
“Jamu… Jamu… Jamunya, Bu?”
Begitulah suara yang terdengar sayu namun merdu, khas para penjual jamu. Rasanya sudah cukup lama tidak mendengar panggilan suara seperti itu. Saat di desa mungkin menjadi hal yang biasa melihat pedagang jamu tradisional berkeliling menjajakan dagangannya. Maklum saja, kebanyakan orang desa seperti saya masih lebih memilih jamu tradisional untuk mengatasi beragam keluhan-keluhan ringan seputar kesehatan. Misalnya saja untuk mengatasi pegal-pegal, nafsu makan menurun, pusing dan gangguan pencernaan.
Keyakinan kuat akan khasiat jamu tradisional menjadikan masyarakat pedesaan tetap mengandalkan jamu tradisional sebagai pengobatan herbal yang sudah turun menurun. Di samping itu, biaya yang lebih terjangkau menjadikan jamu tradisional sebagai sarana kebugaran tubuh yang utama oleh masyarakat pedesaan, dibandingkan obat kimia yang biasa diresepkan dokter. Faktor lainnya, bahan baku obat tradisional terbilang lebih mudah diperoleh di desa. Hal inilah yang membuat kelestarian jamu tradisional lebih bertahan, karena lebih banyak penjual jamu yang dijumpai di pedesaan.

Berbeda dengan kehidupan perkotaan yang identik dengan beton dan bangunan tinggi, tentu jarang sekali ditumbuhi tanaman herbal, yang merupakan bahan baku jamu tradisional. Tidak heran bila jarang pula ditemukan pedagang jamu keliling yang menjajakan jamu tradisional dengan seruan yang merdu. Di sisi lain, kemodernan kehidupan perkotaan juga tampak dari pola mikir masyarakatnya yang lebih maju. Taraf hidup yang lebih tinggi membuat dokter dan rumah sakit menjadi rujukan utama untuk masalah kesehatan. Masyarakat perkotaan lebih percaya jika obat yang diresepkan dokter lebih manjur, karena kredibilitas dan keampuhannya dirasa lebih nyata.
Andai saja ada pedagang jamu tradisional keliling di sekitar kompleks perumahan elit, niscaya bakal terabaikan begitu saja. Sebaliknya, stigma negatif yang terus beredar di masyarakat tentang jamu tradisional, justru akan membuat masyarakat perkotaan semakin salah kaprah dengan jamu tradisional yang dijual keliling. Seperti diketahui, berita tentang manfaat alami jamu tradisional dengan jamu buatan yang merugikan kesehatan, kuranglah berimbang. Hal ini lantas membuat kepercayaan masyarakat tentang jamu tradisional – yang sebenarnya tidak kalah saing dengan obat generik, semakin menurun.
Namun, anggapan tersebut seketika sirna saat saya berkunjung di salah satu kelurahan di Kota Malang. Sejak SMA saya yang asli orang desa dari Porong Sidoarjo, merantau ke Kota Malang untuk belajar hingga sekarang bekerja. Pilihan indekos di wilayah perkotaan membuat saya harus rela beradaptasi dengan pesatnya mobilitas kehidupan perkotaan. Meninggalkan lingkungan desa yang asri dengan sejuknya udara bebas polusi di tengah hijaunya hamparan persawahan. Sampai pada sebuah kesempatan, saya diminta berkunjung ke salah satu rumah teman yang asli Malang, tepatnya di Kelurahan Tanjungrejo, Kota Malang.

Layaknya perkampungan di pinggiran kota, rumah yang ada di tempat ini tampak rapat dan berhadap-hadapan. Tiap rumah berdiri sederhana dengan pagar pendek dari pilar besi. Jalanan beraspal kian melengkapi lapisan tanah yang tertutupi beton. Beberapa rumah yang ada di kelurahan ini, tampak dihiasi dengan salah satu tanaman herbal, yaitu pandan yang ditanam di pot-pot bundar dengan warna cat yang seragam. Mulanya, tidak ada yang istimewa saat berkunjung ke sana. Sampai terdengar suara perempuan dari kejauhan yang menjajakan jamu keliling.
Rupanya suara tersebut menurut Rizal, teman yang saya maksudkan, rutin terdengar setiap hari pada jam 10 pagi. Dialah Sundari atau warga sekitar lebih akrab menyebutnya Mbak Ndari. Seorang penjual jamu tradisonal yang menawarkan jamu racikannya dengan berkeliling menggunakan sepeda ontel. Saya yang sejak merantau tidak menjumpai penjual jamu keliling, tentu saja merasa kaget melihat pemandangan seperti ini. Menurut Rizal, Mbak Ndari adalah segelintir orang yang masih mau menjual jamu tradisional keliling.
Meski tinggal di perkampungan kota, masyarakat sekitar ternyata tidak segan berbondong-bendong keluar, mendekati seruan Mbak Ndari. Saya pun akhirnya menyempatkan diri untuk bertanya ke beberapa pembeli yang tak lain warga sekitar. Menurut mereka, meski tinggal di perkotaan, bagaimanapun juga asal-muasal tempat tinggal mereka dulunya adalah pedesaan. Warga yang sudah menjadi ibu-ibu, menuturkan tidak semua keluhan kesehatan bisa tuntas dengan minum obat generik dari dokter.

Kadang keluhan kesehatan ringan, seperti pegal-pegal, mual, pusing maupun nyeri bisa lebih mudah diobati dengan minum jamu tradisional. Bahkan, mayoritas ibu-ibu di kelurahan Tanjungrejo mengandalkan jamu tradisional untuk meredakan nyeri saat haid, keluhan lain saat datang bulan, meningkatkan kesuburan, menjaga kesehatan kehamilan hingga mengembalikan kondisi tubuh usai melahirkan. Semua problem tersebut diatasi warga sekitar dengan meminum jamu tradisional yang dijual Mbak Ndari ini.
Hal ini tentu sesuai dengan laporan WHO jika 80% masyarakat di negara-negara Asia dan Afrika menggunakan obat tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan [1]. Di Indonesia obat tradisional ini akrab dikenal sebagai jamu tradisional yang sudah dimanfaatkan secara turun-temurun. Selain itu, beberapa bahan baku yang digunakan juga cukup familiar dalam dunia herbal di Indonesia. Maka tak heran, bila masyarakat masih percaya dengan keamanan dan mutu jamu tradisional yang asli.
Oleh karena cukup penasaran, akhirnya saya bertanya langsung ke Mbak Ndari. Tanpa merasa direpoti, Mbak Ndari pun menjawab pertanyaan saya dengan suka hati. Bahkan, saat saya meminta fotonya, dengan ceria Mbak Ndari menunjukkan posenya.

Hal pertama yang membuat saya tertarik untuk bertanya adalah jenis jamu tradisional apa saja yang dijual. Dengan senang hati, Mbak Ndari menjawab jika jamu yang dia jual, hanyalah jamu tradisional alami seperti yang dijual pada umumnya. Ada beras kencur yang dibuat dari saripati beras dan parutan kencur dan bermanfaat untuk menghilangkan pegal-pegal karena terlalu lelah beraktivitas.
Bila pegal yang dirasakan cukup berat atau sering disebut pegal linu, biasanya masyarakat memilih jamu cabe puyang. Nama cabe puyang diambil dari bahan baku pembuatan jamu tradisional ini, yaitu cabe jamu dan lempuyang. Hal ini wajar saja, karena berdasarkan temuan Biofarmaka IPB, rimpang lempuyang dapat mengatasi nyeri dan bertindak sebagai antioksidan [2]. Untuk mendapatkan efek kesegaran pada tubuh, biasanya diakhiri dengan meminum jamu kunyit asam. Mbak Ndari meramu jamu kunyit asam ini dari kombinasi buah asam dan kunyit, kadang juga ditambahkan daun buah asam muda atau sinom untuk menambah kesegaran jamu.
Hasil penelitian herbal Biofarmaka IPB memang menyebutkan jika bagian rimpang kunyit memiliki banyak khasiat. Mulai mengobati berak lendir, amandel dan cangkrang. Bukan hanya untuk penyakit ringan saja, rimpang kunyit juga dapat dimanfaatkan sebagai obat diabetes mellitus, tifus dan disentri. Sementara bagi ibu-ibu dan kaum hawa, rimpang kunyit berkhasiat mengatasi keputihan, haid tidak lancar, mulas saat haid dan melancarkan produksi ASI [3].
Saya mencoba bertanya lagi ke Mbak Ndari, terkait keluhan gatal-gatal yang sempat saya alami. Kemudian, Mbak Ndari menawarkan jamu pahitan. Seperti namanya rasa jamu ini memang sangat pahit, hingga berasa getir di lidah. Rasa pahit jamu ini berasal dari bahan baku utamanya, yaitu daun sambiloto dan brotowali. Mbak Ndari juga menambahkan lempuyang gajah dalam ramuan jamu pahitannya ini. Menurut Biofarmaka IPB, rimpang lempuyang gajah memang berkhasiat sebagai obat gatal dan juga dapat menambah nafsu makan [2].

Sementara jamu favorit ibu-ibu adalah jamu kunci sirih sebagai solusi masalah kewanitaan. Jamu ini diolah dari bahan baku rimpang kunci dan daun sirih. Adapula jamu gepyokan yang bermanfaat untuk meningkatkan produksi ASI bagi ibu yang sedang menyusui. Mbak Ndari membuat jamu gepyokan ini dari campuran beberapa rempah, seperti rimpang kencur, jahe, kunyit, temulawak, lengkuas dan lempuyang gajah.
Mbak Ndari tampaknya tidak salah memasukkan kunyit dalam jamu gepyokan ini. Karena menurut lansiran Biofarmaka IPB, kunyit memang memiliki khasiat untuk melancarkan produksi ASI [3]. Selain itu, tambahan temulawak dalam jamu gepyokan kian menambah khasiatnya. Pasalnya, menurut laporan Biofarmaka IPB, temulawak berkhasiat sebagi anti mikroba, antioksidan hingga anti kanker. Manfaat ini tentunya sangat berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan menjauhkan diri dari ragam risiko penyakit berbahaya seperti kanker, khususnya bagi ibu-ibu yang sedang menyusui [5].
Bagi yang mengalami gangguan pencernaan serta demam, Mbak Ndari menawarkan jamu kudu laos sebagai pilihan. Kudu laos diramu dari campuran buah mengkudu dan rimpang laos atau lengkuas. Menurut laporan Biofarmaka IPB, mengkudu menjadi herbal mujarab untuk mengatasi sakit perut dan demam [4].

Lantas, bagaimana dengan bahan bakunya? Mengingat di perkotaan cukup sulit menemukan tanaman herbal yang beragam. Sekali lagi Mbak Ndari mengatakan beberapa rempah herbal masih bisa ditemukan di pasar seperti jeruk nipis, kapulaga, buah asam, kayu manis, pala, rimpang kunci, merica, temulawak, jahe, rimpang lengkuas dan lempuyang. Beberapa herbal lainnya, seperti daun sirih, daun sambiloto, mengkudu dan beberapa rimpang seperti kunyit, temulawak, temu ireng, lengkuas, jahe, dan kunci sukses dibudidayakan sendiri di pot-pot kecil sekitar rumahnya.
Untuk daun sambiloto, sirih dan mengkudu, bibitnya sempat dikasih tetangga, tetapi Mbak Ndari mampu menumbuhkan dan merawatnya hingga berguna sebagai bahan dasar jamu tradisional. Sementara, jika memang tidak ada bahan, Mbak Ndari tidak terlalu memaksakan untuk menjual jamunya. Tidak ada semacam keharusan, tapi akan diupayakan, karena setiap pembeli ada saja yang membutuhkan jamu-jamunya. Jika memang tidak ada, Mbak Ndari akan terus terang menyampaikan, “Bahannya sedang tidak ada untuk membuat jamu”, kepada setiap pelanggannya.
Soal cara pembuatan, Mbak Ndari juga menjelaskan dengan lugas bila jamunya murni racikan tangannya sendiri. Tidak perlu tambahan apapun, karena pelanggannya bakal mengerti mana jamu tradisional yang asli atau abal-abal. Inilah yang kemudian membuat jamu tradisional Mbak Ndari ini tetap lestari dan dinanti banyak warga. Bukan hanya ibu-ibu dan para gadis, anak-anak pun juga antusias menanti kedatangan Mbak Ndari ini.

Selain jamu tradisional, sepeda ontel Mbak Ndari memang mengangkut beragam camilan ringan seperti kacang goreng, kerupuk bahkan ada ketan bubuk. Tujuan awalnya menurut Mbak Ndari sebagai penghilang rasa pahit usai meminum jamu. Kenyataannya, jajanan tersebut justru seringkali diserbu anak-anak kecil hingga habis. Kebiasaan anak kecil yang hobi ngemil memberikan keuntungan tersendiri bagi Mbak Ndari selain dagangan jamu tradisionalnya.
Bagi saya, sosok Mbak Ndari bukan sebatas penjual jamu tradisional biasa. Lebih dari itu, Mbak Ndari adalah satu dari beberapa orang yang mau dengan tulus melestarikan jamu tradisional lewat berjualan keliling. Bahkan, cara berdagang jamu tradisional dengan menyerukan suara lantang sambil berkeliling dari satu rumah ke rumah lain, menurut saya adalah sebuah tradisi unik tersendiri. Sekali lagi Mbak Ndari tidak mau membuang esensi dan cita-rasa tradisional berjualan jamu tersebut dengan mengganti menggunakan motor atau membuka kedai khusus di rumah.
Sebaliknya, Mbak Ndari memilih menjual jamu tradisionalnya dengan cara berjualan sebagaimana penjual jamu yang pernah dia jumpai semasa kecil. Terlebih, saat Mbak Ndari menyampaikan bila aktivitas berjualan jamunya ini tidak semata mencari keuntungan, namun hanya ingin melestarikan warisan orangtuanya yang tak lain juga seorang penjual jamu keliling.
Siapa sangka jika akhirnya niatan murni Mbak Ndari untuk melestarikan warisan orangtua tersebut mampu memasyarakatkan jamu kepada warga Kelurahan Tanjungrejo di tengah ingar-bingar modernitas kehidupan kota yang terus berkembang. Dari Kota Malang secercah harapan kelestarian jamu tradisional layak untuk dipublikasikan.
Daftar Pustaka
[1] Biofarmaka IPB. 2013. Quality of Herbal Medicine Plants and Traditional Medicine. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-article/587-quality-of-herbal-medicine-plants-and-traditional-medicine-2013
[2] Lempuyang Gajah http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/567-herbal-plants-collection-lempuyang-gajah
[3] Kunyit (Curcuma domestic Linn.) http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/564-herbal-plants-collection-kunyit
[4] Mengkudu (Morinda citrifolia) http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection/606-herbal-plants-collection-mengkudu
[5] Biofarmaka IPB. 2013. Curcuminoid Contents, Antioxidant and Anti-Inflammatory Activities of Curcuma xanthorrhiza RoxB. and Curcuma domestica Val. Promising Lines. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-article/265-curcuminoid-contents-antioxidant-and-anti-inflammatory-activities-of-curcuma-xanthorrhiza-roxb-and-curcuma-domestica-val-promising-lines
——————
Logo Pusat Studi Biofarmaka 2015
Waaah. Luar biasa banget mbak Ndari ini. Semoga menang ya. BTW deadlinenya kpn ink?
SukaDisukai oleh 1 orang
DL masih tanggal 17 Juli, ayo ikutan lagi Mbak @bukanbocahbiasa, kali saja menang lagi seperti tahun kemarin 😀
SukaSuka
saya suka jamu dan di tempat saya masih banyak mba2 yg jual jamu menggunakan sepeda
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah, beruntung sekali Mb Dewi bisa menikmati jamu tradisional setiap hari 😀
SukaSuka
di tempat saya juga masih ada pedangang jamu tapi jamu gendong, yang menggunakan sepeda seperti itu belum ada
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah… Jamu gendong ya, pasti lebih unik lagi itu. Semoga mereka yang mengabdikan diri untuk kelestarian jamu ini, tetap bertahan ya 😊
SukaSuka
Tulisannya menarik 🙂 selamat ya menang lomba
SukaSuka
Terimakasih Terimakasih 🙂
SukaSuka
Reblogged this on Coretan Si Tommy.
SukaSuka
wah udah jarang liat kayak ginian keliling,dikota mana aja ya kira2 masih ada tukang jamu keliling?
SukaSuka