
Apa yang Anda pikirkan jika berbicara tentang media sosial? Dunia yang digandrungi oleh masyarakat belakangan ini. Bercerita ke sana ke mari, mengumbar berita maupun opini. Tak sedikit pula mereka yang tersakiti. Alih-alih ingin menapaki modernisasi, justru ketegangan sosial yang terjadi. Setiap hari rakyat negeri ini seolah berlomba mengumbar kebiasaan diri, bahkan tak sedikit yang berbau privasi. Menulis sebuah status dan memosting dengan cepat. Seolah demi kepuasan diri semata, setiap saat orang rela andil dalam semarak social media.
Unjuk masalah pribadi
Mulai dari kabar gembira bisa masuk restoran mewah, mengunggah foto perjalanan keliling Eropa sampai bertemu dengan artis idola pada waktu yang tak terduga. Ada juga kabar penuh duka, seakan berjalan beriringan, kesedihan orang tampak terumbar dengan leluasa. Mendapatkan musibah mungkin masih bisa dimaklumi kala berkeluh kesah di media sosial, tetapi bagaimana dengan perselisihan rumah tangga?
Hal yang begitu rahasia dalam keluarga kini bisa ditengok dengan bebas oleh orang di seluruh dunia. Mereka begitu lugas menceritakan konflik dengan pasangannya. Berharap mendapatkan solusi dari kicauan komentator, justru mengumbar aib diri dengan cerita kotor. Tak sadar dengan masalah orang, komentator begitu gamblang melancarkan kata-katanya. Ya, mereka memang bukan penasihat juga bukan psikolog yang bisa memberikan solusi berarti. Wajar, jika sebuah postingan akhirnya menjadi wahana kicauan publik yang begitu membahana.
Buli lewat teknologi
Layaknya sebuah negara demokrasi, media sosial juga menyilahkan setiap warga negaranya bebas beraspirasi. Uraian status yang mulanya sebatas curhatan, kini menjelma menjadi sebuah berita besar yang cukup menarik perhatian. Andai komentar tersebut berupa landasan yang faktual dan bijak untuk diaplikasikan, mungkin orang Indonesia dapat menjadi pengguna media sosial yang paling terpuji di dunia.
Realitasnya, mereka sering menghardik ramai-ramai pada setiap orang yang dianggap salah. Bukan salah secara fakta, tetapi menghakimi orang karena kabar burung yang belum tentu jelas kebenarannya. Tentu saja hal itu begitu meresahkan, terlebih bagi mereka yang menjadi korban olok-olokan. Memang tidak merasakan bullying secara fisik, tetapi diintimidasi oleh ribuan bahkan jutaan manusia dari pelbagai Nusantara, begitu kejam rasanya. Seakan masa bodoh dengan si korban, orang begitu asyik nimbrung di kolom komentar media sosial.
Mencoba menyangkal, tetapi itulah fakta di lapangan. Masyarakat Indonesia kini begitu aktif mengomentari segala hal yang terjadi di dunia maya pun nyata. Bila diingat, pergolakan demokrasi yang sedang terjadi, juga tak luput dari derasnya komentar para pengguna media sosial. Kemudahan fasilitas membuat mereka begitu bebas, melibatkan kata-kata lewat genggaman tangan semata. Tanpa pernah memikirkan dampak yang bakal terjadi, komentar media sosial kian menjadi hobi bahkan tradisi. Jika sudah begini, mungkin diam masih bisa menjadi solusi.