
Setelah mendarat dengan selamat, dapat tumpangan gratis dari bandara, saya benar-benar pasrah mau dibawa ke mana. Pokoknya manut sama yang tahu Bintan lebih dulu. Benar, mereka adalah teman yang saya kenal seketika itu juga di bandara Raja Haji Fisabilillah Tanjung Pinang dan langsung akrab! Kawan-kawan peserta SM-3T yang sudah saya jelaskan sebelumnya.
Mereka membawa saya menyusuri jalan berbukit yang begitu lengang, kontras dengan posisi Tanjung Pinang sebagai kota besar di pulau Bintan. Perjalanan menyusuri Lintas Barat Bintan yang beraspal sangat mulus dengan panorama khas Bintan. Hampir tak ada kendaraan besar yang sering mewarnai kemacetan. Jalan raya hanya didominasi mobil pribadi dan motor. Jaraknya pun berjauhan, sampai-sampai saya terperanjak dan terbayang seandainya kota besar di Jawa kayak begini.

Gara-gara hampir tidak dilewati kendaraan berat macam truk dan bus, kondisi jalan raya di Bintan terbilang mulus mirip sirkuit. Sebagai bukti, selama di mobil tak sekalipun pantat saya merasakan getaran apalagi mendadak melayang gara-gara roda kendaraan terperosok di aspal yang berlubang. Meski begitu, ada kurangnya. Sepanjang jalan nggak ada lampu jalan sama sekali. Gak lucunya, ketiadaan penerang jalan ini hampir seantero Bintan!
Bisa dibayangkan, saat malam hari bagaimana gelapnya. Berkendara sendiri, menyusuri jalanan yang panjangnya bikin geleng kepala dan kiri-kanannya belantara. Untung kriminalitas dan kesenjangan sosial di Bintan terbilang rendah. Hanya, masyarakat sana lumayan klenik, jadi sering kasih tahu gitu, jika di sepanjang jalan bisa aja ditemui sesuatu. Hiii!
Tiba di Penginapan
Sebelum pergi ke Bintan, sempat mengobrol panjang lebar dengan teman saya via BBM. Dia bilang punya kosan baru, jadi selama di Bintan bisa menginap di sana. Cuma, syaratnya selama di sana masak sendiri, karena jarang ada warung yang jualan. Wah, saya sih langsung mengiyakan saja. Bagi saya akomadasi bukan hal prioritas saat traveling. Asal bisa berteduh dari panas dan hujan sudah OK! Toh saya juga anak kosan yang doyan masak sendiri, tambah mantap dah nuansa gembelnya.
Mobil yang saya tumpangi bersama kawan-kawan akhirnya memasuki desa yang sepi dengan tekstur tanah berpasir. Dibilang pelosok nggak juga, karena di Jawa juga ada perkampungan serupa, bahkan ada yang lebih ndeso. Tepat di depan rumah yang bergaya khas Melayu, ada sepasang kakek-nenek yang tak lain pemilik kosan tempat teman saya tinggal. Saya dikenalkan pada keduanya. Sementara rombongan kawan SM-3T balik karena ada janjian berkumpul di Pantai Sakera, saya diajak teman saya yang tidak termasuk peserta perkumpulan, menuju kosan.
Sekilas bentuk kosannya nggak jauh beda dengan kosan pada umumnya. Lumayan bagus, ada dapur dan kamar mandi dalam, persis seperti kontrakan. Ukurannya standar, nggak terlalu sempit. Kasurnya langsung direbahkan di lantai yang dialasi karpet. Beginilah rupa akomadasi tanpa bintang! Baru setelah masuk kamar mandi dan airnya nggak mengalir, di situlah mulai tampak keresahan.
Air tidak mengaliri kosan 24 jam, hanya pada jam-jam tertentu, dengan durasi dua kali sehari. Karena tidak ada tandon, semisal air sedang tidak menyala, mau tidak mau harus absen mandi apalagi mencuci. Saya pun langsung kepikiran, gimana kalau kebelet boker, masa harus absen pula? Ada tampungan air di kaleng bekas cat ukuran 25 kg , tapi biasanya untuk keperluan memasak.
Dan, lagi. Airnya kayak ada manis-manisnya gitu. Suer! Saya bukannya mau mempromosikan produk air mineral tertentu, tapi entah mungkin karena baru pertama kali ke Bintan, setiap kali minum air putih, lidah saya langsung merespon rasa manis! Bahkan, air mineral kemasannya pun juga berasa manis. Uniknya, di Bintan, mayoritas air mineral diproduksi perusahaan lokal. Jadi, jangan kaget bila agak sulit menemukan produk air mineral terkenal – yang galonnya saya yakin hampir dimiliki anak kosan – selama di Bintan. Tahu kan? Mungkin karena itulah, kualitas air minumnya jadi agak berbeda.
Jamuan Spesial
Puas meminum air gula, eh, air putih endemik Bintan, dahaga saya mulai berkurang. Cuma, perut yang lapar tak bisa disembunyikan. Saya toleh sana-sini, hampir tak ada makanan sama sekali. Walau ini adalah kosan teman karib saya, tapi nggak enak juga tanya, “ada makanan nggak?”. Masa udah dijemput, ditampung masih mau minta makan? Biar mulut saya nggak terlanjur kurang ajar, saya putuskan untuk mandi, kebetulan kran air mengalir jadi bisa sekalian mengusir penat akibat pakaian yang sudah kuyup bau keringat.
Usai mandi, tampaknya Tuhan mengerti penderitaan saya yang udah lapar dan bolak-balik meneguk ‘air gula’ ini. Mungkin karena tampang saya yang lapar begitu kentara, tiba-tiba teman saya bilang, “Nggak lapar, makan yuk?”. Alhamdulillah Tuhan, Kau sudah bukakan pintu hati teman saya. Senyum lebar penuh pengharapan pun seketika berubah datar, saat teman saya melanjutkan penawarannya, “Masak dulu, tapi ya?”. Wew, jadi merasa ikut ethnic runway beneran.

Karena perut sudah mulai jumpalitan, langsung saja saya mengajak teman saya memasak sayur asam yang saya bawa jauh-jauh dari Malang. Nah, soal sayur asam ini, sebenarnya rikues khusus teman saya di Bintan. Dia mengaku sudah hampir 4 bulan nggak makan sayur dan lagi ngidam sayur asam plus cabai rawit Jawa.
Sekadar informasi, komposisi tanah yang kurang subur, membuat tanaman herba sulit tumbuh di sana. Sementara stok sayuran dan beberapa bahan makanan yang bersumber dari tanaman, mengandalkan pasokan dari luar Bintan. Wajar jika harganya agak menggila setelah masuk Bintan. Seikat kangkung di jual 10-15 ribu, kadang malah dijual kiloan. Sementara, cabainya hanya berupa rawit hijau yang biasa disajikan sebagai peneman gorengan.
Tahu sendiri kan, bagaimana cabai gorengan itu kalau dibuat sambal. Agak lengur dan itu dinikmati teman saya selama 4 bulan terakhir. Sontak, saat saya membawakan cabai rawit sambal dan paket sayur asam mentah, teman saya girang nggak keruan. Kami pun langsung mulai memasak ala kadarnya. Ada sayur asam dan sambal bawang. Saya pikir lauknya apa, karena nggak terlihat ikan atau sumber protein yang bisa dijadikan lauk. Eh, teman saya sudah pesan ketam (Callinectes sapidus), sejenis kepiting laut berukuran kecil, bumbu saus merah. Juga rebusan gonggong (Canarium stroumbus), semacam siput laut bercangkang kerucut yang habitatnya endemik di perairan Kepulauan Riau. Keduanya adalah makanan khas Bintan. Ditambah otak-otak yang tersisa dari bandara, hidangan makan siang kami pun beraneka rupa bak warung tegal.
Sebuah kesederhanaan yang begitu nikmat, karena kami bisa menyantapnya bersama-sama. Meski penginapan ini bukanlah akomadasi tanpa bintang – karena memang di dalamnya saya hampir tak menemukan benda-benda berbentuk bintang, tapi mampu memberikan kehangatan dan keriangan, yang barangkali belum tentu saya dapatkan ketika saya memilih menginap di penginapan sungguhan. Namun, hal yang membuat saya spesial, meski tanpa bintang, akomadasi ini juga menyuguhi saya kuliner khas Bintan. Oh, nikmatnya (gratisan)!
sampe sekarang saya masih terngiang2 enaknya otak2 di bintan/pinang, nggak ada yg ngalahin… 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Ukurannya juga mini, jadi bisa dikempot pula kayak sosis, haha
SukaDisukai oleh 1 orang
dikempot ???
SukaDisukai oleh 1 orang
wes mas, masih pagi, jangan mikir aneh-aneh, dikunyah, itu aja, haha
SukaSuka
owalah, kosakata baru haha
SukaDisukai oleh 1 orang