
Ada yang bilang tampang saya mirip orang kaya, sehingga nggak sedikit yang menganggap saya bergelimang harta hingga berujung traktiran.
Bukan hanya saat dewasa, anggapan aneh orang-orang tersebut mulai muncul sejak saya masih bau kencur alias usia SD. Padahal, aslinya saya ini hanya orang kampung yang tinggal di rumah sederhana seperti milik orang kampung pada umumnya. Boro-boro anak orang kaya atau konglomerat, sampai saat ini saja belum pernah makan bareng keluarga di restoran biasa sekalipun. Tahu kue ulang tahun kan? Bukannya curhat ya, tapi jujur mulai usia balita hingga sekarang tidak pernah sekalipun menikmati semaraknya pesta ulang tahun. Kalau kuenya sih sudah bisa beli sendiri sekarang.
Makanan saya juga nggak aneh-aneh, nggak mewah-mewah juga. Cukup sepiring nasi, beberapa potong tempe dan tahu goreng, tumis kangkung, sambal terasi dan kerupuk menjadi sajian rutin sejak saya kecil. Dari semua yang saya sebutkan nggak ada satupun yang bisa dijadikan landasan bahwa saya anak orang kaya. Emm, pewaris terselubung kali? Halah! Sejak kecil malah saya terbiasa bantu jualan orangtua hanya untuk memperoleh uang jajan.
Keanehan ini akhirnya pernah saya tanyakan ke teman-teman. Alasan yang menyebutkan kenapa saya sampai bisa dikatakan anak orang kaya. Jawaban mereka sih agak membuat saya GR. Mereka menyebut tampang sayalah yang mendukung anggapan tersebut. Wehehehe! Usai tanya jawab tersebut, langsung saja saya berkaca, masa iya tampang begini dibilang orang kaya?
Tidak menampik, walau saya tinggal di desa, orangtua sering mengajarkan kebersihan dan kerapihan. Ibu bakal marah bila saya nggak rajin mandi dan ganti baju secara rutin. Sementara Ayah mengajarkan untuk tampil rapi, walaupun mengenakan baju seadanya. Menurut beliau, orang yang bisa tampil rapi akan disegani dan diperhatikan banyak orang.
Setelah saya pikir-pikir, apa yang pernah diajarkan oleh orangtua memang benar adanya. Tampilan memang menjadi cerminan diri seserorang. Tanpa sadar, budaya tampil bersih dan rapi ini terbawa hingga saya dewasa dan merantau jauh dari orangtua.
Saya memang cukup memperhatikan tampilan, tapi tetap normal dan tidak berlebihan. Terlebih saat sudah bekerja sekarang ini. Tampilan bukan lagi hal yang patut disepelekan. Bisa gila bila banyak orang menghindar, lantaran tampilan saya yang acak-adut nggak karuan, mirip depresi karena ditinggal pacar. Jiah! Bukan saya banget pokoknya!
Walau begitu, saya senang-senang saja dikatakan demikian. Asal yang mengatakan juga tahu batasan dan paham kehidupan saya yang sebenarnya. Sebab, saya kadang juga khawatir, jangan-jangan mereka berteman dengan saya lantaran muka sok kaya ini. Pas tahu yang aslinya, eh langsung enggan berteman. Duh, tega untuk gampar tuh orang! Hahahaha! Untungnya, hal itu hanya pikiran saya doang.
Kenyatannya saya cukup beruntung, karena selama hidup selalu dapat teman-teman yang asyik dan nggak ada yang mengecewakan. Tapi, kadang ada saja sih imbas muka sok kaya ini. Dalih menyebut saya tajir, teman-teman main nyodorkan bon makan siang di restoran – sudah gitu yang dipesan nggak masuk nalar kantong lagi. Sial!