
Bukan soal ibadahnya, tapi selalu ada kejenakaan tersendiri di balik semaraknya salat Tarawih.
Selama 24 tahun saya menjadi muslim, puasa Ramadan menjadi momen yang selalu saya nantikan. Bukan sebatas euforianya yang bertabur petasan dan kembang api. Bukan pula tradisi ngabuburitnya yang membuat puasa lebih berwarna ala anak muda. Namun, lebih karena di bulan ini spirit untuk menjadi muslim yang benar begitu kuat. Di sinilah keistimewaan Ramadan.
Orang yang tadinya malas salat menjadi giat. Quran yang tadinya tertata rapi di rak-rak masjid tampak habis karena digunakan untuk mengaji. Masjid yang tadinya aktif di jam-jam salat lima waktu saja, kini tampak buka 24 jam. Lantunan ayat-ayat Quran juga terdengar di manapun kaki berjalan. Sungguh damai rasanya bagi hati setiap muslim di dunia.
Ciri khas lain yang hanya ada saat Ramadan adalah salat tarawih. Salat yang terdiri dari 10 ronde 20 rakaat ini bisa dikatakan salat terpanjang yang dilakukan dalam satu waktu. Mungkin, kalau tidak dilakukan di bulan Ramadan bakal hanya segelintir muslim yang mengamalkannya. Namun, berkah Ramadan-lah yang membuat semua aktivitas ibadah menjadi mudah.
Terlepas dari soal ibadah, selalu ada realitas tersendiri yang terjadi di tengah masyarakat, khususnya Indonesia, bila berbicara tentang tarawih. Bila kamu seorang muslim dan peka mengamatinya, pasti bakal menemukan kejenakaan tersendiri.
Membeludak di Hari Pertama
Diakui maupun tidak, euforia tarawih paling terasa saat hari pertama. Di mana masjid dan musala penuh sesak dengan jamaah. Bahkan, sebagian tempat ibadah sampai penuh hingga ke pelataran hingga meluber ke jalan-jalan. Sayangnya, realitas ini tidak berlangsung lama. Seiring dengan berjalannya hari-hari puasa, jumlah jamaah tarawih kian menurun. Terlebih saat di pertengahan bulan Ramadan. Entah dibilang lucu atau miris, jamaah tarawih di musala bahkan hanya tinggal satu imam dan satu makmum. Jadi semacam private praying alias kursus salat.
Kurva U
Selain ramai di awal-awal Ramadan, sebenarnya euforia salat tarawih juga ramai di bagian akhir. Namun, tetap saja menurun di pertengahan ramadan. Lewat tren semacam ini, sebenarnya grafik salat tarawih itu seperti kurva U. Tinggi di bagian awal dan akhirnya, namun cenderung menurun saat ke tengah. Mungkin orang-orang kurang suka dengan yang flat atau biasa-biasa saja, sehingga tanpa sadar membuat tren yang Unik.
Lebih Strong Aki-Aki daripada Muda-Mudi
Realitas lain yang dapat ditemukan dari salat tarawih adalah para pesertanya alias jamaah yang lebih didominasi aki-aki. Terlebih saat sudah memasuki pertengahan Ramadan, tampaknya para aki lebih kuat menjalaninya dengan rutin tanpa hambatan. Padahal, jika dipikir secara logika, fisik muda-mudi yang masih bugar semestinya nggak begitu sulit membereskan tarawih sebanyak 20 ronde tersebut. Tapi, kembali lagi, faktor strong di sini lebih ke arah batin bukan sebatas fisik. Mungkin aki-aki atau nini-nini yang sudah berpengalaman, merasa bosan dengan gemerlap dunia yang itu-itu aja, sehingga menghabiskan sisa usianya untuk ibadah.
Siapa Imam, Siapa Makmum
Dalam jamaah salat, imam memang pemimpin tunggal bagi semua makmum. Namun saat tarawih, imam bakal menentukan siapa saja makmum yang bakal mengikutinya. Inilah realitas yang ada, di mana imam yang bacaan surat Quran-nya paling pendek dialah yang menjadi idola para makmum. Sebaliknya, imam yang bacaan surat Quran-nya cenderung panjang dan lama, bakal lebih sepi makmum saat salat tarawih. Bahkan, sebagian orang bakal bertanya sebelum berangkat tarawih, “Siapa imam-nya?”. Jika track record-nya patas, barulah berbondong-bondong jamaah mau pergi tarawih. Alamak!
Malas yang Membabi Buta
Ada saja alasan yang membuat orang malas menjalankan tarawih. Padahal, ibadah ini hanya sebulan dalam setahun. Harusnya banyak orang tidak menyia-nyiakannya. Realitasnya, rasa malas memang menjadi setan paling nyata di bulan Ramadan. Nggak salah bila Pak Ustad bilang, “Hanya orang-orang yang imannya setajam silet-lah, pada akhirnya yang sukses membabat malas menjadi semangat untuk Tarawih”.
Lebih Tertarik Banjir Diskon
Sudah berulang kali Pak Kyai atau Tuan Guru memberitahukan Ramadan itu waktunya banjir pahala. Bukannya pergi tarawih, nggak tahunya malah banyak yang kepincut banjir diskon. Dibilang department store-nya yang salah karena bagi-bagi diskon besar saat Ramadan, ya nggak sepenuhnya benar. Sebab, belanjanya kan bisa dilakukan siang hari atau usai tarawih. Yang bikin lama itu proses milihnya. Membolak-balikkan tumpukan baju berdiskon besar – yang belum tentu juga mau dibeli. Wasting time banget bukan?
Realitas tarawih ini sepatutnya dijadikan pelajaran agar bisa lebih memaksimalkan ibadah di bulan Ramadan. Jangan hanya semangat di awal-awal saja, tapi berjuanglah agar bisa terus strong tarawih secara penuh layaknya aki-aki di masjid atau musala. Jika tahun lalu sudah tidak maksimal, mumpung ada kesempatan bertemu Ramadan lagi, yuk perbaiki diri. Usir malas dan tingkatkan kualitas hidup agar lebih dekat dengan Tuhan. Jangan disia-siakan momen banjir pahala ini dengan banjir diskon – yang sebenarnya masih bisa didapatkan di hari-hari biasa. 🙂
Satu lagi, masih banyak orang Indonesia yang mempercepat sholatnya. Padahal tarawih sendiri mempunyai arti santai/lambat
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah, iya ya. Thanks ya udah dilengkapin infonya 🙂
SukaSuka