
Seperti namanya, Provinsi Kepulauan Riau memang terdiri dari beberapa pulau. Bahkan, saking banyaknya dari jendela pesawat terlihat seperti cendol dengan bentuk dan ukuran yang nggak beraturan. Awalnya di Kepulauan Riau, saya hanya mengagendakan jalan-jalan di Bintan, nggak tahunya teman saya yang merupakan guru SM-3T memberikan banyak list destinasi untuk melengkapi itinerary saya selama di Bintan. Nah, di dalam list tersebut ada Pulau Kelong (dibaca seperti kata ‘gentong’ atau ‘engkong’).
Dari cerita teman saya, akses menuju Pulau Kelong terbilang sulit. Jarang ada kapal besar, seperti ferry (MV) apalagi kapal Roll On Roll Off (RoRo), karena memang perairannya dipisahkan selat dengan jarak pulau yang nggak terlalu berjauhan. Selain itu, ketidaktersediaan infrastruktur pelabuhan yang memadai, menjadi alasan dermaga di wilayah ini jarang disinggahi kapal besar. Satu-satunya transportasi yang bisa dimanfaatkan adalah perahu bermotor yang biasa dikenal sebagai pompong. Perahu motor ini merupakan transportasi utama masyarakat pesisir menuju ke berbagai pulau.

Titik terdekat penyeberangan dari pulau Bintan menuju ke Pulau Kelong berada di Kijang Kota. Daerah ini sebenarnya sebuah kelurahan yang berada di kecamatan Bintan Timur. Sekitar 23 km atau 32 menit ke arah timur dari pusat kota Tanjung Pinang. Karena saya berangkatnya dari Busung, jadi perlu menempuh jarak sekitar 77,5 km selama lebih kurang 2 jam dengan kondisi jalan lancar dan kecepatan 60-80 km/jam. Sekalipun hanya sebuah kelurahan, Kijang Kota dikenal sebagai salah satu sentra perekonomian di Bintan Timur.
Ciri khas yang paling mencolok dari Kijang Kota adalah infrastruktur berupa ruko berderet 2-3 lantai yang mengapit jalan raya, mirip Nagoya Hill yang ada di Kota Batam. Mulai warung makan, restoran, toko pakaian, toko bangunan, dealer, bank hingga toko elektronik bisa ditemukan di masing-masing ruko tersebut. Wajar jika masyarakat sekitar sering menyebut kelurahan ini dengan frasa terbalik, Kota Kijang, karena memang lebih cocok menjadi perkotaan.

Pemandangan unik lainnya yang juga nggak terlepas dari Kijang Kota adalah anjing. Seperti wilayah Bintan kebanyakan, anjing di Kijang Kota sudah mirip kucing di Jawa. Seliweran ke sana-kemari. Namun, nggak perlu takut digigit karena anjing-anjing di sana cenderung cuek, bahkan takut sama manusia. Yang paling saya ingat adalah anjing segede kambing yang tidur dengan pulas di lorong jalan menuju pelabuhan. Sampai-sampai teman saya ada yang mencoba usil dengan menggertaknya, eh, doi malah asik bobok manis!
Setibanya di Kijang Kota, kami langsung menuju pelabuhan Barek Motor, tempat pompong yang akan membawa saya menuju Pulau Kelong berada. Jika membawa kendaraan pribadi, bisa langsung ditinggalkan di kerumunan parkiran motor. Asal, dikunci secara aman. Masyarakat di sana sudah terbiasa meninggalkan begitu saja kendaraannya untuk naik pompong. Sedikit tak biasa bagi orang yang biasa tinggal di tempat yang tingkat kriminalitasnya tinggi. Tapi, itulah fakta di Kijang Kota, beberapa kendaraan yang terlihat terparkir ketika saya mau menyeberang, masih tetap sama posisinya hingga saya balik dari Pulau Kelong.

Perjalanan menuju Kijang Kota lumayan bikin napas terengah-engah, karena harus memburu pompong terakhir yang melayani penyeberangan. Sekadar informasi, pompong hanya ada mulai pukul 10 pagi, 12 siang serta jam 3 dan 5 sore. Jika punya nyali, sebenarnya bisa nebeng ke perahu nelayan, seperti yang saya lakukan saat balik dari Pulau Kelong. Perahu nelayan hampir wira-wiri 24 jam, sehingga bila beruntung bisa dapat tumpangan gratisan. Untungnya, saya tiba di Kijang Kota 15 menit sebelum pompong terakhir berangkat. Jika sampai ketinggalan, harus siap-siap balik menyusuri jalanan yang gelap-gulita atau memilih tidur seketemunya dengan ditemani anjing-anjing tak bertuan!
Karena tidak ada loket karcis, pembayaran bisa langsung diberikan ke pengemudi pompong. Sekali berlayar menuju Pulau Kelong dipasang tarif 10 ribu. Jangan lupa, untuk menanyakan apakah pompong tersebut akan ke Pulau Kelong atau tidak. Biasanya, rute menuju Pulau Kelong jadi satu dengan Tenggel dan Air Glubi. Tepat pukul 5 sore, pompong yang saya naiki akhirnya mulai berlayar.

Sekalipun pompong yang saya naiki nggak segede pesiar atau semewah yacht, tapi dengan alunan musik pop-akustik yang terdengar lewat earphone bakal membuat pelayaran saya lebih berkesan. Faktanya, kenyataan tak selalu seindah angan-angan! Boro-boro pasang earphone, saya yang sejak awal mencoba mencari tempat paling nyaman dan lengang, malah disuruh duduk oleh pengemudi pompong di sebelahnya. Apesnya tepat di depan saya adalah mesin diesel penggerak pompong yang suara etek-eteknya sangat keras hingga meresap ke telinga alias bikin budek sementara!
Mau tak mau, panorama pulau kecil dengan pepohonan hijau nan rimbun serta tampak mengambang di atas samudera biru yang bergelombang, harus saya nikmati dengan backsound suara etek-etek pompong yang bikin gendang telinga berdendang. Sejak saat itu, saya mewanti-wanti semisal naik pompong lagi, nggak akan duduk sembarangan tepat di atas kotak mesin perahu, pun duduk di sebelah pengemudinya. Pantas, tiap kali saya tanya atau ajak bicara, si pengemudi cuma bilang, “APA?!”, dengan suara yang nggak kalah kerasnya dengan bunyi mesin pompong. Orang setiap hari mendengarkan backsound pompong!
Bersambung ke Senandung Pompong ke Pulau Kelong 2
itu taksinya bayarnya mahal nggak tom?
SukaDisukai oleh 1 orang
lumayan lah, nyampek 100 ribuan, sangat nggak disarankan.
SukaSuka
owalah, ini taksi bandara ke pinang itu kan?
SukaDisukai oleh 1 orang
Yossss.
SukaDisukai oleh 1 orang