
Ada yang bilang kerja sesuai passion itu tak begitu terasa. Sampai-sampai berangkat pagi pulang malam sudah menjadi hal yang biasa. Mungkin itulah yang saya rasakan. Sejak berkarir di dunia tulis-menulis, serasa melakukan hobi yang digaji. Apalagi jika suasana kantornya begitu nyaman dan rekan-rekan kerja juga begitu menyenangkan. Disuruh nginep sekalipun mungkin saya akan tetap enjoy menikmatinya – untungnya nggak pernah sampai nginep beneran. Hee.
Sebenarnya di dunia kerja saya, kondisi kantor yang sepi atau tutup di malam hari hampir jarang ditemui. Karena berkaitan erat dengan publikasi dan berita, kantor perlu menerapkan jam siaga. Dengan kata lain, ada dua sampai tiga kali sistem shift selama 24 jam. Jika Anda pernah tahu sistem kerja kantor media atau rajin menyimak sitkom THE EAST di NET TV barangkali, maka seperti itulah saya bekerja.
Karena dapat shift pagi, aktivitas kerja saya nggak jauh beda dengan jam kerja orang kantoran pada umumnya. Masuk jam 8 pagi pulang jam 4 sore. Suatu hari, kerjaan saya mendadak berjibun. Tiba-tiba revisi membabi buta dan rikues klien kian menggila. Melihat jumlah pekerjaan yang tampaknya nggak bakal beres jika dikerjakan dalam waktu kerja normal, saya mengantisipasinya dengan berangkat lebih awal. Sekadar informasi, email rikuesnya datang sore hari sebelumnya, jadi saya bisa menyiapkan agenda kerja esok hari pas waktu malamnya.
Kerjaan memang beres, tapi harus dibayar dengan pulang overtime. Bagi yang memperhatikan, saya seolah tampak rajin benar. Berangkat duluan, pulang belakangan. Padahal, kalau bukan karena tanggung jawab pekerjaan, saya begah melakukannya berlama-lama. Enjoy sih enjoy, tapi kalau kerjanya kebangetan ya tetap aja melelahkan. Untung masih dapat kendaraan umum untuk pulang, tetapi harus oper dua kali lantaran kendaraan umum yang biasanya nggak kunjung datang.
Dari halte pemberhentian pertama, saya harus jalan kaki sekitar 500 meter manapaki trotoar. Rupanya, saya nggak sendiri. Banyak pekerja lain yang berjalan searah dengan saya. Dari pakaianya, mereka seperti pegawai kantoran yang pulang kerja. Mayoritas arah jalan mereka menuju halte yang sama dengan yang sedang saya tuju. Selain itu, kiri-kanan boulevard berjajar kafe, clothing shop dan beberapa restoran. Jadi trotoar selalu dipenuhi orang berlalu-lalang.
Hingga tak terasa, azan magrib ternyata sudah berkumandang. Sementara saya masih di jalan. Sepanjang jalan, saya tengok kiri-kanan, lha kok nggak ada masjid sama sekali di pinggir jalan. Jika saya paksakan jalan menuju halte, bisa tiba di rumah lebih cepat. Tapi, akan sampai saat isya. Itu artinya saya harus menanggung dosa karena melewatkan waktu magrib.
Saya jadi ingat pesan orang tua, bahwa sesibuk apapun jangan pernah mengabaikan salat. Lagian, saya pernah mendekam di pesantren, munafik banget jika harus mengabaikan salat. Kok nggak dijamak? Halah, orang jaraknya nggak sampai 80 km, jelas nggak memenuhi syarat lah.
Pas jalan di trotoar yang berada di atas jembatan, nggak sengaja saya melihat ada kubah musala di antara perkampungan penduduk. Dari atas jembatan, kubah musala tersebut tampak menonjol sendiri di antara bangunan lainnya.
Nggak pakai lama, langsung saja saya mencari lokasi musala yang ternyata masuk ke gang-gang. Mulanya agak ragu karena lokasinya nyempil banget. Tapi, saya coba meyakinkan diri, bangunan apalagi coba kalau bukan musala atau masjid yang punya kubah bersimbolkan bulan sabit dan bintang. Setelah tengok kanan tengok kiri, akhirnya musala yang bentuknya mirip rumah warga sekitar tersebut, saya temukan.
Usai salat magrib, ternyata jamaah nggak langsung balik pulang. Karena bertepatan hari kamis, di musala itu juga diadakan baca tahlil bersama. Uniknya, ada semacam sajian makanan berupa jajan pasar dan buah pisang susu. Sebuah tradisi yang biasa saya temui di kampung halaman saya.
Saya pikir di pusat kota semacam ini, tradisi kamisan jarang dilakukan, nggak tahunya masih bertahan. Saya sih hanya ikut doa saja, nggak enak diri jika harus ikut nimbrung (baca: ambil makanannya).
Ketika mau balik dan pakai sepatu, eh… malah dihadang seorang nenek. Si nenek keukeuh menyuruh saya masuk dan makan makanannya dulu, sambil berkata, “Itu yang bawa tadi saya, Nak. Ambillah, habiskan. Biar saya nggak sia-sia membawanya.”
Aduh, mendengar seruan si nenek, saya jadi iba dan nggak sampai hati menyela. Akhirnya, saya ambil satu buah pisang dengan malu-malu, sembari disilakan oleh bapak-bapak jamaah tahlil. Sementara, si nenek mengawasi saya untuk memastikan sudah mengambil sajiannya. Wew.
Setelahnya, saya pamit pulang, nggak tahunya sajiannya masih tersisa. Si nenek akhirnya menyuruh saya membawanya sambil berkata, “Gih bawa saja, Nak. Biar nenek nggak sedih bawa pulang kembali makanan ini. Nenek hanya ingin sedekah, sambil minta bantuan doa untuk almarhum kakek. Cuman ini yang mampu nenek berikan.” Duhduh, jadi nelangsa banget mendengarnya.
Karena nggak ingin mengecewakan si nenek, saya pun langsung meminta kresek (kantong plastik) yang sedang dibawa si nenek. “Begini aja nek, saya bawa pulang aja makanannya. Biar nanti bisa dimakan bareng-bareng sama anak kosan. Tapi, boleh saya minta kreseknya buat wadah?”
“Alhamdulillah, gitu a, Nak. Nenek jadi senang, makanan ini jadi nggak mubazir. Silakan bawa aja”, ucap si nenek penuh keharuan. “Nenek ini sudah lama tinggal di sini. Sebelum di sini berubah jadi gedung-gedung kampus yang tinggi dan sekelilingnya masih sawah. Nenek juga sering bertemu mahasiswa yang berjamaah di musala. Banyak yang akrab, bahkan nggak sedikit yang bercerita tentang kesulitannya. Nenek tentu nggak bisa bantu apa-apa, tapi nenek selalu mendoakan mereka dengan tulus, agar diberikan kemudahan dan sukses jadi orang besar. Dan, beberapa mahasiswa yang dulu sempat cerita ke nenek dan meminta doa, sekarang sudah jadi orang sukses dan sempat menemui nenek.”, imbuhnya.
Sambil memasukkan jajan ke kantong plastik, si nenek menceritakan kisahnya panjang lebar. Saya sempat terenyuh mendengarnya. Apalagi, si nenek menyangka saya (masih) mahasiswa dan mendoakan saya kelak bisa diberikan jalan hidup yang lancar dan sukses.
Saya yang tiba-tiba teringat petuah guru di pesantren, yang mengatakan doa orang kecil yang rajin beribadah itu mudah terkabul, langsung mengamini doa si nenek dengan segera. Karena khawatir nggak dapat kendaraan umum, saya langsung pamit dan berterimakasih. Si nenek, dengan raut bahagia menutup petuahnya ke saya dengan ucapan, “Panggil saja saya Mbok Jum!”.
Maksudnya mungkin, ‘Ingat saja (nama) saya dengan sebutan Mbok Jum’. Anyway, apapun itu, pertemuan saya dengan Mbok Jum benar-benar memberikan banyak pelajaran hidup. Di mana kita harus saling peduli dan menghargai setiap kebaikan orang tanpa perlu pandang bulu. Berkat mengikuti kata hati yang memilih salat magrib dulu daripada buru-buru pulang ini pula, saya jadi dapat banyak rezeki tak terduga, apalagi kalau bukan makanan enak dari Mbok Jum. Alhamdulillah. 🙂