pulau Kelong layaknya Pulau Tasmania.

y1WGKkjq.jpg
Namanya Uung, dari semua anjing yang mengerubuti saya waktu tiba di Pulau Kelong, doi yang paling setia menemani penjelajahan di pulau yang mirip Tasmania ini. Gini-gini doi pemalu lho! Jarang dibelai mungkin, ya? [Fotografer: Joko Supriyanto]

Gara-gara terlalu memikirkan sosok Setan Tasmania, saya mendadak terperanjat saat digonggongi segerombolan anjing di tengah perjalanan menuju tempat tinggal teman saya di Pulau Kelong. Saya pikir Setan Tasmania, eh, tapi kok menggonggong. Saya pelototin sebentar, ternyata memang bukan tikus segede anjing, melainkan anjing beneran! Kata teman saya, anjing-anjing tersebut bakal menggonggong setiap kali menjumpai orang baru di Pulau Kelong. Lucu-lucu sih, tapi sayang nggak terurus. Mungkin mereka seperti anjing-anjing urakan tak bertuan seperti yang saya temukan di Kijang Kota.

Akhirnya, Nginep di UKS Sekolah!

Memutuskan berkunjung ke Kelong, secara tak langsung membuat saya kudu menginap di sana. Karena pompong tak ada yang balik lagi ke Kijang Kota di malam hari. Teman saya sempat bertutur, “Saya nggak indekos lho di Pulau Kelong, maaf nanti kalau tidurnya di UKS sekolah!”. Dan ternyata tidur di UKS sekolah nggak seserem yang saya kira. Mungkin karena lokasinya berdampingan dengan perkampungan penduduk, jadi setannya pada nggak mau berulah. Atau mungkin karena saya tidurnya berjamaah itu, ya, jadi nggak begitu terasa nuansa horornya? Yang jelas saya menikmatinya dan UKS sekolah di Pulau Kelong jadi penginapan paling semriwing yang pernah saya coba. Salutnya, teman saya yang ditugaskan di sana on fire banget tidur di UKS sekolah sendirian, mungkin istilah berani karena kepepet sangat berlaku buat dia.

Terisolasi Bukan Berarti Tak Terfasilitasi

Secara administratif, Pulau Kelong masuk wilayah desa Kelong. Bersama-sama dengan Kelong, Pulau Poto, Pulau Baru, Pulau Numbing, Pulau Mapur dan pulau-pulau kecil lainnya, desa Kelong masuk kecamatan Bintan Pesisir, Kabupaten Bintan. Bahkan di Pulau Kelong ini pula, kantor kecamatan Bintan Pesisir didirikan. Alih-alih terisolasi, desa Kelong justru sudah dialiri listrik meski setiap jam 6-9 pagi ada pemadaman rutin. Mungkin untuk efisiensi energi mengingat gardu listrik PLN di sini berdiri mandiri.

FMwzmkHU-001
Di UKS sekolah dasar inilah saya bermalam selama berada di desa Kelong [Fotografer: Joko Supriyanto]

Di pulau ini juga, bisa ditemukan puskesmas, pasar, masjid, sekolah SD hingga SMP. Akses jalan penghubung antar dusun juga memadai. Masing-masing rumah sudah berhiaskan parabola, yang itu artinya bisa menikmati akses informasi dan berita dari layar kaca. Secara demografis, penduduknya adalah pendatang atau transmigran dari Jawa. Sebagian lagi warga Riau asli dari etnis Melayu dan Tionghoa. Di pulau ini ada semacam Taman Pendidikan al-Quran, yang digelar setelah salat magrib. Dan yang bikin saya terenyuh dan bangga, teman saya yang sejatinya mengabdi sebagai guru bahasa Inggris, juga ikut membimbing anak-anak yang begitu antusias belajar mengaji. Duh, nggak sia-sia deh loe gue jenguk, bro! Saya pun jadi paham, bahwa tak selalu terisolasi itu identik dengan tak terfasilitasi. Catet!

Balik Ngerasain Hidup ala KKN

Diajak menginap di UKS sekolah, berkeliling desa sambil menyapa warga hingga salat berjamaah dan menyimak kegiatan mengaji anak-anak di masjid, jujur membuat saya balik merasakan euforia KKN yang sudah hilang hampir dua tahun sebelumnya. Menjalani hidup ala teman-teman SM-3T memang dituntut untuk serba mandiri dan nggak menye-menye. Termasuk kudu pinter meramu masakan sendiri – yang kadang bumbunya melenceng jauh dari standar! Sampai-sampai selama di Pulau Kelong, saya bereksperimen dengan masakan serba aneh.

DSCN1922
Masak aja bareng-bareng, terus habis itu ada yang baper, curcol, nggosip, nyanyi-nyanyi ada yang asyik berduaan pula. Halah, kurang mirip seperti apalagi coba dengan KKN? [Hak Milik Foto: Iwan Tantomi]

Untungnya, masih diterima oleh lidah atau mungkin karena nggak ada lagi yang dimakan jadi dipaksa enak di lidah. Tapi, saya cukup senang, karena dapat banyak ilmu cara memasak gonggong plus mencongkel dagingnya yang butuh ketelatenan serta mengolah ikan karang bersisik tebal yang hanya bisa dibakar! Ada pula rujak manis yang hanya berisikan cacahan timun, tapi pedasnya minta ampun. Sungguh, hidangan anti-mainstream ini nggak akan terwujud jika kami nggak hidup terasing semacam ini. Hidup ala KKN (bukan yang haram itu loh ya!) memang selalu kreatif dan inovatif!

Nambah Sehari

Keakraban yang cepat terbentuk, membuat saya ingin lebih lama bercengkerama dengan teman karib saya di Pulau Kelong. Selain alasan melepas rindu, jujur saya masih penasaran dengan bentang alam tersembunyi di pulau ini. Akhirnya saya memutuskan untuk menambah sehari lagi. Sebagai gantinya, teman saya mengajak menjelajahi beberapa spot yang membuat saya serasa bukan di Indonesia. Nggak lebay kok, karena mata saya dibikin tak berkedip saat melihat lanskap tanah merah berpadu lautan hijau dan langit biru dalam satu horison. Belum lagi untuk menemukan tempat ini perlu menerobos hutan pinus yang diapit danau dan pantai. Uwooo, seketika bikin saya berceloteh, “Kok ada, ya, tempat sangar macam gini?!”.

DSC03428-001
Speechless? [Hak Milik Foto: Iwan Tantomi]

Tapi, keriangan agak terusik dengan terik matahari yang begitu menyengat ubun-ubun. Begonya, lima orang melakukan trekking tapi hanya satu yang bawa air minum, itupun hanya sebotol. Sehingga saat airnya habis, kami jadi berjalan setengah gontai mirip zombie karena dehidrasi dan kepanasan. Tapi, teman saya cukup piawai bikin kejutan. Dia selalu sukses bikin kami melongo dengan spot yang lagi-lagi menurut saya WOW! Tapi, tetap saja setelah efek WOW-nya hilang, kami mendadak merasakan kepanasan. Hopping island pun berlanjut.

DCIM100MEDIA
Pikiran sekarang: sudah tahu kepanasan, sempoyongan karena dehidrasi, eh, sempat-sempatnya jeprat-jeprat. Pikiran dulu: kapanlagi coba ke sini? [Hak Milik Foto: Iwan Tantomi]

Biar lebih berkesan, saya sempatkan membuat video 360 derajat! Menyusuri hutan, tapi bagian atasnya begitu renggang, nggak ada kanopi yang berdekatan. Sehingga, ubun-ubun terkukus sepanjang penyusuran. Sampai akhirnya, kami tiba di pandang tandus yang hanya ditumbuhi herba dan rerumputan. Serius, panoramanya Afrika banget! Perjalanan berlanjut sambil ngos-ngosan, hingga akhirnya kami bertemu danau semacam bekas galian yang cukup luas. Sisa-sisa kemarau panjang begitu terlihat dari pemandangan di sekitarnya. Lebih spesifik lagi, bekas tanah yang merekah masih terlihat begitu jelas tergenang di bawah danau.

DCIM100MEDIA
Speechless again? [Hak Milik Foto: Iwan Tantomi]

Sebenarnya, air di danau ini tawar, tapi karena terbias langsung sinar matahari, suhunya jadi meningkat, sehingga mirip air mendidih. Kurang lebih 2 jam berlalu, kami berlama-lama menjelajahi sekaligus menikmati spot-spot menakjubkan tersebut. Kendati suhu siang hari di Pulau Kelong, panasnya gila-gilaan, tapi sekali lagi saya begitu terkesan. Tidak saja karena bisa berjumpa dengan orang-orang yang asyik plus bercengkerama dengan teman karib. Lebih dari itu saya bisa menerapkan kaidah ‘traveling is not the destination, but the journey’. Sebuah penjelajahan yang benar-benar bisa saya nikmati dari perjalanan saya. Arrrgh! Keindahan Indonesia memang tiada habisnya!

Iklan

Diterbitkan oleh

Iwan Tantomi

A strong walker who likes to travel and eat Indonesian foods. Also a professional editor, a blogger, a man behind the camera. And, wanna friendship with me?

7 tanggapan untuk “Senandung Pompong ke Pulau Kelong 2”

Tinggalkan Balasan ke Avant Garde Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.