
Kehikmatan Tarawih buyar seketika saat karpet yang warnanya biru muda berubah menjadi biru gelap, berbentuk lingkaran lagi.
Malam ke tiga bulan Ramadhan, hari-hari saya berjalan seperti biasa. Habis buka, mandi, leyeh-leyeh sejenak sebelum akhirnya meminang panggilan adzan untuk salat isya sekaligus tarawih. Karena rutinitas kerja saya masih aktif, sama halnya di tahun sebelumnya, puasa perdana masih saya lakukan di kosan. Begitu juga dengan tarawih, juga saya lakukan di musala sekitar kosan.
Sebenarnya banyak masjid besar, tapi jaraknya yang lumayan jauh bakal membuat perut kembali keroncongan usai diisi saat berbuka. Terpilihlah musala sederhana di sekitar kosan. Karena sama-sama membakar kalori, maka saya lebih memilih memanfaatkannya untuk tarawih di tempat ibadah terdekat. Selain itu, suasana dan keakraban orang-orangnya mirip dengan di kampung halaman. Jadinya lumayan mengobati kerinduan kala di perantauan.
Semarak tarawih kian terasa ketika banyak anak-anak yang ternyata antusias melakukannya. Apalagi saat bilang ‘Amiiiiin’, wah suara anak-anak paling mendominasi. Namanya juga anak-anak, pastinya suka bercanda, bermain dan celometan ke sana kemari setiap kali berjumpa dengan kawan sejawatnya. Namun, kebiasaan anak-anak ini kadang kurang tepat juga alias nggak mempertimbangkan waktu dan kondisi.
Saya sih berusaha maklum, sama halnya dengan jamaah lainnya. Tetap khusyuk salat tawarih, meski kanan-kiri dan depan-belakangnya banyak anak kecil yang gaduh sendiri. Ada yang cerita menu berbuka, ada yang tarik-menarik sarung, ada yang teriak-teriak, ada yang menangis karena diabaikan orang tuanya untuk salat, ada yang adu jotos, jumpalitan, gedor-gedor pintu sampai bermain hompimpa ketika salat sedang berlangsung. Duh, anak siapa saja sih. Kayaknya waktu kecil saya nggak gaduh-gaduh banget seperti mereka. Pokoknya, mushollah sudah mirip suara emak-emak yang nawar belanjaan di pasar saat pagi hari.
Namun, nggak ada yang paling membuat gempar selain ulah anak kecil yang begitu polos. Dia bersama kakeknya. Tampak fokus mengikuti gerakan imam salat, meskti kurang begitu mengerti bacaannya. Di tengah waktu jeda tawarih atau pas duduk sambil mendengar bilal mengucapkan sholawat, tiba-tiba ada bapak di belakang si Bocah menyeret baju kakeknya. Si kakek tampak bingung, apalagi saya dan jamaah sekitar yang nggak tahu alasannya. Ketika si Bapak tadi akhirnya bilang (dengan suara keras lagi), “Dia ngompol”, seketika jamaah langsung menolehkan muka ke arah si Bocah.
Sementara si Bocah yang merasa paling bersalah, hanya diam sembari mewek, diajak pulang kakeknya. Di sinilah klimaksnya! Mengetahui karpet musala yang tadinya berwarna biru muda, berubah menjadi biru gelap plus ada bundarannya, jamaah langsung buyar. Alasannya sudah pasti, najis! Padahal, tarawih masih baru berjalan tiga ronde, para jamaah yang berbaris di sekitaran TKP mendadak ngacir pulang.
Jamaah yang rontok ini kian menjadi-jadi, saat imamnya ternyata membacakan surat Quran yang panjang-panjang saat tarawih. Sontak saja, jamaah yang 70% persennya anak kosan mendadak bersih meninggalkan musala. Sisanya boleh dibilang orang yang kuat imannya – yang notabene aki-aki yang sudah sadar nyawanya pas-pasan.
Pemandangan musala yang awalnya terdiri delapan baris, kini hanya tinggal dua baris – yang kebetulan masih suci. Sedangkan baris ke tiga yang merupakan TKP hingga ke belakang, menjadi ‘krik-krik’ alias sepi jamaah. Saya yang sudah menguatkan niat untuk mendulang pahala, akhirnya tetap lanjut tarawih walau partner-nya aki-aki.
Di tempat berbeda, jamaah putri yang mayoritas ibu rumah tangga sempat tanda-tanya melihat jamaah putra tumbang di tengah jalan. Beruntungnya, mereka tidak masuk area bencana ‘pipis’, jadinya bisa hikmat melanjutkan salat tarawih.
Hingga tarawih berakhir, identitas tersangka belum terungkap kejelasannya. Usai tawarih, saya pun langsung pergi, biar tidak terkena imbas ngepel apalagi nyuci karpet yang tebal begitu. Biarkan takmir dan keluarga tersangka yang bertanggungjawab. Well, gara-gara pipis, kehikmatan tarawih bisa buyar seketika. 😀
Smart Tips!
Mengenalkan agama dengan mengajak anak-anak pergi ke tempat ibadah secara langsung memang tepat. Tapi, jangan sampai sembrono juga. Bila si Bocah tenyata masih belum bisa pipis secara mandiri, lebih baik tidak mengajaknya ke musala atau masjid. Apalagi dititipkan pada kakek yang notabene kurang begitu paham kebiasaan si Bocah. Jika memang ingin mengajaknya, pastikan si Bocah buang air terlebih dulu sebelum pergi salat. Dan lagi, berikan pendampingan. Jangan anaknya disuruh tarawih sama si Kakek, lah orang tuanya santai-santai di rumah. Kasian kakeknya kan, jadi terganggu ibadahnya, gara-gara tragedi semacam ini.