Hal yang paling dirindukan selama pergi jauh dari kampung halaman alias merantau adalah kumpul bareng keluarga. Bayangkan saja, saat di rumah segalanya serba praktis. Perut lapar tinggal buka penutup di meja makan. Kalau pun tidak ada tinggal buka kulkas atau kais-kais laci dapur, minimal nemuin mi instan. Bangun tidur juga langsung jumpalitan ke kamar mandi, tau-tau kamar sudah rapi sendiri. Lebih ajaib lagi, nggak ada ceritanya baju kotor numpuk di pojok kamar. Yang ada baju kotor mendadak lenyap, balik-balik udah bentuk lipatan rapi, wangi lagi. Benar-benar, Rumahku Surgaku! Bikin kangen setiap waktu. Hiks!
Apalah daya, saat usia mulai beranjak dewasa. Mau nggak mau harus belajar mandiri, karena suatu saat juga akan hidup sendiri. Untuk memulai proses kemandirian tersebut, saya dan mungkin sebagian dari kawula muda Indonesia memutuskan untuk merantau. Baik antar kota, provinsi, pulau hingga luar negeri. Rasa sedih meninggalkan keluarga dan rumah tentu saja ada. Terlebih saat benar-benar memasuki kehidupan baru yang dinamakan sebagai kosan. Boleh dibilang, rasanya benar-benar seperti reinkarnasi. Halah! Maksudnya segala yang dijalani benar-benar menjadi baru.
Ketika perut lapar, mau nggak mau ya jalan dulu ke warung. Andai pengen hemat ya masak sendiri. Itupun mesti siap sedia ke pasar terlebih dulu. Bangun tidur, masih sama sih, langsung masuk kamar mandi. Tapi, kasur yang sudah seperti kapal pecah tetap saja nggak bisa berubah rapi layaknya kamar hotel, usai keluar dari kamar mandi. Nah, paling bikin kangen ya tumpukan pakaian kotor. Boro-boro balik dalam keadaan bersih dan wangi, ngilang aja nggak. Kalau nggak rajin bersih-bersih sampai jaman akhir pun pakaian kotor ya tetap aja nyungsep di pojokan.
Apapun perubahannya, itulah bagian dari proses kemandirian yang harus saya jalani selama di perantauan. Kosan juga membuat saya tumbuh dewasa dan nggak manja. Malah membuat saya sadar, jika segala hal yang ingin dicapai perlu dikerjakan, bukan semata ditunggu maupun dilihat doang. Selain segala bentuk kemandirian, hal lain yang saya peroleh dari kosan adalah keberagaman sosial.
Segala hal yang ingin dicapai perlu dikerjakan, bukan semata ditunggu maupun dilihat doang.
Tanpa saya sadari kosan telah membuat saya mengenal banyak manusia dari segala belahan Indonesia. Bagaimana tidak, dari 15 kamar kos yang Jawa cuman saya doang. Selebihnya, berasal dari beragam daerah, seperti Aceh, Padang, Medan, Palembang, Riau, Samarinda, Tarakan, Pontianak, Makassar, Manado, Lombok, Ambon, Sumba hingga Merauke. Nggak heran bila kami sering menyebut kosan tempat kami hidup sebagai kosan nusantara.
Seru? Sudah pasti serulah β walau mulanya saya sempat mikir aneh-aneh, dari yang mulai diajak berantem karena nggak ngerti keinginan mereka, sampai yang diracunin karena mereka iri dengan orang Jawa satu-satunya yang dianggap paling maju dan modern. Argh! Pikiran udik dan rasial ini begitu muncul tiba-tiba. Maklum saja, saya orang ndeso yang juga belum pernah berinteraksi dengan suku lain. Tapi, bangga dikit lah karena dianggap mereka orang maju β aslinya ya sama aja. Hihihihi.
Keseruan yang paling saya rasakan, saat kami ngobrol santai bareng-bareng. Awalnya normal-normal saja, karena menggunakan bahasa Indonesia. Nah, pas lagi semangat-semangatnya bercerita, eh nggak taunya bablas pakai bahasa daerah. Mending kalau paham, dengernya saja sudah bikin pusing kepala sendiri. Biasanya kami saling menyeragamkan ekspresi wajah ketika ada yang bercerita dengan bahasa daerah. Dari yang awalnya meringis, pelan-pelan merengut, mulai manyun, sampai berubah menjadi bengis dan menjitak kepalanya. Aduh! Baru deh berhenti!
Perbedaan bahasa inilah kadang membuat saya maupun yang mendengar terlihat bego. Manggut-manggut sambil sesekali melongo karena otak gagal paham. Namun, keunikan bahasa daerah inilah yang akhirnya membuat kami saling bertukar tata bahasa dan belajar bersama-sama. Hadirnya teman sekosan juga mengobati kerinduan saya maupun teman lainnya pada keluarga. Meski cowok, tapi kami juga punya ritual sharing together alias curhat baik suka maupun duka. Bedanya, kami nggak gosip. Hehehe!
Hal yang paling membedakan dengan cewek adalah berantem. Cowok cenderung enggan berlama-lama menyimpan masalah. Jika ada yang kurang sepaham antar penghuni kosan, kami segera duduk bersama. Meski nggak bisa dipungkiri, cara penyelesaian masalah antar suku bagi saya tetaplah beda. Yang paling bikin bulu kuduk merinding saat marah di kosan, maaf bukannya rasis, ya orang Medan, Padang, Sumba dan Merauke β untung nggak ketambahan orang Madura. Nggak terima adu mulut, dikit-dikit ngajak duel. Hadew! Kosan dah mirip ring tinju aja!
Tak pernah ada keuntungan di balik permusuhan!
Untungnya, kami cepat sadar bila tak pernah ada keuntungan di balik permusuhan. Terlebih di kosan, sama-sama seperantauan. Jika tak saling memahami, siapa lagi yang bakal baik kala jauh dari keluarga. Kesadaran inilah lambat laun membuat kami sudah seperti keluarga sendiri. Beradu tawa saat ada yang membawa kabar bahagia, juga saling menghibur manakala ada yang berduka. Mungkin inilah yang disebut sebagai Bhinneka Tunggal Ika. π
Smart Tips!
Janganlah egois tinggal di kosan. Berusahalah membaur dan bersosialisasi. Bantu bila ada yang kesulitan β asal nggak diminta ngelunasi hutang. Sampaikan selamat walau sekadar ucapan, saat ada teman yang sukses. Sekalipun ini adalah hal sepele, tapi inilah permulaan dari persahabatan dan juga bantuan di waktu kesulitan.