
Horee… Lebaran tiba! Coba tebak, apa yang paling ditunggu dari momen lebaran?
Kalau boleh saya klasifikasikan, 1) Ketupat, 2) Takbiran, 3) Kumpul Keluarga Besar, 4) Mudik, 5) Baju Baru, 6) Angpau. Dari nomor 1-5 mungkin masih bisa dinikmati mulai usia kecil hingga dewasa. Namun, nggak berlaku untuk poin nomor 6. Ketika masih belia alias kecil-kecil menggemaskan, setiap kali berkunjung ke sanak saudara maupun tetangga kala lebaran, bisa dipastikan bakal menerima sangu atau angpau. Bahkan, saking antusiasnya, ibunya sengaja mendandani anaknya dengan baju yang memiliki saku besar. Tentu saja, tujuannya agar makin banyak angpau yang didapat. Dasar! 😀
Naasnya, nasib mujur mendapatkan banyak angpau kian surut hingga puncaknya hanya bisa gigit jari, saat sedang melihat krucil-krucil yang mendapatkannya. Mau protes itu ya ke siapa. Mau merengek ke orangtua juga ingat usia. Nasib! Hal sebaliknya justru terjadi. Memasuki usia kerja, bukan saatnya enak-enakan lebaran di kampung halaman. Memang sih belum menikah, apalagi punya anak. Tapi, masih ada keponakan krucil-krucil yang pastinya bakal mengerumuni orang dewasa. Nggak peduli, kerja atau nggak, lajang maupun menikah, saat lebaran semua anak kecil langsung menyedorkan tangannya sembari bilang, “Angpau-nya mana?”.
Bak gula yang siap dikerumuni semut, saya yang tahun ini sudah bukan lagi menjadi mahasiswa, sangat … sangat… sadar diri agar nggak lupa menyiapkan angpau lebaran. Memang sih nggak sebanyak om-om, Bude, Pakde atau pekerja yang lebih senior, paling nggak para minion alias keponakan krucil ini bisa menghargai keberadaan saya. Hahahaha! Wabah angpau lebaran memang kadang membuat anak-anak jadi agak mata duitan bin kurang ajar. Mereka enggan ‘salim’ kalau nggak dibayar eh dikasih angpau. Untung masih kecil, kalau nggak udah saya jewer aja.
Olehkarena saya anak rantau atau bekerja di luar kota, intensitas bertemu dan mendapatkan informasi terkini seputar keluarga besar jadi remang-remang. Maksudnya, nggak tau jelas, siapa-siapa yang nambah anak dan jadi keponakan baru saya. Soal angpau, juga sudah saya siapkan agak lebih sedikit. Pokoknya, nggak saya siapkan pas sesuai jumlah keponakan – yang saya ingat. Tiba waktu lebaran, seperti dugaan saya, insting bocah-bocah tersebut tahu kalau saya sudah punya duit. Ibarat orang yang nunggu pembagian zakat, tangan-tangan mereka seketika menengadah dan menjurus ke arah wajah saya.
Dengan sigap saya katakan antri ya – udah mirip petugas bagi-bagi zakat aja. Saya kasih angpau satu per satu, sambil sesekali bilang, “Nggak boleh dobel ya!”. Satu, dua, tiga sampai hitungan angpau terakhir, kok masih ada keponakan yang belum dapat. Waduh! Usut punya usut ternyata saya lupa jika ada beberapa sanak famili yang sudah menikah dan anaknya sudah balita. Ups! Kala angpau di tangan habis dan sisa satu bocah yang belum dapat. Heee. Saya hanya bisa senyum ringan dan pura-pura ke kamar mandi.
Saya pikir minion satu ini sudah lupa, nggak tahunya ketika balik ke ruang tahu, saya ditodong dengan perkataan, “Angpau-nya mana?”. Alamak! Anak zaman sekarang, paling tajam ingatannya kalau sudah berurusan dengan duit. Baiklah, saya ambilkan di saku. Karena nggak ada amplop, langsung saya kasihkan saja uangnya. Nah, keponakan yang lain, melihat dan menyangka saya memberi uang lagi. Langsung saja berbondong-bondong menyerbu saya. Karena merasa sedikit sebal, seketika saya lontarkan ucapan, “Bubar! Bubar! Oey..”. Sontak seisi rumah jadi tertawa!
Dasar anak-anak, ada saja caranya bikin orang dewasa marah – plus sebal. 😀