
Daerah pertama di Bintan yang saya eksplorasi adalah Busung. Daerah ini merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Seri Kuala Lobam, Kabupaten Bintan. Secara budaya, masyarakat di sini merupakan warga asli Bintan dari etnis Melayu. Sisanya dari etnis Tionghoa, pendatang dari Jawa dan peranakan campuran. Mayoritas beragama Islam dan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Melayu. Kesan pertama saya di sini pun seolah hidup berdampingan dengan Upin Ipin di dunia nyata.
Di balik budaya unik dan membuat saya tertawa sendiri ketika mendengar dialog plus dialek mereka, Busung menyimpan pesona alam yang nggak kalah mengagumkan. Saya termasuk beruntung, karena dari beberapa tempat yang saya kunjungi di Busung, belum begitu komersil. Sehingga, pada saat mengunjungi tempat-tempat indah tersebut berasa menikmati surga pribadi. Nggak percaya? Ini dia beberapa tempat menarik di Busung dan sekitarnya yang saya singgahi.
Gongseng

Namanya memang mirip makanan, Tongseng, tapi Gongseng merupakan ceruk bekas galian pasir yang berisi genangan air. Karena tekstur tanahnya berpasir dan lumayan dalam, air yang menggenang sangat jernih. Ukurannya juga lumayan luas, sehingga menyerupai sebuah danau dengan air berwarna tosca, layaknya Kakaban tapi nggak ada ubur-uburnya. Ketika saya ke sana, sangat sepi, bahkan hanya saya dan dua rekan SM-3T. Tanah yang mengeras dan memutih mirip tebing kapur dengan pepohonan hijau yang mengelilingi, membuat pemandangan Gongseng kian menawan di ufuk senja.
Secara administratif, Gongseng masuk wilayah desa Kuala Sempang, kecamatan Seri Kuala Lobam. Namun, karena letaknya berdekatan dengan Busung, Gongseng kerapkali dikaitkan sebagai salah satu ikon alam Busung. Danau bekas galian ini agak terasing, jika tidak ditemani oleh penduduk sekitar atau orang yang pernah ke sana bakal kesulitan menemukannya.
Selain harus menerobos semak belukar, ada banyak jalan makadam bercabang. Kadang jalannya juga becek dan putus karena terendam luberan air danau bekas galian sejenis di sepanjang jalan menuju Gongseng. Tapi, setelah menemukannya, dijamin bakal melongo karena takjub dengan keindahan Gongseng yang tak terduga sebelumnya. Sudah ke sananya tanpa karcis alias gratis, kita pun bisa berenang sepuasnya.
Bukit Pasir

Di tempat ini, saya bisa melihat pemandangan mirip Bukit Cokelat di Bohol, Filipina. Bedanya, bukit di Busung berwarna putih dan lebih menyerupai gumuk pasir. Dari jauh memang serupa pasir, tapi setelah didekati ternyata material yang membentuk perbukitan ini sangat kasar serupa garam yang baru dipanen.
Konon, Kabupaten Bintan dikenal sebagai salah satu pemasok pasir galian ke Singapura. Negeri 1001 Larangan tersebut memang getol memperluas daratannya dengan cara reklamasi. Salah satunya dengan mengimpor pasir dari Indonesia, dalam hal ini Bintan. Bekas galiannya, selanjutnya membentuk ceruk-ceruk luas yang jika tergenang menyerupai danau, seperti Gongseng.
Seiring dengan perkembangannya, muncul kebijakan pelarangan ekspor pasir ke luar negeri, termasuk Singapura. Akibatnya, pasir galian yang sudah terlanjur ditambang dibiarkan di satu tempat hingga membentuk bukit-bukit kecil. Bisa jadi karena mengalami berbagai proses alam, butiran pasir mengeras dan membentuk kristal garam seperti sekarang.
Sekalipun belum begitu komersil, tetapi masyarakat Busung cukup tahu saat ditanya dimana lokasi Bukit Pasir berada. Tempatnya tidak terlalu terasing, bahkan dekat jalan raya. Waktu paling baik untuk datang ke sini adalah senja menjelang magrib maupun pasca subuh menjelang pagi hari. Kilauan sunrise maupun sunset membuat panorama di bukit pasir ini begitu berkelas. Sungguh, Busung bukan sekadar desa biasa!
Honai

Honai merupakan rumah adat Papua yang berbentuk kerucut dengan atap rumbai yang tersusun dari jerami atau ilalang. Lantas, kenapa bisa ada di Bintan? Itulah pertanyaan yang ada di benak saat teman saya mengajak mengunjungi Honai. Ternyata, tepat di sebuah perkampungan tua di sekitar Busung, yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Kampung Arang atau Tanjung Arang, bisa dijumpai tempat pembakaran arang yang bentuknya mirip Honai. Itulah alasan teman-teman SM-3T menyebutnya demikian. Karena difungsikan untuk tempat pembakaran, Honai di daerah sekitar Busung memiliki struktur bangunan lebih kuat dan dibangun dari batu bata, agar tidak mudah terbakar.
Jika mereka menyamakan tungku pembakaran arang tradisional ini dengan Honai, maka saya melihatnya justru lebih mirip Igloo (baca:igluw). Sebab, struktur bangunan ini tersusun dari batu bata dengan pintu kecil di depannya. Persis seperti rumah adat suku Eskimo di Kutub Utara. Anggap saja, Honai di Busung ini sebagai Igloo tropis. Walau bagi masyarakat sekitar bangunan ini nggak begitu istimewa, tapi saya cukup terkesan saat diajak melihatnya. Bagi saya, menemukan hal baru dan unik selama melakukan perjalanan lebih berkesan daripada sebatas mengunjungi tempat wisata populer.
Tanjung Arang

Di Bintan, ada banyak daerah yang menggunakan kata ‘tanjung’. Mulai ibukota provinsi Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, kota pelabuhan Tanjung Uban hingga kampung tua, Tanjung Arang. Selain memiliki tungku pembarkaran tradisional yang mirip Honai, perkampungan ini memiliki keunikan karena lokasinya yang berdekatan langsung dengan hutan bakau. Hal ini membuat masyarakat di sana sangat piawai berenang dan menangkap ikan, baik anak-anak hingga orang dewasa.
Selain itu, masyarakat di Kampung Arang ini menjadikan perahu sebagai aset utama layaknya kendaraan bermotor, seperti mobil. Tentunya bukan tanpa alasan. Keseharian menangkap ikan membuat perahu menjadi moda transportasi utama untuk menyusuri sungai yang membelah hutan bakau.
Tanjung Arang sendiri sebenarnya bukan perkampungan wisata, sehingga saya memang tidak mengharapkan atraksi penyambutan adat khusus sebagaimana desa wisata pada umumnya. Datang ke sini saja, sebenarnya faktor ketidaksengajaan. Teman saya yang merupakan salah satu guru SM-3T di Busung, punya siswa yang bertempat tinggal di desa ini.
Dia mengenalkan saya kepada siswa dan keluarganya. Kami pun sempat bercengkerama dengan bersenda gurau khas bahasa Melayu. Sementara, saya yang melihatnya hanya bisa tertawa dan menikmati keriangan mereka. Masyarakat Tanjung Arang sangat ramah, kami dijamu dengan kelapa muda yang dipetik langsung dari pekarangan mereka. Sebuah pertemuan yang sarat kesederhanaan, namun begitu berkesan dalam memori saya.
Jembatan Busung

Salah satu ikon Busung ini memang tidak sepopuler Jembatan Balerang Batam atau seikonik Jembatan Ampera Palembang. Tapi, di sekitar area jembatan, terdapat dermaga yang bisa digunakan untuk menikmati keindahan jembatan yang berdiri di atas selat kecil serupa sungai berair asin. Di dermaga sekitar jembatan Busung pula, saya bisa menikmati momen pergantian hari yang berbeda. Jika biasanya gunung dan pantai jadi incaran menangkap golden hour, di jembatan inilah saya justu bisa menikmatinya, baik sunrise maupun sunset.
Bukan hanya di siang hari, di malam hari saya juga bisa menikmati cahaya bulan yang menyinari perairan di bawah jembatan Busung. Terdapat kafe yang bisa dijadikan spot untuk menyeruput kopi sembari melihat keindahan jembatan Busung di malam hari plus hempasan lirih angin laut. Apalagi, saat itu sedang bulan purnama, rasanya begitu pas menikmati Busung sambil mendengarkan cerita renyah pengabdian teman-teman SM-3T selama di Bintan.

Busung menjadi tempat yang paling banyak saya eksplorasi, karena tempat tinggal saya selama di Bintan memang di sekitar sini atau tepatnya di desa Kuala Sempang, yang sebenarnya dengan jangkauan kaki saja sudah masuk Busung. Beragam keunikan juga saya dapatkan, termasuk menjumpai Pertamini – versi SPBU Pertamina yang lebih mini.
Masyarakat yang mayoritas sebagai nelayan, membuat rumah-rumah di kampung kosan teman saya berada, mayoritas hanya dihuni kaum hawa. Sebab, banyak kaum adamnya yang melaut tidak setiap hari pulang ke rumah. Sehingga, saat Salat Jumat, yang merupakan kewajiban bagi muslim lelaki dewasa, di kampung ini kurang dari 40 orang. Padahal, syarat minimum Salat Jumat adalah 40 orang lelaki dewasa. Untung, ada budak-budak kecil (red: budak adalah sebutan anak dalam bahasa Melayu Riau), akhirnya jumlah jamaah Salat Jumat genap 40 pas! Daripada tidak ibadat?
Selebihnya, kesan yang paling mendalam dari Busung karena saya bisa berjumpa kembali dengan sahabat saya. Itulah alasan saya sebut desa ini Bukan Busung Biasa (BBB).
keren2 pantai, danaunya… jadi kangen bintan deh hehehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Aku aja nggak move-on move-on mas, haha
SukaDisukai oleh 1 orang