Bingung nyari angkot nggak nemu-nemu, akhirnya langsung masuk taksi, hanya untuk datang ke tempat tes masuk kuliah
Lalu lalang anak-anak lulusan SMA yang berbondong-bondong masuk ke kampus, seketika mengingatkan saya dengan momen tes masuk kuliah tahun 2009 silam. Ada yang lari-lari karena telat, ada yang bingung mencari ruangan tes, bahkan ada yang mondar-mandir kebingungan nggak tahu mau naik apa menuju tempat tes. Biasanya yang seperti ini banyak dialami oleh anak-anak dari luar daerah. Lantaran datangnya mepet pas tes, juga tidak ada kenalan yang bisa diandalkan, jatuh-jatuhnya bingung kayak orang kesasar.
Hal itulah yang pernah saya alami. Dulu tes masuk kuliah disebut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Sama halnya dengan UN, tes masuk kuliah ini ternyata sudah bergonta-ganti istilahnya. Yang paling baru adalah Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Cuma kata ‘Nasional’ yang berganti ‘Bersama’, secara teknis tampaknya nggak jauh beda dengan sebelum-sebelumnya. Kayaknya, soal gonti-ganti istilah memang sudah membudaya di Indonesia.
Sebenarnya, sejak SMA saya sudah di Malang, tetapi bukan di kotanya. Saya tinggal dan bersekolah di Singosari, wilayah Malang bagian utara. Sebagai perantau, aktivitas saya selain belajar di sekolah ya mengaji di asrama. Jarang sekali pergi ke pusat kota, kecuali untuk membeli buku yang memang kebetulan hanya bisa ditemukan di toko buku, seperti Gramedia. Itupun kadang rombongan. Nah, tiba saat tes kuliah, saya hanya pergi dengan dua orang teman.
Kami berangkat dari Pasar Singosari. Kabar buruknya, baik saya dan dua teman lainnya nggak ada yang hafal jalur angkot menuju ke pusat kota atau ke tempat tes kuliah. Duh! Tanya pedagang pasar katanya naik angkot warna hijau muda, tanya tukang parkir katanya naik angkot jurusan terminal Arjosari. Apesnya, 15 menit menunggu nggak ada satu pun angkot berwarna hijau muda atau yang ke arah terminal. Sebaliknya, angkot warna merah justru yang banyak seliweran. Ada angkot warna hijau tapi tua, jalurnya pun nggak menuju terminal.
Dikatakan nggak ada kendaraan umum, sebenarnya dari tadi, kami berdiri di dekat kendaraan umum – warna hijau muda lagi. Tapi, itu bukan angkot, melainkan taksi. Benar saja nggak kami perhatikan, karena uang saku yang pas-pasan. Namun, karena waktu yang terus mepet dan terik matahari yang kian membuat tubuh berkeringat, mulailah kami melirik mobil sedan itu. Mungkin karena tahu kami berdiri lama, menunggu angkot hijau muda yang nggak kunjung tiba, supir taksi mulai melancarkan aksinya.
Si Supir mulai mengiming-imingi kami dengan tawaran taksi yang lebih cepat, nggak panas lah, nggak berdesakan, juga nggak pakai nunggu lama-lama. Sial! Dipikir-pikir memang benar sih, tapi bisa langsung bikin dompet lipat kosong. Karena merasa terdesak, kami pun akhirnya memutuskan pergi ke tempat tes kuliah menggunakan taksi. Apalagi si Supir benar-benar mengantarkan kami tepat di depan pintu gedung tempat tes kuliah. Sontak saja, setiap pasang mata melihat kami yang turun dari taksi. Aww!
Maunya sambil melambaikan tangan, biar lebih dramatis. Tapi, apa daya pakaian kami yang super duper ndeso sangat nggak mendukung penampilan. Bahkan, sangat nggak match bila digabungkan dengan kendaraan semacam taksi. Bagi yang melihat, mungkin mereka menyangka kami tajir. Padahal, aslinya kami hanya terpaksa tajir. Hahaha! 😀