Namanya juga sampah, baunya saja sudah menusuk, jadi wajar bila bikin keracunan saat termakan.
Eits, tapi ini bukan sekadar sampah lho. Beda dengan sampah pada umumnya, sampah yang ini begitu digilai banyak orang. Mulai anak-anak sampai nini-nini boleh dibilang nggak pernah bosan menikmati sampah ini. Soal bau, juga nggak sebusuk sampah lainnya. Justru, dari baunya saja orang sudah tergoda untuk mendekatinya. Boro-boro mencium baunya, hanya melihat gambarnya saja kadang orang seolah tersihir untuk bergegas membelinya.
Pertanyaannya sekarang, sampah apa yang begitu diminati, bahkan rela merogoh dompet untuk membelinya? Oya, sampah ini bisa dimakan juga lho. Yaiks, sampah kok dimakan! Makin bingung kan? Atau, dari kalian sudah ada yang bisa menebaknya? Jika benar, jawaban kita bakalan merujuk pada dua kata yang begitu familiar bagi masyarakat modern. Apalagi kalau bukan junk food alias makanan ‘sampah’.
Kendati sudah banyak dikenal kedok aslinya, tapi popularitas junk food nggak pernah pudar. Bahkan, semakin hari semakin menjamur dan jadi primadona tersendiri di kalangan masyarakat. Mulai dari yang sebatas kentang goreng, tahu goreng, keripik goreng, sampai kulit ayam goreng pun rela diantri berjam-jam hanya untuk mencicipinya. Junk food memang identik dengan aneka olahan yang digoreng, nggak terkecuali gorengan itu sendiri. Ciri khas lainnya, berasa gurih dan pedas – semakin pedasnya membabi buta, semakin diburu oleh sejuta umat. Pokoknya, selera orang Indonesia banget deh!
Sebutan ‘makanan sampah’ sendiri tentu bukan tanpa alasan. Proses penggorengan sebagian besar junk food – yang tak bisa dipungkiri, memanjakan lidah ini, menyumbangkan asupan kalori yang besar bagi tubuh. Hal inilah yang ditengarai menyebabkan obesitas bila dikonsumsi secara istiqomah. Minyak yang dipakai untuk menggoreng junk food juga berpotensi menyumbangkan lemak trans dan kolesterol. Mending kalau minyaknya satu kali pemakain, kalau KW alias jelantah atau minyak yang digunakan berulang-ulang untuk menggoreng, bisa-bisa tubuh kekenyangan dengan kedua zat tersebut.
Dibandingkan dengan manfaat yang diterima, dampak buruk keduanya jauh lebih besar dirasakan oleh tubuh. Nggak heran, bila banyak penyakit serius bermunculan akibat dua pasukan sampah tersebut. Sebut saja, obesitas, penyakit jantung, hipertensi dan beberapa penyakit yang bikin bulu kuduk merinding karena keganasannya saat menyerang tubuh. Hiiii, serem!
Mengetahui banyaknya kerugian junk food daripada manfaatnya, kini semakin banyak orang yang beralih (kembali) pada makanan yang lebih sehat. Di negara maju – yang notabene biang munculnya fast food dan junk food, sudah banyak yang beralih makan makanan yang lebih sehat. Termasuk memilih serba-serbi makanan organik, seperti sayuran, buah-buahan, hingga produk hewani macam susu dan telur pun dipilih yang bebas pestisida. Lha emang ternak biasa disemprot pestisida? Bukan! Maksudnya, demi menjaga kualitas ‘organik’ produk hewani, para peternak rela memberi makan hewan-hewan tersebut dengan sayuran organik pula. Duh, kalah deh hamba!
Sayangnya, kesadaran akan hidup sehat di Indonesia masih terlalu minim. Sebagian besar orang masih terlena dengan olahan makanan sampah yang kian menjadi-jadi (menunya). Saya pun masih doyan, apalagi gorengan tradisional seperti tempe goreng, tahu goreng, ote-ote dan tahu isi – yang disajikan panas-panas dengan cabai hijau dan dimakan di waktu hujan lagi. Hmm, nikmatnya nggak terkira! Tapi, beberapa camilan sudah mulai saya hindari, termasuk cilok, cireng dan mi instan. Maklum, imbas belajar ilmu gizi membuat saya jadi ketar-ketir melihat dampak buruk junk food bagi kesehatan. Akhirnya, pensiun dini deh. Hiks!
Nah, momen yang bikin tekad saya semakin bulat untuk mempercepat pensiun dari makanan sampah adalah keracunan sampah. Sungguh, nggak beruntung banget! Setelah lama nggak makan junk food, tergoda deh untuk mencoba kedai ‘sampah’ ketika jalan-jalan di mal. Apalagi, teman-teman begitu antusias untuk menghipnotis saya agar mencicipinya juga. Nggak kuaaaat! Terpilihlah bakso dan jamur goreng dengan taburan saus sambal dan mayones. Kebetulan perut juga lapar, santap deh hingga tanpa sadar dua bungkus berlalu. Sadis!
Saat makan memang ada yang aneh dengan rasanya. Agak asam-asam gimana gitu. Saya pikir karena ada mayonesnya. Penyedap rasanya yang kuat memang begitu menyihir lidah, sampai mengabaikan mana rasa yang wajar dan nggak karuan. Barulah dua jam berlalu, perut rasanya dicabik-cabik, mual-mual dah gitu muncul keringat dingin disertai pusing. Sial! Saya keracunan sampah! Buru-buru saya muntahin dan mencari kelapa hijau. Untungnya, bisa nemu dengan cepat di sekitar mal. Melihat hal lebay yang saya alami, teman-teman seketika minta maaf sambil geleng-geleng keheranan. Kok ya bisa, hanya gara-gara junk food sampai keracunan, padahal yang lain sehat-sehat saja. Mungkin usus mereka sudah kebal kali ya – karena belakangan ketahuan bila mayones dan saus sachet dari kedai sampah tersebut, memang keseringan kadaluwarsa.
Namun, gara-gara tragedi itulah, justru hingga hari ini saya sudah nggak lagi menyantap sampah. 😀
Smart Tips!
Periksa lebih teliti segala bentuk makanan sachet, jangan keburu tersihir dengan rasa dan nafsu makan yang membabi-buta. Boleh-boleh saja menyantap junk food, tapi tetap ingat batasan dan berusaha untuk mengurangi konsumsinya sedikit demi sedikit adalah pilihan yang lebih baik. Bila kita bisa hidup sehat sejak hari ini kenapa mesti merelakan tubuh untuk sakit di kemudian hari? Ingat, mencegah akan selalu lebih baik dari mengobati.