Traveling, traveling dan traveling. Mungkin ini yang selalu ada dalam benak saya. Setiap waktu ingin rasanya bisa pergi ke mana-mana. Menikmati keindahan alam, menjajaki pegunungan, menerobos lebatnya hutan, mengarungi luasnya lautan atau hanya sekadar plesir di pantai doang. Semua ingin saya jelajahi setiap waktu. Belum lagi, tempat indah di Indonesia bukan satu tempat saja. Semangat saya untuk menaklukkan penjuru nusantara pun kian menggelora.
Sayangnya, hal itu tak bisa terlaksana semudah yang dikira. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, saya juga punya segudang kesibukan. Mencari uang yang juga digunakan sebagai modal untuk pergi liburan. Tahu sendiri kan, tak ada liburan yang tidak bayar, walau hanya sebatas beli karcis parkir. Namun ada hal lain yang lebih penting, liburan kurang seru tanpa kawan. Entah keluarga, teman sekantor atau teman nongkrong, semua bakal terasa kurang asyik dan berkesan.
Serunya liburan bareng-bareng sempat saya alami berkali-kali, salah satunya saat mengunjungi gunung Bromo untuk yang pertama kali. Salah satu ikon wisata alam Provinsi Jawa Timur ini memang sudah dikenal luas di seantero Indonesia. Bahkan tak sedikit warga asing yang langganan mengunjungi panorama yang ada di kompleks Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini.
Sama halnya dengan liburan saya sebelum-sebelumnya, tak pernah ada rencana matang maupun persiapan yang bisa dilakukan saat pergi liburan. Sore bincang-bincang, malam langsung tancap traveling. Padahal, dari rombongan yang sekitar 10 orang dengan lima buah motor, hanya satu orang yang ingat rutenya. Itupan setengah samar-samar. Jadilah mencoba-coba beragam jalan di tengah gelapnya pegunungan.
Namanya juga anak muda, hobinya juga mencari tantangan. Itupun kalau sudah terpaksa. Kabar baiknya, kami bertemu dengan satu mobil hardtop yang tampaknya hendak menuju Bromo. Giring menggirng akhirnya jadi solusi paling cetar saat itu. Naas, jalanan yang becek berbaur lumpur kurang berpihak untuk dilewati. Kami yang berkendara dengan kecepatan konstan 80 km/jam harus terpental. Ada yang cuman terpeleset, tapi ada juga yang jatuh terseret hingga celananya robek.
Well, sungguh pengalaman perdana yang bikin hati cenat-cenut. Setelah memastikan bisa berdiri, perjalanan kami lanjutkan. Sampai di spot pertama, Gunung Pananjakan. Imbas tidak bawa bekal dan jaket seadanya benar-benar terasa. Tubuh mulai dehidrasi dan menggigil kedinginan. Apalagi waktu sudah menunjukkan jam tiga dini hari. Lagi-lagi saya harus katakan ‘untung saja’. Kedai mie instan dan kopi ternyata berceceran di sini. Tak pikir lama langsung sruput kopi panas dan mie instan deh.
Perut kenyang, pendakian berlanjut menuju spot khusus Pananjakan untuk menanti sunrise. Tara… pancaran sinar matahari membentuk siluet cahaya yang perlahan menampakkan puncak semeru yang begitu indah. Tertawa lepas dan saling memotret diri jadi agenda yang tak boleh terlewatkan. Pukul lima pagi kami turun dan lanjut ke Bromo. Buseeeeeeeeeet… tangganya tinggi amat. Walau mempermudah proses pendakian, tapi jujur saja bikin saya dan kawan-kawan ngos-ngosan.
Akhirnya, sampai deh di puncaknya. Indahnya kaldera Bromo sontak bikin kami melongo. Maklum kali pertama lihat yang begituan. Mulanya kami seneng banget bisa jeprat-jepret di tempat yang cantiknya luar biasa ini. Ketika menengok ke bawah, ya Gusti… tangga lagi! Mau tak mau jalan lagi deh. Setibanya di kaki gunung, kami putuskan untuk sarapan dan cari minuman. Ternyata kami baru sadar jika celana kami belepotan bekas lumpur yang kering. Ada juga yang sobek. Uniknya, kondisi ini terlupakan seketika saat panorama indah Bromo bergantian menghibur kami.
Sungguh tak indah liburan ke Bromo ini jika saat itu saya pergi sendirian. Persiapan minim, perjalanan panjang hingga harus berjatuhan di tengah malam jadi kesan liburan yang tak bisa dilupakan. Segalanya memang lebih baik jika dilakukan bersama-sama. Bayangkan saja, bila saat itu juga saya sendirian atau berdua saja, bukannya sampai di Bromo malah bisa nyasar entah ke mana-mana.